SEKAPUR SIRIH
Bismillahi
Rahmanir Rahim
Assalamu
‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh
Air mata membasahi Ranah Minang. Gempa besar telah
meluluhlantakkan Negeri Nan Elok. Ribuan nyawa tiada, ratusan lagi hilang.
Setelah mengalami dan menyaksikan sendiri berita duka lara yang sangat
memilukan, tergerak hati saya untuk mengabadikannya melalui sebuah buku. Semoga
buku ini di masa mendatang bisa menjadikan pedoman dan acuan buat generasi kita
nantinya, dan menambah keimanan kepada Sang Pencipta yakni, Allah SWT Yang Maha
Kuasa.
Memang Kuasa Tuhan tidak terbatas, kalau kita
pelajari dan kita pahami isi kandungan Al-Qur’an memang sudah digariskan bahwa
orang-orang yang melakukan kedurhakaan terhadap ciptaan-Nya maka ketentuan
Allah SWT akan berlaku. Untuk menghindari bumi ini dari bencana, marilah kita
kembali kepada kedua pusaka yang ditinggalakan Rasulullah SAW yakni, Al-Qur’an
dan Hadist. Keduanya adalah pusaka yang membawa kita kepada keselamatan di
dunia dan akhirat.
Saya merasa senang dan bangga bahwa selama
kepeminpinan Walikota Padang Fauzi Bahar telah menerapkan sistem belajar yang
mengarah kepada Islami. Mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas,
siswanya memakai pakaian muslim. Di Bulan Ramadhan murid sekolah dasar mulai
dari kelas IV sampai kelas III sekolah menengah atas harus mengikuti pesantren
Ramadhan yang telah diprogram Walikota. Sehingga tidak ada murid sekolah dasar
yang tidak bisa membaca Al-Qur’an. Mungkin di Kota Padang ini satu-satunya
pelajar yang memakai pakaian muslim dan semua instansi pemerintah pegawainya
juga telah memakai pakaian muslim, alhamdulillah.
Gempa yang menimpa Sumatera Barat dengan kekuatan
7,9 Skala Richter. Mudah-mudah kita bisa mengambil hikmah dari tragedi yang
memilukan ini. Bagi saya, buku ini merupakan catatan dan refleksi sekilas dari
pengalaman dan pencarian berita dalam rangka menemukan makna hidup yang
sesungguhnya dan sebagian besar beritanya saya kutip dari beberapa mess media
yang terbit di Kota Padang.
Semoga Allah SWT memberikan kita semua taufiq dan
hidayah-Nya dalam menyelusuri jalan hidup yang diberkatinya. Menegakkan amal ma’ruf
nahi mungkar. Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa isi buku ini adalah
suatu yang sangat penting dan bisa mengintrospeksi diri kita untuk menatap hari
esok yang lebih bahagia di akhirat. Lewat buku ini setidak-tidaknya saya
berusaha memberikan bakti dan kebaikan untuk kita semua. Dari musibah ini
banyak orang-orang berpisah dengan anggota keluarganya. Mudah-mudahan semua
amal ibadah para korban diterima di sisi-Nya. Amin, Amin, Ya Rabbal’Alamin.
Billahi
tawfiq wal hidayah
Wassalamu’alaikum
wa rahmatullah wa barakatuh.....
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
SEKAPUR SIRIH
SAMBUTAN
DAFTAR ISI
Pendahuluan
- Sumatera
Berguncang - 10
- Fauzi
Bahar Mengudara di RRI Padang - 14
- Dampak
Dari Gempa - 15
- Tertimbun
di Gedung bertingkat - 18
- Gedung
LIA Rata dengan Tanah - 21
- Presiden
SBY: “Tuntaskan Segera Masalah Listrik” - 23
- Papa,
Kami Masih Hidup - 26
- Tolong.....,
Lalu Senyap - 29
- Mereka
Saling Berpelukan - 30
- 17
Jam Tidur dalam Pecahan Beton - 33
- Alhamdulillah,
Walau Kaki Patah tapi Nyawa Masih Ada - 35
- Tentara
itu Merangkak di Bawah Reruntuhan Beton - 37
- Terasa
Hidup Dua Kali - 39
- 400-an
Tertimbun Saat Pesta - 40
- Pesta
itu Dikubur Gempa - 43
- Mayat
Bergelimpangan, Pesta Berjalan Terus - 44
- Orang
Minang Memalukan - 45
- 400
Orang Masih Tertimbun - 46
- Selamat
dari Hotel Ambacang - 48
- Bantuan
Asing Berdatangan - 49
- Berpacu
dengan Waktu, Berperang dengan Bau - 53
- Ratusan
Mayat Ditemukan - 55
- Kisah
Penghuni Hotel Ambacang yang Selamat - 56
- Separuh
Murid SD Tertimbun - 57
- Rakyat
Dibiarkan dalam Ketakutan - 59
- Ribuan
Rumah Hancur di Painan - 60
- Anak
Awak Tatimbun Katiko Mengaji - 61
- Ibu
Pergi, Setelah Selamatan Adik - 63
- Membuka
Jalan Hidayah Bagi Manusia yang Berpikir - 65
- Bocah-Bocah
Mengemis di Sepanjang Jalan - 67
- Istighfat
Terucap, Longsor Terelak - 69
- Kami
Yakin, Masih Ada yang Hidup - 70
- KRI
Soeharso bisa Rawat 500 Pasien - 72
- Penjarahan
Meningkat - 75
- Hilang
Tiga Hari, Ditemukan jadi Mayat - 76
- Dunia
Teraso Baputar, Ketika Mendengar Kabar - 77
- Boedioni
di Tandikek: Gempa Sumbar Bencana Nasional - 79
- Ramlan
Menggergaji Kakinya Sendiri - 80
- Moran
Berpesan Akan Pergi Jauh - 81
- Malaikat
Baik Hati dari Jerman - 82
- Tertimbun
6 Jam, Seorang Polisi Selamat - 84
- Anak
dan Murid Tertimbun, Rosneli Masih Bisa Bangkitkan Warga - 85
- Mimpi
Baralek, Ayam Berkokok Hingga Tiga Kali - 87
- Gusti
Anola: “Anak Saya itu Rajin Sholat Dhuha” - 89
- Gelas
Meletus Tiba-Tiba, Lemang Melayang di Udara - 91
- Pa....
Flashdisk Jangan Dibuang Ya! - 93
- Zikir
Massal Hilangkan Trauma - 95
- Cerita
Sebelum Terjadi Gempa - 96
- Orang Asing Sebarkan Injil di Padangpariaman -97
- West Sumatra Quake Vistims Warned Againt Disguised Misionary Activity - 101
- Tak
Tergantikan Iman dengan Sebungkus Mie - 102
- Kristenisasi
di Pasa Kudu “Coklat Tuhan” - 104
- Misionaris
Ngaku Beragama Islam, tetapi Nggak Tahu Shalat Ashar - 106
- Dibaptis
di Taluk Bayua Koto Tinggi - 106
- Habis
Gempa Datanglah Pendeta - 108
- Insya
Allah, Kami Masih Sholat - 111
- Warga
Pasir Parupuk Buncah, Kristenisasi Berkedok Bantuan Gempa - 113
KESIMPULAN - 115
TENTANG PENULIS -
117
DAFTAR
RUJUKAN -
118
PENDAHULUAN
Sumatera Barat terletak di daerah Pesisir Barat
Pulau Sumatera. Dahulu bernama Sumatera Tengah yang meliputi Propinsi Riau, Jambi
dan Bengkulu. Negeri nan elok ini mempunyai tradisi garis keturunan yang
berbeda daripada negeri-negeri lain di Indonesia. Sumatera Barat atau lebih
dikenal dengan nama Minangkabau mempunyai garis keturunan menurut suku yang
dianut oleh sang ibu, yakni dengan istilah matrilinial.
Sebelum Belanda masuk menjajah Indonesia, Sumatera
Tengah adalah sebuah kerajaan yang indah, makmur dan besar. Kerajaan itu
bernama “Minangkabau” yang mempunyai pusat pemerintahan di Kabupaten Tanah
Datar.
Dari kenyataan abad pertama Hijrah penyebaran agama
Islam sudah dilakukan sebagai akibat dari hubungan dagang orang-orang Arab. Pada
umumnya kota-kota dagang di Pulau Sumatera, baik yang terletak di pantai Utara,
Barat maupun Timur sejak abad ke 7 atau tahun 650 agama Islam telah mulai merayap
secara serentak. (Sayed Alwi bin Tahir Al Haddad, 1957: 21).
Di Sumatera Barat pada tahun 674 Masehi sudah
didapat satu kelompok masyarakat Arab. (Hamka, 1961:661).
Penyebaran agama Islam ke Minangkabau dilakukan langsung
oleh para pedagang, baik orang Arab, Hindustan, Tiongkok, Persia manpun oleh
nakhoda-nakhoda dan palaut-pelaut orang Minangkabau sendiri atau “bangsa kita
(Jawa dan Sumatera”. (H. Agus Salim, 1962:13).
Rakyat Minangkabau telah menganut agama Islam.
Tepatnya 40 tahun setelah Rasulullah SAW wafat, pedagang-pedagang bangsa Arab
singgah di Pesisir Barat Pulau Sumatera dan mengembangkan agama Islam.
Agama yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah
SAW ini dengan mudah dan cepat diterima oleh Masyarakat Pesisir Barat Sumatera,
sehingga seluruh penduduk Sumatera Barat beragama Islam. Sejak saat itu ada
ungkapan, “Kalau tidak beragama Islam,
berarti ia bukan orang Minangkabau”. Demikian kuatnya agama Islam yang
dianut oleh masyarakat Sumatera Barat. Sehingga ada pepatah adat mengatakan, “Adat Bersandi Syarak, Syarak Bersandi
Kitabullah. Syarak Mangato, Adat yang Memakai”. Di Maa Bumi dipijak, di Situ langit Dijunjung. Kemana pun orang
Minang merantau, adat istiadat tetap dipelihara. Dimana dia tinggal, adat
setempat yang akan dipakainya. (bisa menyesuaikan diri dimanapun ia berada).
Kehadiran buku yang disusun khusus tentang musibah
gempa yang terjadi 30 September 2009 tepatnya pukul 17.16 Wib yang mengguncang
di Sumatera Barat, sehingga meluluhlantakan hampir semua bangunan yang
bertingkat. Dan kemurtadan yang terjadi di beberapa daerah yang terkena dampak
gempa serta kisah-kisah nyata yang menimpa para korban dan keajaiban-keajaiban
yang terjadi Allah akbar.
Kalau kita melihat ke belakang. Sebenarnya
permurtadan ini sudah lama terjadi di Minangkabau. Salah satunya kasus
penculikan Wawah. Sekitar bulan Maret 1998 Wawah kerkenalan dengan seorang
gadis “berjilbab” pintar bahasa Arab dan bahasa Inggris tapi dia bukan seorang
Muslimah. Ia seorang Kristen Protestan dan telah dilatih menjadi penginijil dan
terampil hipnotis. Wawah seakan terpukau dan tertarik.
Pada suatu malam di saat kakak Wawah sedang tidak
di rumah, Lia datang dan mengajak Wawah jalan-jalan. Bagaikan berada dalam
keadaan dihipnotis, Wawah tak kuasa menolak hingga mereka sampai di Gereja
Kristen Prostestan Indonesia Barat (GPIB) di JI. Bagindo Azis Chan. Di sini
sudah menunggu Pendeta Willi Amarullah (adik tiri Buya Hamka), dan sejumlah
Umat GPIB. Jadi kedatangan mereka berdua sudah ditunggu, diketahui dan
dipersiapkan sedemikian rupa.
Dalam keadaan terhipnotis serta ancaman dari Lia,
Wawah terpaksa menurutinya. Lia mengancam “Kamu jangan macam-macam nanti
keluargamu akan dihabisi...” ancarnan Lia. Wawah berteriak dan menangis.
Kemudian dengan kata-kata bujuk rayu dari Pendeta Willi, Wawah jadi pasrah,
lalu alunan nyanyian rohani membuat Wawah terbuai. Pendeta Willi minta Wawah
untuk membuka jilbab. Wawah kehilangan kesadaran. Akhirnya Wawah di Baptis
setelah terlebih dahulu di mandikan di Gereja GPIB tersebut.
Masih banyak lagi kasus permurtadan yang terjadi
di Minangkabau. Diantaranya dialami anggota masyarakat Tanjung Pati, Politani
Unand yang membuat korban kesurupan sejak 21 Juni s/d 22 Agustus 2003. Juga
kasus terhipnotisnya 23 mahasiswa muslimah Politani tahun 2002. Terakhir kasus
kesurupan yang dialami siswi MAN 2 Payakumbuh 24 September 2003.
Dengan terjadinya berbagai peristiwa permurtadan
di Minangkabau, diharapkan buku ini mampu memberikan nuansa baru penerangan
kepada para korban gempa supaya tetap tabah menghadapinya dan tetap
meningkatkan ketakwaan (amal ibadah) kepada Allah Sang Pencipta Alam Semesta.
Dan untuk generasi yang akan datang bisa menjadi tolak ukur untuk menatap masa
depan yang lebih menjanjikan.
Mudah-mudahan saja keinginan untuk mengembalikan
norma-norma agama Islam di tengah-tengah masyarakat bisa terus terwujud dengan
baik dan sempurna.
Amin!
1. Sumatera Berguncang
Artinya:
16. Dan jika kami hendak
membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup
mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan
dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan
(ketentuan Kami), kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.
17. Dan berapa banyaknya kaum
sesudah Nabi Nuh Kami binasakan, dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha
Melihat dosa hamba-hambaNya. (Surat Al Isra’, ayat 16 dan ayat 17)
Pukul 16.40 wib setelah selesai sholat ashar aku
duduk di pinggir kali kecil di depan rumah.
Heran kenapa air kali tersebut berubah hitam kecoklat-coklatan. Biasanya
kali kecil tersebut airnya bening dan setiap pagi banyak ibu-ibu yang mencuci
pakaian. Kali kecil itu hanya berjarak dua meter dari bibir jalan yang terdapat
di jalan Raya Lubuk Minturun.
Dengan bertanya-tanya di dalam hati,
ada apa gerangan? Sesaat kemudian aku menyalakan komputer seperti biasanya. Dan
mengetik bermacam-macam tulisan yang di kumpulkan menjadi buku. Sore itu cuaca
di angkasa agak mendung. Mata hari bersembunyi di balik awan, tetapi pantulan
sinarnya yang garang tetap menerangi bumi yang kita cintai ini.
Tepat pukul 17.16 wib meja komputer
bergoyang perlahan-lahan, tetapi makin lama makin kuat goyangannya. Aku sadar
gempa menguncang bumi. Tiba-tiba listrik mati dan komputer yang menyala mati
seketika. Setengah berlari aku berlari ke luar rumah. Di halaman rumah sudah
banyak orang berkumpul sambil mengucapkan asma Allah, Astagfirullah ......, Laillah aillahllah ......, dan banyak lagi
asma Allah yang berkumandang secara otomatis dari mulut orang yang terucap.
Jalan yang dipijak seperti gelombang
air di tengah laut. Sehingga untuk berjalan tidak bisa, karena keseimbangan
goyang. Banyak orang yang terduduk di jalan yang terdapat di depan rumah.
Tonggak listik bergoyang tidak henti-hentinya. Seakan bumi berguncang dan
mengeluarkan isinya. Goyangan tersebut berlansung cukup lama.
*** ***
Lima belas menit setelah gempa
terjadi, banyak kendaraan yang menuju ke arah Lubuk Minturun yaitu kawasan yang
tertinggi dari bibir pantai Kota Padang. Mobil dan sepeda motor berpacu sambil
membunyikan klasonnya. Satu sepeda motor di naiki oleh dua orang dewasa dan
tiga orang anaknya sambil membawa bungkusan seadanya. Mobil pick up penuh sesah
oleh anak-anak, ibu-ibu dan orang tua di belakang.
Makin lama jalan Raya Lubuk Minturun makin ramai, sehingga untuk
menyeberangi jalan tidak bisa. Aku hanya bisa berdiri di pinggir jalan melihat
kendaraan yang lalu lalang. Dan banyak pula yang berjalan kaki meninggalkan
rumahnya untuk mengungsi mencapai daratan yang tinggi. Ia semua mereka lakukan
untuk menghindari dampak dari gempa yaitu bila terjadi Tsunami menghantam Kota
Padang. Mereka semua ketakutan, yang berjalan setengah berlari. Suara klason
dari kendaraan baik dari mobil maupun dari sepeda motor memekakkan gendang
telinga.
Kucoba menghubungi anakku Zuama
Qudsi dan Muhammad Zaki Asqalani yang berada di jalan Berok II tepatnya di
belakang Lembaga Permasyarakatan Muara. Tetapi sinyal telkomsel yang biasanya
menjadi raja di udara tiba-tiba raib tak tentu rimbanya. Seolah-oleh sang
operator Veronika juga tenggelam di hantam gempa. Kucoba pula menghubungi
melalui telepon rumah tetapi lagi-lagi tidak nyambung. Aku mulai panik, tetapi
aku ingin Allah SWT. “Ya... Allah, lindungilah kedua anakku dan semua
keluargaku dari bencana ini. Kuatkanlah imanku ya Allah.”
Kunyalakan mesin mobil lalu berjalan
perlahan-lahan menembus ribuan orang yang tengah panik. Sepuluh menit mobil
tidak bisa lagi meneruskan perjalanan karena terjebak kemacetan yang panjang.
Kuhentikan mobil dan berjalan mencari-cari famili atau saudara lainnya. Tetapi
pencarianku sia-sia belaka.
Kepanikanku tak dapat dibayangkan.
Di sepanjang jalan banyak puing-puing reruntuhan akibat gempa. Pekikan dan
ratapan suara korban seakan hilang ditelan kegaduhan.
“Ya Allah...... kenapa jalan ini
begitu macet total,” kataku. (Peta Pulau Sumatera dari Seputar Indonesia, Kamis
1 Oktober 2009).
Mencari
Daerah Ketinggian
Seperti biasa, kawasan Kuranji dan
sekitarnya selalu sibuk setelah gempa besar terjadi. Pada gempa hari rabu 30
September 2009, tak kurang dari 30 menit, lalu lintas Jalan By Pass sontak
kacau. Tak ada yang peduli masuk lajur mana, semuanya berebut menuju Kumpus
Unand atau daerah ketinggian Kuranji lainnya.
Jembatan Kampung Kalawi akibat gempa
mengalami surut tanah, hingga landasan jembatan agak amblas beberapa
sentimeter.
Warga yang mengetahui kondisi ini berinisiatif untuk melarang kendaraan
roda empat melintas, khawatir jembatan ambruk. Banyak rumah warga yang ambruk
total dan rusak ringan. Beberapa warga juga ada yang cidera dan segera
dilarikan ke RSUD Sungai Sapih dan RS Siti Rahmah. Kantor Polsek Kuranji juga
tak luput dan hoyakan gempa, depannya amblas.
Hingga tengah malam, meskipun hujan
turun dengan derasnya namun banyak eksodus yang memilih jalan By Pass untuk
tempat beristirahat. Ada yang mengambil parkiran di pinggir jalan, kemudian
beristirahat, menggelar tikar di emperan kios, dan tentu saja ramai-ramai
mengungsi ke masjid atau mushalla yang tak bertingkat.
Di kawasan persimpangan By Pass,
Durian Tarung, ribuan mobil pribadi, truk dan sepeda motor tersendat hingga
tiga kilo meter. Tidak ada yang bisa jalan, sehingga kawasan itu jadi luapan
manusia dan banjir kendaraan. Tidak itu saja. ratusan warga mengungsi di kantor
Pengadilan Agama kelas I A Padang, begitu juga kawasan Durian Tarung lainnya juga
diburu masyarakat yang datang dan perkotaan.
Jalan Ampang dan kawasan Kalawi juga
jadi macet. Di kawasan itu banyak juga rumah penduduk yang ambruk, sehingga
isak tangis tak terbendung lagi. Sementara pengendara sepeda motor tak sabaran,
mereka semuanya ingin cepat puang. Ada yang terjatuh dari sepeda motor, ada
yang menangis karena luka pada kepala, tetapi tidak mereka pedulikan. Mobil
saling senggol dan motor juga bertabrakan, tetapi mereka tetap tidak peduli.
Setelah mereka berdiri dengan motornya lalu
kabur tanpa memperdulikan kerusakan mobil atau motor yang penting kabur mencari
tempat ketinggian dengan keluarga.
Sementara di Komplek Rahaka Permai Lubuk Buaya Padang juga menjadi tempat
evakuasi sementara warga sekitar. Tidak sedikit tenda yang didirikan di sana,
mereka hanya pasrah, karena tidak bisa melarikan diri, karena ruas jalan itu
telah macet total. Kami tidak bisa pergi lagi, untuk apa mengungsi, jika mati
akan mati juga, makanya kami mendirikan tenda di komplek ini kata seorang
warga.
Suasana mencekam sore itu
menyelimuti ratusan warga Komplek Perumahan Lubuk Gading V di Ganting, Wisma
Indah V, Wisma lndah 7, Wisma Indah V Pasir Putih, Perumahan Singgalang,
Permata Komplek Pondok Citra Lubuk Buaya, Mutiara Putih, Lubuk Gading IV,
Padang Sarai dan sejumlah perumahan lainnya di Kecamatan Koto Tangah. Di sana
kaum ibu-ibu dan anak-anak menangis histenis.
Sebagian besar eksodus ke kawasan
Lubuk Minturun, Air Dingin dan ke dataran yang lebih tinggi. Mereka ada yang
menggunakan kendaraan umum dan pribadi, berjalan kaki berkilo-kilo meter
mencari jalan alternatif. Ada pula warga yang enggan melepaskan sandanya saat
lari terberit-berit.
Pada umunya di komplek perumahan
tersebut mengalami rusak berat dan ringan. “baa
aka wak li ko pak, rumah ciek konyo, alah hancur pulo. Kama kami kamangadu, “
kata Putra. (Bagaimana pikiran kita pak, rumah satu-satunya sudah hancur pula.
Kemana kita akan mengadukan).
Begitu juga di perumahan Taroko
Andesa Permai I Gunung Panggilun, puluhan rumah di kawasan itu ambruk. Tidak
sedikit orang kehilangan tempat tinggal, sehingga terpaksa tidur beralasan
tikar di masjid. “Di sini parah pak, di blok kami ini saja 13 rumah hancur dan
tidak bisa ditempati lagi, “ kata Rina, warga komplek perumahan tersebut.
Tidak hanya rumah-rumah penduduk
yang hancur dan rata dengan tanah, falisitas umum dan perkantoran baik instansi
pemerintah maupun swasta juga ditemukan hancur dan mengalami rusak berat.
Di kawasan JI. Veteran, terdapat
gedung Sucofindo ambruk. Laris Manis Furniture rata dengan tanah, mebel Jepara
yang diperdagangkan dalam showroom
Lanis Manis hancur dan juga dua mobil terhimpit reruntuhan bangunan. Di Jalan
Ujung Gurun, showroom Suzuk hancur,
tiga unit perkantoran dan ruko luluh lantak, sedangkan kantor BPKP rusak berat.
Sementara itu di kawasan JL. Rasuna
Said kantor cabang Jasindo rata dengan tanah, beberapa bagian kantor DPD Partai
Golkar Sumbar roboh. Sedangkan di seputaran Jl. Khatib Sulaiman, Kantor
Bappeda, Dinas Pengelola Keuangan Daerah, Kantor Kanwil Ditjen Pajak, Dinas
Pengelola Sumber Daya Air hancur total, demikian juga gedung LIA. (Singgalang,
Jumat 2 Oktober 2009)
2. Fauzi Bahar
Mengudara
Selepas maghrib kucoba kembali
menghubungi anakku dan keluarga yang lainnya, tetapi tetap tidak nyambung.
Hujan mulai turun membasahi bumi pertiwi Kota Padang, seakan memberikan
kesejukan bagi orang-orang yang terkena bencana. Di sepanjang jalan By Pass
dipenuhi oleh orang-orang yang mengungsi dari rumahnya di dekat pantai.
Radio, menjadi satu-satunya alat komunikasi yang bisa dihandalkan dalam
mengakses informasi sejak gempa reda. Radio Republik Indonesia (RRI) Programa I
seperti biasa menjalankan tugasnya dengan baik. Mereka menyampaikan berita
terkini sejak gempa mengluluhkan Kota Padang. Setelah sempat terputus lebih kurang
satu jam, RRI mengudara bersama penyiarnya Walikota Fauzi Bahar.
“Warga Kota Padang yang tercinta.
Saya Fauzi Bahar, Walikota Padang menghimbau kepada warga yang meninggalkan
rumah dan telah mengungsi ke tempat ketinggian, jangan terlalu panik. Memang telah
terjadi gempa tektonik berkekuatan 7,9 skala richter dengan pusat gempa di
Pariaman. Potensi tsunami kecil, karena telah melewati batas kritis. Sudah
lebih dari tiga puluh menit. Saya mohon warga diminta keluar rumah, jauhi
gedung-gedung tinggi dan tentu saja jangan lupa kita menyebut nama Allah,
bersama Asma ul Husna,” begitu Walikota membuka siarannya.
Siaran satu-satunya itu ibarat
setetes air di gurun Sahara. Bagaimana tidak, tak satupun warga yang tahu
berapa kekuatan gempa, pusatnya dimana dan tentu saja apakah ada tsunami atau
tidak. Semuanya panik, berhamburan membungkus pakaian dan harta benda guna
diselamatkan ke pengungsian. Beberapa warga yang berada di tengah memacetan
lalu lintas beberapa menit setelah hoyakan gempa besar, langsung mengaktifkan
Radio di mobil dan yang di perjalanan mengaktifkan ponselnya.
Tidak lama kemudian Walikota Padang
didampingi Wakil Walikota Padang Mahyeldi Ansarullah. Fauzi Bahar dan Mahyeldi
berbagi tugas kala on air di radio RRI Programa 1. Mahyeldi, memberi tausiah kepada pemirsa
radio RRI.
Dalam siaran RRI kali ini, tak hanya
Walikota dan Wakil Walikota saja yang hadir, tapi juga Kakandepag Kota Padang
dan sejumlah toko masyarakat juga hadir sebagai penyiar. Ada satu perbedaan
siaran kali ini dibanding siaran gempa sebelumnya. Penyiarnya begitu banyak
menerima telpon dan pengaduan langsung dari warga kota yang ingin mencari tahu
kabar anak, suami, isteri, dan sanak familinya yang lain.
Saking banyaknya telepon yang masuk,
RRI membuka posko pengaduan di pintu masuk. Selain radio RRI, hanya ada dua
radio swasta yang berhasil mengudara yaitu Sushi 99,1 FM dan Classy 103,4 FM
radio Semen Padang di Indarung. (RRI Padang).
3. Dampak dari Gempa
Sehari pascagempa besar, warga Kota
Padang dan daerah-daerah yang terkena dampak gempa masih diliputi kepanikan.
Warga cemas, jangan-jangan ada gempa besar lagi.
Badan Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Padang Panjang mencatat, pasca-gempa
berkekuatan 7,9 pada Skala Richter (SR) puku 17.16 WIB, Rabu 30 September 2009
telah terjadi 9 kali gempa susulan hingga puku 16.15 hari Kamis.
“Pusat gempa di sekitar gempa awal. Kekuatannya pun cenderung menurun.
Dengan demikian, berarti gempa yang masih terjadi adalah gempa susulan,” kata
Kepala Divisi Data Informasi BMKG Padang Panjang, Heru Nurman.
Gempa utama yang meluluhlantakkan
Sumatera Barat berkekuatan 7,9 SR berpusat di dasar laut 57 km Barat Daya
Pariaman, di kedalaman 71 km. Atau persisnya pada koordinat 0,84 LS-99,67 BT.
Selanjutnya gempa susulan terjadi
pukul 17.38 pada hari yang sama dengan kekuatan 7,3 SR. Setelah itu terjadi
lagi 8 gempa susulan. “Kekuatan gempa susulan cenderung menurun. Mudah-mudahan
terus demikian,” ujar Heru Nurman.
Soal kepanikan warga karena isu
tsunami, Heru menyatakan bahwa informasi yang disebar BMKG tidak mencantumkan
potensi tsunami. “Kedalaman gempanya 71 km, sementara yang berpotensi tsunami
itu bila gempa terjadi pada kedalaman kurang dan 40 km,”jelas Heru.
Ratusan
Tewas dan Ratusan Tertimbun
Sehari pascagempa Kota Padang, Pariaman,
Padang Pariaman dan Persisir Selatan masih lumpuh. Sekolah, perkuliahan, kantor
pemerintahan, dan kantor pelayanan publik, kecuali rumah sakit libur. Aktivitas
warga dan pemerintah terfokus pada penyelamatan korban, dan evakuasi.
Pusat-pusat kegiatan ekonomi,
seperti pasar, pusat perbelanjaan, pertokoan, banyak yang tutup. Kantor-kantor
bank pemerintah dan swasta juga tak buka. Bahkan jaringan Anjungan Tunai
Mandiri (ATM) semua bank di Kota Padang dan daerah yang terkena dampak gempa
rusak. Di banyak kawasan di Kota Padang pasokan air bersih PDAM terputus.
Listrik juga tak hidup. Alat komunikasi telepon yang masih agak baik digunakan
hanya telepon rumah.
Hingga pukul 17.30 wib tanggal 1 Oktober, Posko Satuan Koordinasi Pelaksana
Penanggulangan Bencana (Satkorlak PB) Sumbar mencatat telah 419 orang tewas.
Korban terbanyak di Kota Padang, 195 orang. Selain itu, ratusan orang masih
tertimbun bangunan yang runtuh. Di Padang Pariaman 154 orang tewas, dan di Kota
Pariaman 21 orang. Di Pessel, dan di Bukittinggi juga tercatat masing-masing 7
orang tewas. Selain itu, 4 orang lainnya juga dilaporkan tewas di Kota Solok.
Agam juga dilaporkan 27 tewas, dan Pasaman Barat 2 orang. Sedangkan daerah lain
belum ada laporan. Diperkirakan korban tewas ini akan terus bertambah, karena
masih banyak korban tertimbun yang belum dievakuasi.
Selain korban tewas, juga
mengakibatkan 87 orang luka berat dan 2.094 luka ringan. Sedangkan bangunan
rusak, mencapai 1.710 rumah dengan rincian 740 bangunan rusak berat, 200 rusak
sedang dan 710 rusak ringan.
Di Kota Padang, tercatat banyak
gedung pemerintah, hotel, bank, rumah sakit, masjid, gereja dan fasilitas umum
lainnya yang rusak. Bahkan gedung Perpustakaan Daerah Sumbar, Kantor DPKD
Sumbar, Dinas Pendidikan Sumbar, Pengadilan Agama, Kantor Bappeda, serta Pasar
Raya Padang luluh lantak.
Sementara itu, korban tewas
tertimbun material bangunan satu persatu dievakuasi. Para korban tersebut
banyak ditemukan di Hotel Ambacang, gedung bimbingan belajar (Bimbel) GAMA
jalan Proklamasi, kantor Suzuki Finance dan Adira Finance di jalan Sawahan,
LPBA LIA jalan Jhoni Anwar, serta showroom-showroom
mobil.
Di gedung bimbingan belajar (Bimbel)
GAMA diperkirakan 62 orang siswa tertimbun, sementara baru ditemukan 32 orang.
Di Hotel Ambacang sekitar ratusan orang masih terjebak dalam reruntuhan
bangunan. Sebanyak 20 orang telah ditemukan tewas. Di LBPP LIA telah ditemukan
17 siswa tewas. Diperkirakan masih ada puluhan orang tertimbun. Di Suzuki dan
Adira Finance diperkirakan sekitar 40 orang tertimbun. Sementara yang baru
ditemukan sekitar belasan orang.
Minimnya alat berat dan cuaca yang
sempat hujan, menyebabkan evakuasi korban yang tertimbun masih sulit dilakukan
Kondisi itu diperparah dengan padamnya aliran listrik.
Tim SAR gabungan, aparat kepolisian
dan TNI masih konsentrasi melakukan evakuasi di gedung bimbel GAMA, Suzuki dan
Adira Finance Sawahan, LBPP LIA, dan Hotel Ambacang.
Terganggunya jaringan seluler juga
menjadi hambatan tersendiri bagi warga untuk menghubungi sanak keluarganya.
Beberapa warga masih melaporkan adanya sanak familinya yang belum diketahui
nasibnya.
Hanya yang agak membantu penyebaran
informasi adalah siaran radio orari dan on air RRI serta beberapa radio swasta.
Selain menginformasikan kondisi di sejumlah daerah, warga juga bisa meminta
bantuan untuk menginformasikan sanak keluarganya.
Gempa kali ini merupakan yang
terparah dampaknya sejak gempa besar tahun 1926 di Padang Panjang, baik
kerusakan materil, maupun jumlah korban jiwa. Gempa 1926 yang disebut-sebut
sangat besar menimbulkan korban jiwa 354 orang. Waktu itu kerusakan paling
parah memang terjadi di Padang Panjang dengan 247 orang tewas, tapi juga
dirasakan secara menyeluruh di sejumlah kabupaten/kota di Sumatera Barat.
Sejarah
Gempa di Sumatera Barat
Gempa
|
Tanggal
|
Kekuatan
|
Kerusakan
|
Sumbar
|
1-10-1822
|
-
|
Di Padang terasa tiga kali guncangan keras
|
Padang
|
26-8-1835
|
-
|
Kerusakan ringan dan retakan di Padang
|
Siri Sori
|
28-6-1926
|
-
|
Tsunami di Pantai Siri Sori
|
Pd. Panjang
|
28-6-1926
|
7
|
Lebih 354 orang meninggal
|
Singkarak
|
9-6-1943
|
7,6
|
Pergeseran 60 km antara Danau Singkarak dan Danau Diatas
|
Pasaman
|
8-3-1977
|
5,5
|
Di Sunurut 737 rumah rusak, Talu 245 rusak.
|
Padang
|
13-11-1981
|
5,4
|
Retakan di Padang dan Painan
|
Padang
|
2-7-1991
|
6,1
|
Kerusakan ringan dan dan getaran
sampai Singapura
|
Malalak
|
25-1-2003
|
3,3
|
Rusak sekitar 80 bangunan
|
Tanahdatar
|
16-2-2004
|
5,6
|
6 tewas, 10 luka-luka, 70 rumah rusak
|
Pessel
|
22-2-2004
|
6
|
1 tewas, 1 luka berat, 5 luka ringan
|
Pessel
|
9-4-2004
|
5,5
|
Rumah retak-retak di perbatasan
|
Mentawai
|
10-5-2005
|
6,7
|
Dirasakan sampai Kualalumpur
|
Pd. Panjang
|
6-3-2007
|
6,2
|
4 meninggal, 55 orang dirawat
|
Kep.Enggano
|
12-9-2007
|
8,4
|
21 tewas, gelombang pasang membanjiran 300 rumah
|
Siberut
|
16-8-2009
|
6,9
|
Puluhan rumah rusak
|
Pariaman
|
30-9-2009
|
7,9
|
Lebih 1.000 orang tewas
|
(Padang Ekspres, Jumat 2 Oktober 2009)
4. Tertimbun di Gedung Bertingkat
Tiba-tiba, pengunjung Toko Buku
Gramedia, terkejut hebat. Gedung berlantai tiga itu, mendadak berguncang.
Buku-buku terjatuh dari raknya. Dari ruang itu, terdengar suara pekikan,
langkah berebut menuruni anak tangga, menuju pintu. Setiba di luar, sepeda
motor rebah, beberapa orang jatuh, dan duduk di aspal sembari menatap ke
gedung-gedung tinggi. Bumi gonjang-ganjing.
Di depan Toko Buku Gramedia, puncak
gedung Damar Plaza bergoyang hebat. Beberapa orang terlihat berlari bergegas
menuruni tangga. Seorang perempuan, bertubuh bongsor, memegang bahu tangga, dan
roboh sebelum ia menyentuh lantai dasar halaman parkir Damar Plaza. Dia
pingsan.
Sekitar setengah kilometer dari
sana, sekitar ribuan manusia berhamburan ke luar gedung perbelanjaan Plaza
Andalas. Besar-kecil, tua-muda, yang hamil, yang masih balita, saling berebutan
untuk secepat mungkin menjauh dan mall berlantai empat tersebut. Ada yang
terinjak, ada yang tersungkur, tak sedikit yang luka-luka. Barang dagangan yang
tercecer ke sana kemari tak satupun yang memungut. Tak berapa lama api memercik
dari kabel listrik yang berseliweran. Dengan cepat api merambat. Asap hitam
membubung, merambah kelam sore yang sudah kelabu itu.
Bersamaan dengan itu, gedung-gedung
berlantai tiga atau lebih ambruk. Tak sedikit yang rata dengan tanah. Kantor
pemerintahan, hotel, lembaga pendidikan, showroom, dan rumah warga tak kuat
menahan hoyakan yang dahsyat. Kantor Bappeda. Sumbar, Kantor DPKD Sumbar,
Kantor Dinas Pendidikan tak berbentuk lagi.
Gedung LBPP LIA di Jalan perempatan
Joni Anwar-Khatib Sulaiman rontok. Puluhan siswa yang sedang belajar di gedung
berantai lima itu tak sempat lagi berlari menjauh. Mereka tertimbun bersama
material. Di Jalan Proklamasi, gedung Lembaga Pendidikan GAMA berlantai tiga
runtuh.
Lebih dari 50 anak ada di dalamnya.
Di Hotel Ambacang, ratusan manusia belum jelas nasibnya. Mereka para tamu
hotel, peserta seminar, dan anak-anak terjebak bersamaan dengan runtuhnya
bangunan hotel. Di Sawahan, puluhan rumah toko (ruko) luluh lantak. Puluhan
manusia ada di bawah puing- puing ruko tersebut. Di Jalan Sutomo, Showroom Hyunday seorang bapak bersama
anaknya terhimpit oleh bangunan yang sudah rata dengan tanah itu.
Kepanikan, pada Rabu sore pukul
17.16 wib yang kelabu itu, bagai menyergap wajah warga Kota Padang. Jalan-jalan
serta-merta menjadi; semrawut. Klakson, gas, dan kecepatan yang tertahan karena
macet pun menyergap di depan, membuat suasana kian mencekam.
Trotoar-trotoar pun dinaiki sepeda
motor. Beberapa kali antaranya saling tabrak. Dan sangat banyak yang berlarian,
dengan bayangan ketakutan. Tsunami seakan tengah mengintai di belakang. Di
jalan raya sepeda motor yang sedang melaju kencang tiba-tiba semuanya rebah tak
tentu arah.
Sementara itu, di Jalan Veteran, seorang laki-laki terpana menatap Gedung
Akademi Bahasa Asing Prayoga Padang yang runtuh. Baru setengah jam seorang
bapak mengantar tiga orang anaknya untuk latihan karate di lantai lima. Ia
Zukri Saad, aktivis dan pengamat sosial dan lingkungan.
“Saya pasrah, dan tetap menyerahkan semuanya
pada Allah,” kata Zukri. Ia hampiri reruntuhan, sembari memanggil nama anaknya.
“Ayah.....,” ada suara dari
runtuhan. Zukri memburu sumber suara itu. Ia lihat, anak sulungnya, Jaka,
dihimpit beton besar. Ia coba mengangkat, sedikit demi sedikit. Alhamdulillah, berhasil.
Lalu ia menoleh ke sebelah. Di situ
ada dua orang anaknya. Dana dan gadis kecilnya Rindu. Ia coba mengangkat dari
reruntuhan yang menimpa.
“Dua anak laki-laki saya patah
tutang rusuk dan pinggang, sedangkan putrinya kening dan kepalanya luka
tertimpa reruntuhan,” katanya menghela napas, setiba di rumah sakit dr. M
Djamil Padang.
Tiba-tiba, dari pesawat radio
seorang mahasiswa kedokteran terdengar suara, “Gempa 7,9 SR berpusat di
Pariaman, tidak berpotensi tsunami.”
Beberapa orang yang mendengar,
sedikit lega. Namun kelegaan itu, menjadi miris ketika pada saat yang
bersamaan, seorang perempuan menangis di bak mobil kijang. Ibunya tergeletak
sekarat. Darah mengucur deras dari kepalanya. Tak berdaya dia. Orang hanya
lewat, tak bisa membantu.
Perempuan yang ibunya sekarat itu,
terus menangis. Orang-orang tetap jalan mencari keluarganya, tempat aman atau
menuju suatu tempat yang tak pasti. Sementara, di angkasa asap hitam mengepul.
Di beberapa titik tengah terjadi kebakaran hebat.
Di Rumah Sakit M Djamil, selepas
Magrib, suara Ambulance terdengar meraung-raung. Seakan mewakili tangis-tangis
korban dan keluarganya. Hujan mulai turun. Korban tewas dan luka serta patah
tulang berbaur di lapangan parkir RS M Djamil, tepatnya di depan Unit Gawat
Darurat.
Seiring malam merambat dalam derai
hujan, berita duka lara menyebar ke berbagai penjuru. Puluhan gedung bertingkat
dan rumah penduduk runtuh dan rata dengan tanah. Tragisnya, disertai korban
tewas, dalam jumlah yang tak sedikit. Di ruas-ruas jalan, terdengar sirine
mobil pemadam kebakaran, juga Ambulance yang meraung menembus malam yang gundah
dalam bencana.
Bangunan
yang Runtuh dan Rata dengan Tanah di Padang
Gedung Kanwil Dirjen Pajak dan Keuangan Jalan
Khatib Sulaiman
Gedung Kantor Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Sumbar
Gedung Bank BTN Jalan Khatib Sulaiman
Gedung Indosat Jalan Khatib Sulaiman
Gedung LBPP LIA Jalan Khatib Sulaiman
Gedung Pratama Jalan Jhoni Anwar
Gedung Laris Manis Furniture Jalan Veteran
Gedung Cabang Jasindo Jalan Rasuna Said
Gedung Kantor Bapeda Sumbar Jalan Khatib Sulaiman
Gedung Kantor Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah
Jalan Khatib Sulaiman
Gedung Dinas Pendidikan Nasional Sumbar
Gedung BII Jalan Sudirman
Kantor Succofindo Jalan Veteran
Showroom Suzuki Jalan Veteran
Dua Ruko di Ujung Gurun
UGD RSUP Dr. M. Djamil Padang
Showroom Daihatsu (Capela) Jalan Hamka
Masjid Ukhuwah Muhammadiyah Simpang Haru
Masjid Astra Dadok Tunggul Hitam
Dealer Suzuki Jalan Agus Salim
STIKES Siteba Jalan Jhoni Anwar
STBA Prayoga
ADIRA Sawahan
Rumah Sakit Selasih
Hotel Ambacang
Hotel Maharani Internasional
Hotel Inna Muara
Hotel Rocky
Ruko di Adinegoro
Bioskop Satria Simpang Kinol
Bangunan
Rusak Berat di Padang
Kantor Gubernur
Kantor Kesbang Linmas
Kantor BPKP
Kantor Telkomsel Padang Baru
Kantor PPB Jalan Hamka
Kantor Indosat
Kantor DPRD Sumbar
Gedung Suka Fajar Jalan Khatib Sulaiman
Showroom Nissan Jalan Khatib Sulaiman
Bioskop Presiden
Plaza Andalas Jalan Pemuda
Satu Unit Berlantai Tiga LP3M (tempat kursus Jalan
Hamka)
Rumah Makan Sederhana
LP3I Jalan Ratulangi
PTPG
Hotel Dipo di Jalan Diponegoro
Beberapa Gedung di Jalan Hang Tuah
Ratusan rumah (Singgalang, Jumat 2 Oktober 2009)
Gedung
Sekolah Rusak Parah di Kota Padang
SMA Negeri 1 Padang
SMA Negeri 3 Padang
SMA Negeri 5 Padang
SMA Negeri 10 Padang
SMA Adabiah
SMA Don Bosco
SMK Muhammadiyah
SMK Negeri 9 Padang (dua orang penjaga sekolah
meninggal)
SMP Negeri 1 Padang
SMP Negeri 4 Padang (empat pelajar meninggal)
SMP Negeri 7 Padang
SMP Negeri 25 Padang
SD Negeri 15 Pondok
SD Percobaan Ujung Gurun
SD 24 Lolong
5. Gedung LIA Rata
dengan Tanah
Gedung Lembaga Indonesia Amerika
(LIA) di pertigaan jalan Khatib Sulaiman Padang rata dengan tanah. Sekejp mata,
kemegahan itu lenyap. Di bawah gedung yang ambruk, setidaknya 30 orang
terperangkap. Jumlah sesungguhnya tak diketahui.
Gempa pada Rabu sore itu, telah
mengubur mereka. Di tempat lain, banyak gedung yang ambruk, orang-orang juga
terperangkap. Langit lalu berwarna gelap gulita melengkapi awal hujan lebat.
Ratusan ribu orang berdesakan ke arah ketinggian. Sementara di LIA, tangis
sayup-sayup terdengar dari celah reruntuhan. Tak tentu apa yang akan digapai,
warga sedang pada puncak kepanikan, tak ada pertolongan, tak ada siapa-siapa.
Debu di sekitar gedung LIA
diturunkan hujan yang membasahi bumi. Suara rintih tak terdengar lagi. Sebanyak
30 orang yang berada di dalam gedung LIA, tadinya sedang mengikuti kursus
Bahasa Inggris. Rabu sore itu, adalah sore nan jingga, seperti juga sore
sebelumnya. Tapi, nestapa datang teramat cepat, mencabik-cabik hari-hari nan
damai.
Gedung LIA yang remuk, kini ditonton
ratusan orang, sebagian besar orangtua, saudara, sahabat dan mereka yang
terjebak di dalam reruntuhan. Tangis pun pecah, bersambung-sambung. Tapi tak
bisa melakukan apa-apa.
Malam kian larut, hujan kian lebat.
Kota Padang sudah bagai kota mati, tapi penuh sesak di pinggir kota. Gedung LIA
kedinginan sendirian. Kamis dinihari tiga orang bisa dikeluarkan, satu tewas.
Selebihnya belum diketahui, apa memang terjebak atau bisa menyelamatkan diri.
Rumah Sakit M Djamil Padang bagai
ladang kesedihan. Di mana-mana orang merintih. Rumah Sakit Selasih, tak bisa
memberikan pelayanan karena gedung rumah sakit itu juga ambruk.
Anakku
di mana
Kamis dinihari, jalan By Pass Padang bagai arena parkir sepanjang 22 Km.
Mobil macet total, tak bisa bergerak. Hanya motor dan pejalanan kaki yang bisa
beringsut. Di mana-mana kendaraan kehabisan bensin. Tak ada yang menjualnya.
Kedai kehabisan mie instan, kehabisan rokok, kehabisan air isi ulang.
Gulita menjadi payung raksasa kota
berpenduduk 900 ribu jiwa itu. Padang tak ada listrik, tak ada jaringan telepon
seluler, Hanya XL yang berdering, itu pun tak banyak yang memakai.
Kabar dari saudara adalah obat yang
paling mujarab. Kabar itu yang tak ada. “Anakku
di mana?” seorang ibu yang lesu berusaha menanyakan anaknya kepada
orang-orang yang jumpai. Memang Kamis malam, Walikota Padang, Fauzi Bahar
selama berjam-jam di RRI Padang meminta agar, anak-anak yang sedang bingung dan
ketakutan untuk datang saja ke RRI. Tapi dalam gebalau ratusan ribu orang yang
panik, kemana seseorang harus dicari?
Pagi, sesudah pukul 07.00 wib
seorang anak berpakaian sekolah terlihat pulang dengan wajah lesu. “Rani,”
katanya ketika ditanya namanya. Ia hendak pulang ke rumahnya di Kuranji,
kawasan yang aman tsunami di Padang. Semalam, ia berteduh entah di rumah siapa
di kawasan Gunung Pangilun, sebuah pebukitan menjelang pinggir kota.
Padang seperti kota yang baru saja
dikalahkan jenderal yang serakah. Retak di mana-mana, ambruk di mana-mana.
Sirine meraung panjang, memilin rasa sedih di hati setiap orang. Sirine membawa
mayat dari reruntuhan.
Sampai Kamis sore, di puluhan titik,
evakuasi masih dilakukan dan entah kapan akan selesai. Padang yang parah, Padang
Pariaman yang parah, Pesisir Selatan yang parah, adalah duka lara anak negeri
Minangkabau. (Singgalang, Jumat 2 Oktober 2009)
6.
Presiden RI Sosilo Bambang
Yudhoyono:
Tuntaskan Segera Masalah Listrik
Bencana gempa di Sumatera Barat mendapat perhatian khusus dari Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bersama rombongan, para menteri dan setingkat
menteri, Presiden meninjau beberapa bangunan yang runtuh di Kota Padang. SBY
menginstruksikan agar dalam pencarian korban mengutamakan kehati-hatian. Tentang
masalah kebutuhan penerangan (listrik), air bersih, BBM, dan telekomunikasi,
Presiden meminta pejabat dan instansi berwenang menuntaskan secepatnya.
Dalam kesempatan itu, SBY meminta
Pemerintah Provinsi Sumbar untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada
korban luka. Presiden meminta Dirut PLN memberikan solusi untuk aliran listrik
dengan memberi tambahan genset agar aktivitas masyarakat tidak terganggu
terlalu lama akibat putusnya aliran listrik.
“Soal listrik perlu disegerakan.
Kapan perlu Dirut PLN segera turun ke lapangan untuk penuntasannya. Soal BBM,
pihak terkait harus menindaklanjuti agar jangan sampai terjadi kepanikan warga.
Begitu juga air bersih, telekomunikasi, dan jalan yang rusak. Jangan sampai
mobilisasi dan distribusi bantuan terkendala,” ungkap Presiden usai
mendengarkan ekspos Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi dan Wali Kota Padang Fauzi
Bahar, di Gubernuran.
Presiden SBY tiba di Padang sekitar
pukul 14.00 wib. Ia didampingi Ani Yudhoyono, dan bersama rombongan, di
antaranya Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, Kapolri Bambang Hendarso Danuri,
Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menteri PU Djoko Kirmanto, dan Menkominfo M. Nuh.
Malam harinya Presiden dan rombongan menginap di Wisma Indarung Semen Padang.
Dalam penanganan pascagempa dan
tindakan tanggap darurat, Presiden berharap, pihak terkait bersinergi. Presiden
menyerahkan komando tanggap darurat kepada Gubernur, dan berkoordinasi penuh
dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Presiden menghimbau
seluruh Bupati dan Walikota di Sumatera Barat untuk menenangkan warganya.
SBY mengharapkan masyarakat dan
pemerintahnya tidak berputus asa menghadapi bencana. Pada kesempatan itu
Presiden sempat mengoreksi kekuatan gempa. Menurut SBY gempa besar tersebut
bukan 7,6 Skala Richter, tapi 7,9 Skala Richter.
Utamakan
Penyelamatan
Mendengar penjelasan Gubernur Sumbar
Gamawan Fauzi soal masih banyaknya korban yang tertimbun SBY menginstruksikan
agar mengutamakan penyelamatan dan evakuasi korban.
“Kapan perlu pencarian korban
dilakukan hingga 10 hari atau dua minggu ke depan sambil mengevakuasi yang
meninggal. Jangan sampai ada korban yang selamat, tapi karena gegabah malah
memperparah korban,” ingat kata SBY.
Dalam keadaan darurat, SBY
mengharapkan masyarakat tidak panik. Apalagi pemimpin. Sebab, dalam kondisi
demikian, masyarakat perlu pemimpin yang mampu mengayomi dan mengarahkan
masyarakatnya hingga kondisi normal kembali.
Khusus Panglima TNI Jenderal Djoko
Susanto dan Kapolri Bambang Hendarso Danuri diinstruksikan SBY agar
mengkoordinasikan jajarannya di lapangan bahu-membahu, bersinergi dengan
instansi terkait lainnya.
Soal bantuan, Presiden mengharapkan
jangan terjadi kisruh seperti yang terjadi di Aceh dan Yogyakarta. Begitu pula
masalah bantuan dan sumbangan, ia mengharapkan, didistribusikan dengan baik.
Untuk bencana gempa Sumbar, kata SBY, pemerintah menganggarkan sekitar Rp 100
miliar sebagai dana tanggap darurat.
“Bantuan pusat, provinsi lain atau
luar negeri hendaknya bisa tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat
yang menjadi korban gempa,” pinta SBY.
Di tempat yang sama, Gubernur Sumbar
Gamawan Fauzi menyampaikan tak kurang dari 390 jiwa melayang akibat gempa.
Sekitar 87 orang mengalami luka berat dan 2.094 orang mengalami luka ringan.
Ratusan orang masih terjebak dalam
reruntuhan bangunan di Kota Padang, Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman.
Guncangan gempa mengakibatkan 1.710 bangunan mengalami kerusakan. Gubernur juga
menyampaikan, sejumlah korban selamat dan meninggal masih terkurung dan
tertimbun di reruntuhan bangunan.
Walikota Padang Fauzi Bahar meminta
segenap instansi terkait maupun pihak lain yang berada di luar Sumbar untuk
memberikan bantuan berupa alat berat.
Fauzi juga berharap do’a perantau,
agar musibah gempa jangan terulang lagi di masa mendatang di Padang.
Selain itu, sejumlah kebutuhan pokok
dan energi masih krisis. Soal distribusi, kondisi jalan dan mobilisasi yang
tidak terarah menyebabkan pendistribusian lambat. Kota Padang bagaikan hutan
kota yang gelap gulita, karena aliran listrik masih terputus.
Dari Kabupaten Solok setidaknya 40
unit rumah masyarakat luluh lantak akibat gempa. Gedung Sekretariat Daerah
Pemerintah Kabupaten Solok juga hancur lebur.
Di Bukittinggi 180 bangunan rusak
berat, rusak ringan 50 unit. Padang Pariaman rusak berat 156 dan rusak ringan
60 unit. Pesisir Selatan rusak berat 10 dan rusak ringan 50 unit.
Kepala
Daerah Jangan Tidur
Setelah meninjau korban gempa di Padang, kemarin Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Ibu Negara dan beberapa menteri menuju ke
Pariaman melihat pelaksanaan tanggap darurat pascagempa. Dalam kunjungan itu,
Presiden meminta kepala daerah tidak tidur dan memerintahkan langsung terjun ke
lapangan.
“Memang kurang tidur karena
berkeliling terus. Tapi harus dilakukan supaya rakyatnya tenang,” kata Presiden
SBY. Saat berdialog dengan ratusan pengungsi di tenda-tenda darurat, di halaman
Balai Kota Pariaman.
Kepala daerah jangan sampai kurang
cepat dan kurang sigap melaksanakan tanggap darurat, karena sibuk menghitung
berapa kurangnya, berapa miliar kerugian. “Itu urusan nanti. Selamatkan dulu
jiwa rakyat. Nanti dihitung, baru dialokasikan anggarannya,” kata SBY.
Presiden meminta warga jangan
mendatangi dulu mal-mal, rumah, toko dan sekolah-sekolah dahulu.
“Ini termasuk kegiatan tanggap
darurat, mencegah terjadinya gempa korban jiwa. Karena di mana pun ada gempa
susulan, walaupun tidak sekuat gempa utama. Tapi karena sudah retak sebelumnya,
bangunan itu bisa runtuh walau gempa kecil,” jelas Presiden.
Saat berdialog, presiden mendapatkan
laporan mengenai pelaksanaan tanggap darurat dari Bupati Padang Pariaman,
Muslim Kasim. Dilaporkan, korban jiwa di Padang Pariaman 207 meninggal, sedang
di Pariaman 29 jiwa. Korban dirawat 336, sementara yang masih tertimbun
diperkirakan 282 jiwa. Jumlah rumah penduduk dan perkantoran yang rusak
tercatat 13.750.
SBY juga memerintahkan jajarannya
segera mengeluarkan aturan persyaratan warga yang ingin mendirikan bangunan
bertingkat. Bagi pendiri bangunan yang sudah memenuhi termasuk kegiatan tanggap
darurat, mencegah korban jiwa. Karena di mana pun, setelah ada gempa biasanya
ada gempa susulan, walaupun tidak sekuat gempa. Tapi karena sudah retak tapi,
harus mengacu pada persyaratan yang benar. Kita harus makin keras, tapi jangan
ada kong kaling-kong. Siapa yang mau bikin bangunan jangan langsung diizinkan
saja, tapi harus diperhatikan (apakah) persyaratan-persyaratan sudah dipenuhi
atau belum. Bila bangunannya tidak kuat, bisa mengorbankan rakyat. Itu jangan
sampai terjadi,” cetusnya.
“Bayangkan kalau bangunan-bangunan mal dan pusat perbelanjaan tidak kuat,
saat terkena gempa, wah, bisa rontok seperti yang terjadi di Sumbar. Di sana
banyak anak-anak dan saudara-saudara kita. Oleh karena itu, nantinya dengan
sertifikat persyaratan mendirikan bangunan bertingkat, (kekokohan) gedung bisa
dipertanggungjawabkan. Kita berusaha keras menyelamatan saudara-saudara kita.
Ini harus menjadi perhatian serius,” katanya lagi.
Kunjungi
RSUP Dr. M. Djamil
Sebelum menuju Pariaman, presiden
dan rombongan meninjau RSUP M Djamil Padang. Kendati hancur, rumah sakit
terbesar di Sumbar itu tetap beroperasi dengan mendirikan tenda-tenda di
halaman rumah sakit tersebut. Sedikitnya, ada 15 tenda darurat didirikan,
terdiri tenda operasi dan penanganan korban gempa. Presiden SBY terlihat tak
bisa menyembunyikan kesedihannya saat meninjau pasien yang terbaring luka-luka.
“Sabar ya Bu, kita akan tangani ini
sebaik mungkin. Kami berdoa agar lekas sembuh,” ujar SBY. Dalam kesempatan itu
SBY juga memberikan pengarahan langsung kepada Menkes Siti Fadillah Supari,
Mensesneg Hatta Radjasa, Mensos Bachtiar Chamsyah, Mendagri Mardiyanto, dan
Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi.
7. Papa, Kami Masih Hidup
Suasana pilu mewarnai proses
evakuasi korban yang tertimbun reruntuhan bangunan bertingkat di Jalan Sawahan
Padang. Di tengah kepanikan dan kerisauan, warga terus berusaha sekuat tenaga
menyelamatkan orang yang ada di reruntuhan.
Deretan ruko bertingkat di jalan
utama pusat kota dekat Kantor DPRD Padang sebagian besarnya ambruk diguncang
gempa berkekuatan 7,9 Skala Richter. Warga yang melintas di kawasan strategis
jalur utama evakuasi Sawahan saat itu memperkirakan orang yang tertimbun di
reruntuhan sudah tewas. Pasalnya, bangunan kondisinya sudah rata dengan tanah.
Gedung yang sebelumnya tiga lantai sekarang hanya menyisakan satu lantai.
Sekitar pukul 21.00 wib, dari
samping bangunan Adira Finance yang rubuh di Sawahan, seorang satpam
menginformasikan ada sekitar 30 orang terjebak di bawah reruntuhan bangunan.
Kondisi mereka ketika itu belum dapat dipastikan. Apakah tewas atau masih ada
yang masih bertahan hidup.
“Coba pergi ke samping sini, sebab
ada bokong cewek terlihat dan belum bisa di keluarkan dari runtuhan bangunan,”
kata satpam berseragam itu sambil menunjuk ke arah samping gedung.
Di lokasi, memang melihat bokong wanita terlihat dari sela runtuhan
bangunan. Kaki, tangan serta kepala wanita itu tertimbun. Dan samping bokong
cewek yang sudah tewas itu ada lubang berukuran pipa delapan inchi. Melalui
lubang inilah kemudian diketahui kalau ada tiga orang yang selamat di bawah runtuhan
bangunan itu. Namun apa daya, semua orang yang mendengar tangisan dari dalam
lobang itu tidak bisa berbuat banyak. Mereka panik dan kebingungan, memikirkan
cara untuk mengeluarkan mereka yang terjebak dalam runtuhan itu.
“Siapa yang di dalam, tolong
sebutkan namanya. Apa ada yang masih hidup,” teriak seorang laki-laki paruh
baya dalam samar-samar cahaya lampu senter di tangannya.
“Ini Tari, Lidia, dan Wanda. Kami
masih hidup. Kami haus, tolong berikan air minum,” jawabnya.
Mendengar jawaban dari dalam
reruntuhan, laki-laki paruh baya itu langsung menjerit. Sebab memang ketiga
nama itulah yang sedang dicarinya. Dua di antara korban tertimbun yang
diperkirakan kesemuanya berusia 13 tahun itulah merupakan anaknya. Sedangkan
seorang lagi, sepupunya.
Meski begitu dia terlihat semakin
bingung dan cemas, memikirkan nasib buah hati dan familinya itu. Lambannya
proses evakuasi tentu saja mempertaruhkan nyawa mereka, sebab ketiganya
terjebak dalam reruntuhan bangunan telah lebih dari 24jam, tanpa makan dan minum.
“Ini Papa Nak, setengah jam lagi
masih tahankan. Papa masih berusaha mengeluarkan Adek. Jangan menangis dan
bergerak,” ujarnya terus memberi motivasi untuk bertahan hidup.
Dia kemudian berusaha memasukkan
tiga botol air mineral untuk anaknya dari sela-sela lubang. Hanya itulah salah
satu cara saat itu untuk menyelamatkan nyawa ketiganya. Selanjutnya lelaki itu
menyuruh beberapa orang yang dikenalnya mencari alat berat untuk mengeluarkan
anaknya secepat mungkin.
Dua pria berbadan sedikit kekar
terus berusaha memperbesar lubang seukuran kepala orang dewasa di puing gedung
itu. Dengan harapan, jika lubang itu semakin besar bisa mengeluarkan ketiga
anak yang terjebak tersebut.
“Cepat pergilah cari alat berat.
Mereka masih hidup dan harus segera dikeluarkan. Sudah puluhan jam anak-anak
ini terkubur dalam runtuhan bangunan,” tukas seorang pria dengan tubuh
tergopoh-gopoh keletihan karena mengangkat puing reruntuhan.
Akhirnya dua sepeda motor pergi mencari alat bodem (martil besar) di tengah
lautan manusia yang terjebak kemacetan. Semua orang yang menyaksikan kejadian
ini tak bisa menyembunyikan kesedihan. Sebagian di antananya terus berzikir,
mendengar suara ketiga bocah yang masih bisa diajak berbicara itu.
“Papa jangan pergi ya. Tunggu Adek
di atas sampai keluar. Adek takut, di sini gelap. Cepat keluarkan Adek ya
Papa,” harap Tari sambil terus menangis ketakutan berharap segera dikeluarkan.
Sekitar pukul 23.00 wib, ketiga
bocah ini akhirnya bisa dikeluarkan dengan bantuan dua orang bodigot yang
bekerja keras membongkar lubang sehingga lebih besar. Tangan dari dalam lubang
mulai terlihat dan perlahan-lahan ditarik. Satu demi satu mereka dikeluarkan.
Meski lubang yang terbatas itu terlihat masih sulit dilalui anak-anak itu.
“Alhamdulillah.
Anakku masih hidup. Maafkan Papa ya Nak, Adek masih selamat,” peluk sang ayah
dengan erat sambil menangis tersedu-sedu.
Tiga anak yang terlihat lemah dengan
wajah pucat itu langsung dievakuasi dengan mobil ambulan yang telah siaga di
lokasi untuk mendapatkan pertolongan medis.
Bocor
Oli, Alat Berat Sempat Rusak
Tenaga relawan penanggulangan
bencana terus berdatangan dari berbagai daerah di Tanah Air dan Negera lain.
Mereka umumnya tenaga profesional dalam menghadapi berbagai bencana.
Para relawan menfokuskan percarian
terhadap korban yang tertimbun reruntuhan gedung-gedung perkantoran.
Seperti di gedung Adira Finance
Padang. Dari 24 karyawannya yang tertimbun, tujuh di antaranya selamat. lima
orang lagi dalam pencarian. Lima korban itu antara lain Dwinarni 24 tahun, Ivo
Kahairanis 24 tahun, Anisa 24 tahun, Yohana Nofita 24 tahun, serta Rajif
Nofaldi. Seorang lagi Muhammad Riska 32 tahun, jasadnya berhasil ditemukan
sekitar pukul 13.30 wib.
Tim evakuasi harus ekstra hari-hati
melakukan evakuasi agar gedung tidak runtuh. Minimnya peralatan, membuat proses
evakuasi terkendala. “Sampai hari ini saja, alat yang telah kita pergunakan
selama beberapa hari ini mengalami kebocoran oli, tapi masih kita paksakan
untuk bekerja,” ujar Edi, koordinator alat berat kemarin.
Dua jenazah terakhir yang dievakuasi
berjenis kelamin perempuan dan laki-laki. Jenazah 1aki-aki terlihat mengenakan
cincin serupa cincin pernikahan. Mereka ditemukan di bawah tangga lantai dua
hangunan dengan posisi tertelungkup dengan bagian kepala terhimpit beton
bangunan, Sementara kaki dan tangannya tertekuk. Mereka ditemukan berdempet,
sehingga saat proses evakuasi hanya dibutuhkan satu kantong jenazah saja.
Proses evakuasi tergolong sulit
karena memakan waktu hampir lima jam, dikerahkan untuk mempermudah evakuasi.
Tim medis dan keamanan pun sudah mengenakan masker, sebab bau mayat semakin
menyengat. Wajar saja, para korban sudah terperangkat selama kurang lebih 72
jam.
LBA-LIA
Proses evakuasi korban pada bangunan
LBA-LLA Khatib Sulaiman tanggal 2 Oktober, membuahkan hasil. Menurut
Koordinator Lapangan proses evakuasi LBA-LIA Asyraf Aziz, hingga kemarin sudah
19 orang dievakuasi.
“Korban yang sudah dievakuasi
umumnya ditemukan di tangga. Jadi kami fokuskan mencari korban pada
tangga-tangga bangunan, yang jumlahnya ada tiga unit,” tandasnya.
Ruko di
Lapai
Sementara itu, proses evakuasi pada
bangunan ruko di Jalan Jhoni Anwar, dihentikan. Padahal, sehari sebelumnya,
masih terdengar teriakan minta tolong dari dalam bangunan. “Setelah dicari
hingga tengah malam kemarin, hasilnya nihil. Diprediksi ada sekitar lima korban
yang terperangkap,” ujar salah seorang warga Setempat.
Proses evakuasi korban di sejumlah
tempat itu menyedot perhatian warga. Warga menumpuk di lokasi tanpa memberikan
bantuan, hanya sekadar menonton. (Padang Ekspres, Jumat 2 Oktober 2009)
8. Tolong....., Lalu Senyap
Tolong, lalu senyap. Suara itu
terkubur sudah di puing-puing bangunan. Sampai Jumat sore, sudah lebih dari 48
jam berlalu, tapi masih banyak bangunan runtuh belum disentuh. Di sana,
pekikkan minta tolong dibiarkan senyap. Lalu lenyap. Banyak warga Kota Padang,
seperti orang-orang yang berdarmawisata. Melihat-lihat, lalu (cigin) pergi ke rumahnya.
Sementara itu, sedikit lainnya, lupa
makan, lupa anak, lupa bini, karena bekerja siang malam membantu korban
bencana. Mereka bekerja bersama tim relawan yang datang dengan penuh semangat
dari seberang lautan.
Pekikan minta tolong terdengar di
gedung-gedung runtuh di Padang, beberapa saat setelah gempa. Suara lengking
remaja putri yang kian lama kian melemah. Sejak Rabu mereka terhimpit dalam
reruntuhan. Kamis pagi, suara itu tak terdengar lagi.
Ini terjadi di sebuah tempat kursus
LBB Sony Suggema Collage, Bandung Cabang Padang di Jalan Veteran No 63. Warga
sekitar sudah tiga kali melaporkan pada aparat, tapi belum ada yang datang
memberikan pertolongan.
Petugas, Tim SAR, TNI, Polri sudah
bekerja maksimal, namun baru pada satu titik, sementara titik lain masih belum
tersentuh. Semua seperti berkumpul di Ambacang Plaza. Sementara anak-anak yang
tadi menjerit, kini entah tewas, entah bagaimana. Belum ada tim yang datang
menolong.
Sementara berjarak 6 meter di depan
gedung itu, membujur jalan paling sibuk di Kota Padang. Orang-orang
bersileweran, memfoto, membawa mobil kesayangannya dengan anak-anak manis di
atasnya. Di dalam tempat kursus itu, diperkirakan tertimbun sekitar 40 orang.
Nestapanya mereka di bawah beton yang marah. Menurut saksi mata, banyak
anak-anak terjebak di dalam gedung tersebut. Tapi, belum satupun yang bisa
dievakuasi.
RS
Selasih Tersungkur
Rumah Sakit Selasih di Jl. Khatib
Sulaiman sudah tersungkur. Di sana hanya ada satpam. Di dalam gedung puluhan
orang terjebak. Mereka pasien, pengunjung dan paramedis.
Kemudian jejeran rumah toko (ruko)
di depan Masjid Nurul Iman, pada hari Jumat tak ada evakuasi sama-sekali.
Dihentikan sementara karena tim berkosentrasi di Hotel Ambacang. Alasannya, di
Ambacang banyak orang terjebak dan alat berat kurang.
Di LIA Khatib Sulaiman, evakuasi
masih terus dilakukan hingga Jumat sore. Entah berapa orang yang terkubur di
dalamnya.
Seputaran Marapalam ada beberapa
ruko yang hancur, di dalamnya diduga ada yang terjebak beberapa orang. Kematian
seperti membentang panjang di Padang Kota Tercinta, Kujaga dan Kubela ini.
Di Quantum Jalan Pemuda Padang,
Jumat dinihari masih terdengar suara dari reruntuhan. Tapi Jumat pagi, suara
itu sudah senyap. Quantun adalah tempat les.
Di jejeran toko depan Raya Teater,
setidaknya ada dua orang yang masih belum terevakuasi. Tak ada orang yang
memberitahu. Para pedagang tetap saja berdagang, seolah tidak terjadi apa-apa.
Pembeli juga demikian itu, terkurung lebih dan 50 jam tanpa ada yang hirau.
Di Jalan Hamka, dekat Polsek Padang
Utara, sejak Kamis sampai Jumat masih berlangsung evakuasi. Petugas kesulitan
karena bongkahan-bongkahan beton. Laris Manis Furniture di Jalan Veteran,
dilakukan evakuasi secara manual seadanya. Belum diketahui, apakah ada korban
di dalam atau tidak.
Gedung Bappeda Sumbar, Ditjen Pajak,
DPKD belum disentuh sama-sekali. Hal yang sama juga terlihat di PSDA Sumbar.
Juga dua perkantoran di Jalan Ujung Gurun. Utama Service di Lolong juga belum
tersentuh, serta sejumlah tempat service dan showroom lainnya di Padang, belum
tersentuh.
Gedung itu dibiarkan terhenyak
begitu saja. Apakah orang ada di dalam atau tidak, tak ada yang peduli. Yang
lalu malang melambatkan kendaraannya, memandang sekejap, memfoto lalu pergi.
Padahal beberapa jam lalu di sana, suara minta tolong sayup-sayup terdengar.
Tangis yang padam. Senyap, tertelan
oleh ketiadaan orang tertelan oleh kesibukan. Pada satu titik berkumpul para
penolong, pada titik lain, seolah terabaikan. (Singgalang, Sabtu 3 Oktober
2009)
9. Mereka Saling Berpelukan
Tangis lelaki itu pecah. Ia dari
tadi mencoba menahannya. Namun, kepastian tambatan hatinya sebagai salah satu
korban gempa terbukti sudah.
“Itu urang rumahnyo mah,” (Itu isterinya) ujar seorang aparat berseragam
menimpali.
Belum lepas mantel hujan dan helm
dari kepalanya. Lelaki yang berusia sekitar 25 tahun itu tadi sibuk menyaksikan
evakuasi korban gempa di Bimbel Gama Jl. Proklamasi No.60 A-B Padang. Belasan
nyawa melayang di sana.
Setiap lima menit, mobil ambulance keluar dari area evakuasi yang dipadati
ribuan warga sepanjang Kamis 1 Oktober 2009. Setiap jenazah keluar dari
reruntuhan, aparat melalui pengeras suara menginstruksikan pihak keluarga
korban untuk mencari tahu sanak keluarganya. Ini untuk mengantisipasi traumatik
yang dialami keluarga korban yang justru akan mengganggu evakuasi.
Pada waktu kunjungan Presiden SBY di
Bimbel Gama mengatakan, “Pemerintah melalui Gubernur, Walikota, TNI, Polri dan
instansi terkait akan menjalankan pemerintahan dan melakukan evakuasi
sebaik-baiknya terhadap saudara-saudara kita dan anak-anak pelajar yang
terhimpit di reruntuhan bangunan. Kita berdo’a kepada Allah SWT semoga kita diberi
kemudahan dalam melaksanakan evakuasi ini.”
Sekitar pukul 12.30 wib, jenazah
pertama sepanjang siang itu berhasil dievakuasi. Menurut aparat di lokasi, itu
jenazah ketiga setelah sebelumnya sepanjang subuh ditemukan dua jenazah
lainnya.
Tepat pukul dua siang, tim evakuasi
yang terdiri dan SAR, TNI, POLRI dan PMI menemukan titik korban di gedung
Bimbel tiga lantai yang rata dengan tanah itu. Ada belasan jenazah yang
menumpuk di lokasi yang sama. Mereka saling berpelukan.
Posisi korban yang bertumpukkan
cukup menyulitkan aparat untuk melakukan evakuasi. Sejak pukul dua siang,
aparat setiap sepuluh detik mengevakuasi jenazah dari tempat itu.
Di antara korban ada yang masih
memakai seragam abu-abu, salah satu jenazah memakai seragam kerja yang
dipastikan staf pengajar di Bimbel tersebut.
Ada tangis yang pecah di lokasi
evakuasi. Anggota keluarga korban di antaranya tetap bersikeras melihat lokasi
evakuasi. Belasan ambulance silih berganti mengevakuasi jenazah. Aparat sendiri
menggunakan dua alat berat untuk membuat celah untuk menemukan jenazah.
Ribuan warga ikut menyaksikan proses
evakuasi di Bimbel Gama ini. Kondisi ini cukup menyulitkan aparat untuk
menertibkan pengunjung yang memasuki area evakuasi. Aparat terpaksa menutup
jalan dari arah Proklamasi dan Jl. Bagindo Aziz Chan.
Evakuasi terus berlangsung sepanjang
Kamis. Sejak pukul 12.30, setidaknya belasan jenazah dievakuasi dari gedung
Gama yang runtuh. Tragisnya, jenazah berada pada lokasi yang sama, mereka
saling berdekatan, saling merangkul, saling berpelukan. (Singgalang, Jumat 2
Oktober 2009)
32 Siswa GAMA Tewas
Proses evakuasi korban gempa yang
terjebak di reruntuhan gedung Gama, Jl. Proklamasi, Tarandam, Padang berakhir.
Seluruh korban telah berhasil dievakuasi.
Menurut data kepolisian, jumlah korban
yang tertimbun bangunan di lembaga pendidikan itu sebanyak 45 orang. Tim SAR
bersama warga tidak menemukan korban di dalam reruntuhan bangunan. Dengan
demikian, diperkirakan tidak ada lagi korban yang terhimpit dalam bangunan.
Di antara 45 siswa yang terjebak di
dalam reruntuhan gedung berlantai tiga ini, 13 orang bisa diselamatkan dalam
keadaan hidup. Petugas bersama warga bahu membahu mencari korban dengan
membongkar puing-puing bangunan secara manual.
Bripda Wahyu Andika, anggota
Poltabes Padang, yang melakukan tindak penyelamatan usai gempa, mendengar
jeritan korban minta tolong di dalam reruntuhan gedung. Bangunan lantai 3
setinggi lebih 10 meter itu, rata dengan tanah.
13
Korban Berhasil Diselamatkan
Mulai pukul 18.30 wib, Wahyu Andika
bersama 6 warga, 2 wartawan, 2 keluarga korban menerobos lantai dua bangunan
yang roboh. Dengan cara merayap, relawan itu menemukan para siswa Gama
terhimpit material bangunan. Dengan alat seadanya, warga berusaha menyelamatkan
korban dengan alat seadanya. Minimnya aparat TNI, Polri dan petugas terlatih
lainnya, karena terkonsentrasi melakukan evakuasi korban di Hotel Ambacang dan
Pondok.
Suasana begitu menegangkan. Oksigen
di dalam ruangan yang runtuh tersebut sangat sedikit. Warga bersama keluarga
korban, tetap berupaya menembus ke dalam bangunan.
“Haus..... haus. Capeklah Uda, minta
air minum,” kata korban yang terhimpit.
Rasa haru, pilu, sedih dan panik,
bercampur aduk mendengar penderitaan para korban. Para korban semuanya siswa
SMP. “Rata-rata mereka terhimpit kakinya oleh reruntuhan.gedung,” ungkap Wahyu.
Menurutnya, evakuasi di lantai 2,
siswa yang terhimpit kakinya selamat. Namun yang terhimpit pada bagian atas
tubuh, meninggal.
Siswa yang pertama kali dievakuasi
selamat. Hingga pukul 2.30 wib Kamis dinihari, di antara 19 korban yang
berhasil dievakusi, 13 siswa selamat, 2 meninggal di perjalanan, 4 siswa
meninggal di tempat.
Evakuasi selanjutnya, mulai 2.30 wib
dilakukan 7 personel Poltabes hingga waktu Subuh saat datangnya bantuan TNI.
Hari pertama pascagempa, aparat TNI,
PMI mulai bekerja dengan bantuan escavator menembus lautan bangunan menuju
lantai satu yang kokoh. “Saya sedih sejak pagi itu (hari pertama usai gempa) 26
siswa yang diangkat dari lokasi sudah tidak bernyawa lagi.
“Jika evakuasi berjalan cepat oleh
pihak profesional, kemungkinan makin banyak yang selamat,“ katanya.
Roihan, relawan PMI Kota Padang, ia
tiba di lokasi pukul 10.00 wib pagi hari. Evakuasi pertama siswa ini baru
terlaksana pukul 11.00 wib. 26 siswa dan guru yang terjebak di lantai satu ini
tidak ada satupun yang selamat. “Kondisi tubuh siswa ini saling berhimpitan,”
ujarnya.
Daftar
nama korban meninggal di Bimbingan Belajar GAMA Jl. Proklamasi No. 60 C
Terandam Padang adalah :
1. Destalina, S.Si (Guru) 12. Jursriyani (Siswa)
2. Alfioza A (Siswa) 13. Khairannisa (Siswa)
3. Angga Aldino (Siswa) 14. Kharisma Maharani (Siswa)
4. Annisa Pertiwi (Siswa) 15. Lestrika Heidina (Siswa)
5. Audita Utami Ningtyas (Siswa) 16. Nindy Suci R (Siswa)
6. Desi Monica (Siswa) 17. Putri Wulandari (Siswa)
7. Dewi Sartika (Siswa) 18. Sukmatri Ananda (Siswa)
8. Dilla Yolanda (Siswa) 19. Taufik Hidayat (Siswa)
9. Fadhillah Nurul Putri (Siswa) 20. Fitria Amanda (Siswa)
10. Goffi Pratama Sugito (Siswa) 21. Fadil Muhammad (Siswa)
11. Intan Permata Sari (Siswa) 22. Wynna
Agustia (Siswa)
Data
nama korban siswa Gama (Padang Ekspres, Senin 12 Oktober 2009)
10. 17 Jam Tidur dalam Pecahan Beton
Langit di atas Kota Padang terlihat
cerah dengan panas menyengat, membakar wajah setiap pengguna jalan. Angin
sepoi-sepoi membelai setiap pengunjung di Pantai Padang. Tidak ada tanda akan
terjadi petaka seperti yang dirasakan saat itu.
Selasa pagi yang dingin, Friska
Yulianita 22 tahun, berpamitan kepada ayahnya untuk pergi ke Kota Padang.
Tujuannya untuk mengikuti pelatihan dari Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP)
Kabupaten Pesisir Selatan, keluarga sendiri tidak merasakan keganjilan melepas
kepergian Friska.
Sesuai jadwal acara, Rabu pagi,
Friska mulai masuk ke Hotel Ambacang untuk mengikuti pelatihan kelautan. Acara
demi acara saat itu berlangsung khidmat. Suasana canda dalam hotel sangat
menyenangkan. Setelah istirahat shalat ashar, penuh riuh tawa. Namun satu jam
berlalu, canda dan riuh tawa peserta berubah tangisan dan histeris.
Gempa mengguncang bumi pertiwi.
Suasana bubar dan tak menentu. Setiap pintu keluar hotel penuh sesak dan
ratusan orang yang ingin menyelamatkan diri. Dalam sekejap, Hotel Ambacang
ambruk bersama ratusan orang.
Friska, seorang gadis asal Surantih
ini, akhirnya terjebak dalam reruntuhan bangunan di lantai II. Semua terasa
gelap seketika ketika pecahan beton bangunan menimpa sekujur tubuhnya. Rasa
sakit tidak dirasakan ketika pecahan beton dengan bobot ratusan kilogram
menimpanya.
“Setelah tertimpa pecahan beton mungkin saya langsung pingsan. Beberapa jam
kemudian mulai sadar, namun semua gelap. Seluruh badan tidak bisa digerakkan,
sedangkan mulut tak sanggup berbicara,” jelasnya di bawah tenda perawatan RSUP
Dr. M. Djamil sambil menangis kesakitan.
Berdasarkan hasil evakuasi, Friska
dapat dikeluarkan dari runtuhan bangunan sekitar pukul 12.00 wib, Kamis 1
Oktober 2009, dengan kondisi lemah. Seluruh bagian badannya luka memar dan
membengkak disertai darah hitam yang sudah mengering.
Di bawah tenda perawatan, udara terasa panas. Hanya kipasan tangan keluarga
dengan secabik kertas menjadi harapan segar. Setiap tubuh yang lemah dan
terluka. Semua korban merintih meminta seuatu. Namun, kondisi tidak memadai.
Semua keluarga korban hanya mampu meminta korban bersabar dan berzikir kepada
setiap korban gempa.
Begitu juga Friska, ia selalu
menangis meminta seteguk air. Tenggorokannya terasa kering ditambah udara tenda
yang panas. Namun, keinginan Friska tidak bisa dipenuhi keluarganya yang
membesuk karena ia akan dioperasi. Dokter menyarankan, Friska harus puasa dalam
beberapa jam menunggu operasi.
“Tolong kasih minum, aku haus. Dari
tadi tidak diurusi dan tidak dikasih minuin. Tunda saja operasinya sampai
beberapa hari lagi, aku masih kuat hidup,” harap Friska meminta air kepada
keuarganya sambil menangis.
Di bawah tenda darurat, Friska
ditemani Sias (ayah), Erni (ibu), Syafrisa (kakak) untuk menjaganya. Keluarga
Friska juga tidak mampu berbuat banyak, semua hanya menunggu perintah dokter.
Sias 51 tahun, pascagempa langsung
pergi ke Kota Padang untuk mencari anaknya. Sejak Kamis pagi, ia mencari anak
di berbagai rumah sakit, namun hasilnya nihil. Akhirnya, ia pulang kembali ke
kampungnya sambil melihat televisi terkait berita gempa. Akhirnya, Jumat 2
Oktober sekitar pukul 10.00 wib, ia dan keluarganya melihat wajah Friska ketika
dibopong sejumlah anggota TNI dari reruntuhan bangunan.
“Saya yakin tubuh perempuan yang
diangkat anggota TNI melalui siaran televisi itu anak saya. Sebab, beberapa
kali wajahnya sempat tersorot kamera. Kami sekeluarga langsung menangis dan
pergi ke RS. Dr. M. Djamil.
Menurut Sias, sampai di RS. M.
Djamil, ia juga kesulitan mencari tempat anaknya dirawat. Hampir dua jam ia
mondar-mandir keluar masuk tenda untuk melihat anaknya. Semua itu akibat
minimnya sumber informasi di di tenda darurat.
“Sampai di RS. M. Djamil saya sudah
mencari Fiska. Dua jam keluar masuk tenda tetapi tetap tidak ketemu. Akhirnya
dari sekian dokter yang saya temui memberikan informasi dan langsung
mengantarkan ke tempat tidur Friska,” ujatnya.
Proses
Evakuasi Hotel Ambacang
Sekitar 200-an orang tertimpa
reruntuhan gedung Hotel Ambacang. Lambannya evakuasi terkendala minimnya
peralatan.
Proses evakuasi, dua korban lagi
berhasil ditemukan di Hotel Ambacang. Kedua jasad berjenis kelamin laki-laki,
identitasnya belum teridentifikasi.
Hotel bintang tiga di Jalan Bundo
Kanduang itu saat terjadi gempa, seluruh kamar dan gedung pertemuan terisi
penuh.
Walaupun empat alat berat sudah
berada di tempat, namun tim evakuasi belum juga memulai pencarian. Tim SAR
memotong Hotel Ambacang menjadi dua bagian. Pemotongan itu dilakukan untuk
memudahkan pencarian korban yang diduga tertimbun di tengah gedung.
“Saya dari hari pertama sudah ada di
sini. Tapi pencarian korban terkesan lamban. Padahal, hotel ini sudah dibagi
dua bagian untuk memudahkan pencarian,” ujar Yos, salah seorang keluarga korban
yang terperangkap dalam reruntuhan.
Kapoltabes Padang, Kombes Pol Boy
Rafli Amar mengemukakan, “Belum bisa menentukan apakah mereka yang terperangkap
dalam hotel tewas atau selamat. Kita berharap semua orang dalam hotel ini bisa
segera ditemukan. Selain memakai alat berat, kita di sini juga melakukan
pencarian dengan anjing pelacak,” ujar Kapoltabes. (Padang Ekspres, Sabtu 3 Oktober 2009)
11. Alhamdulillah,
Walau Kaki Patah tapi Nyawa Masih Ada
Raut kesedihan tercermin di wajah
keluarga korban gempa. Bagi yang mengetahui anggota keluarga dan sanak
saudaranya selamat, tergambar sedikit kegembiraan di wajahnya. Namun, Sabtu 3
Oktober 2009, yang belum ada kabar berita sanak keluarganya di papan informasi,
terlihat wajah duka bercampur kebingungan.
“Kemanakah dia, tidak mungkin dia hilang tanpa ditemukan jenazahnya,” kata
seorang ibu pada salah seorang penjaga posko Prudensial yang menggawangi korban
gempa di Hotel Ambacang.
Hal serupa juga dikeluhkan Rifa’i,
orang tua renta dari Lubuk Basung, yang sedang duduk lunglai di tepi trotoar
RSUP Dr. M. Djamil. Menurutnya, dia mencari anaknya Ahmad Yusuf yang waktu itu
mengikuti seminar Prudensial di Hotel Ambacang. Namun hingga kini, dia belum
menemukan anak keduanya itu. Di posko tersebut tertulis nama anaknya, “Di ruang
mana belum ditemukan anakku,” katanya pasrah.
“Saya tidak tahu harus bagaimana
lagi dan seperti apa nasibnya sekarang. Saat ini saya hanya bisa sabar, karena
hanya itu yang bisa saya lakukan,” ungkap Rifa’i berlinangan air mata.
Dua orang ini, adalah keluarga
korban gempa yang hingga kini belum ditemukan dan belum diketahui
keberadaannya. Entah hidup atau meninggal. Mereka berasal dari Kota Padang dan
berbagai daerah di Sumbar. Bahkan ada juga yang berasal dan luar Sumbar seperti
Jambi, Bengkulu, bahkan ada dari Dumai dan Pekanbaru. Tak ayal, setiap
ambulance yang yang datang membawa korban, mereka selalu bergegas menyongsong.
“Saya selalu mendatangi ambulance
jika ada yang tiba di rumah sakit membawa jenazah. Namun, yang dibawanya bukan
keluarga saya,” kata Audi, ketika itu sedang duduk di salah satu tenda rawat
inap.
Berbeda dengan keluarga korban yang
hingga kini belum ditemukan anggota keluarganya, yang sudah menemukan anggota
keluarganya bisa bernapas lega. Walaupun kepanikan dan kepedihan masih
menyelimuti wajah mereka. Misalnya saja, Andrianaus, ayah dan Kurata Ayuna,
salah seorang siswa Gama yang selamat. Dia bersyukur putrinya ditemukan dalam
kondisi hidup di sela-sela reruntuhan gedung walaupun kaki putrinya itu terluka
dan akan menjalani operasi untuk ketiga kalinya. “Dia selamat, saya bersyukur,”
ungkapnya dengan wajah sendu.
Rasa syukur juga diucapkan Anifa
Dahlan, salah seorang korban gempa yang selamat di Plasa Andalas, yang menderita
patah kaki. “Alhamdulillah, walaupun
saya menderita patah kaki, namun, nyawa saya masih ada. Padahal, sudah setengah
jam saya terhimpit reruntuhan, tanpa ada pertolongan,” tutur Anifa.
Anifa, juga mengaku hingga saat ini
dia masih trauma dengan gempa. Rasa takut itu terbawa hingga ke alam mimpi.
“Hampir setiap malam saya dihantui mimpi gempa. Ketika itu, siapa pun yang
menemani saya, pasli akan membangunkan tidur saya, karena mereka mengatakan
bahwa saya menggigau, dan napas terlihat sesak,” jelasnya dengan suara parau. (Padang
Ekspres, Minggu 4 Oktober 2009)
12. Tentara Itu
Merangkak di Bawah
Reruntuhan Beton
40 Jam
Terjebak Akhirnya Sari Selamat
Semua orang menahan nafas, tatkala para tentara dari Yonif 133 merangkak ke
dalam lorong sempit di bawah reruntuhan beton di STBA Prayoga, Jl. Veteran
Padang. Mereka merangkak masuk lobang tikus gang dibuatnya selama dua hari itu.
Apa yang terjadi di dalam sana? Tak
ada yang tahu, para prajurit ini merangkak sejauh 12 meter ke dalam. Secara
estafet, mereka terus menerus mengeluarkan puing-puing bangunan dari dalam
lorong.
Tidak ada yang berani tegak
berlama-lama di depan lorong yang dibuat dengan bor tangan itu. Kecuali satu
kompi tentara bersama segelintir anggota tim SAR dan Palang Merah Indonesia.
(PMI). Sebab, dari lorong itu tercium aroma busuk yang menyengat. Tetapi
semuanya itu tidak menyudutkan semangat tentara dari Yonif 133 Padang. Mereka
terus mencari korban dari reruntuhan dengan semangat kemanusiaan.
Selama dua hari itu, bergantian
mereka memasuki lobang. Karena, lorong kecil itu hanya menyisakan ruang bagi
enam orang. Seolah tanpa takut, mereka terus saja menggali lebih jauh ke dalam
reruntuhan bangunan yang dulunya empat tingkat itu.
Usaha berani itu membuahkan hasil.
Jumat 2 Oktober, tentara menemukan dua orang gadis yang masih hidup. Terhimpit
di bawah gelimpangan mayat-mayat.
“Ini benar-benar mukjizat. Mereka
masih bernafas, meski telah terkubur selama 36 jam lebih, bersama mayat-mayat
lagi. Ini bukti kekuasaan Tuhan,” ujar seorang warga yang menonton aksi
penyelamatan itu.
Kedua gadis itu bernama Suci 19
tahun, dan Ratna Kurnia Sari 22 tahun. Mereka adalah mahasiswi dan dosen STBA
Prayoga yang terjebak reruntuhan akibat gempa berkekuatan 7,9 SR yang
mengoncang Sumbar. Sebelumnya, tim juga telah menyelamatkan dua orang yang
masih hidup, yakni Agus dan Rudi.
Upaya tim evakuasi semakin gigih.
Bahu-membahu mereka menggali dan memperbesar lorong itu. Meski bau busuk
semakin membuat perut tidak bersahabat.
“Kita berupaya sekuat tenaga. Mereka harus segera dikeluarkan, jika kita
ingin melihat mereka selamat,” ujar salah seorang tim SAR.
Tepat pada pukul 12.00 wib, sebelum
shalat Jumat, tim evakuasi berhasil mengeluarkan seorang dari mereka berhasil
keluar dengan selamat.
“Suci akan kita keluarkan. tapi
mengalami sedikit stres. Jadi kami mohon
agar masyarakat memberi jalan. Ia harus segera mendapat perawatan medis,” seru
seorang tentara dengan pengeras suara.
Namun, para wisatawan bencana itu
sulit diatur. Sehingga aparat dan para wartawan yang meliput kelabakan.
Setelah keluar, Suci segera
dilarikan ke rumah sakit. Sementara, tim evakuasi kembali berjibaku. Kali ini
tugas mereka semakin berat. Lantaran, Sari terhimpit onggokan mayat.
“Ada enam mayat yang menghimpit
Sari. Kita sudah berupaya. Tapi tubuhnya cukup gempal. Jadi sulit menariknya
hanya dengan dua orang,” sebut salah seorang tim evakuasi, Supriadi.
Namun setelah 40 jam tim berhasil
mengeluarkan Sari dari puing reruntuhan. Ia segera dilarikan ke rumah sakit
untuk mendapatkan perawatan medis.
Pada reruntuhan STBA/ Pravoga itu,
diperkirakan masih tertimbun 12 orang lainnya. Itu berdasarkan laporan para
orang tua mahasiswa. Namun, harapan hidup mereka diperkirakan sangat tipis.
Namun begitu tim evakuasi akan terus mencari para korban dari reruntuhan
bangaunan. (Singgalang, Sabtu 3 Oktober 2009)
13. Terasa Hidup Dua Kali
Pantang mati sebelum ajal. ltulah yang tampaknya terjadi pada diri Ferly 32
tahun, guru Bahasa Inggris di Lembaga Bahasa LIA Padang. Pada saat gempa
menimpa Kota Padang, sekitar pukul 17.15 wib, Ferly bersama guru dan beberapa
siswa LB LIA Padang lain tertimbun bangunan berlantai empat tersebut tempat dia
selama ini mengajar. Meski tertimbun bangunan selama lebih kurang 12 jam,
Ferly, Kamis 1 Oktober sekitar pukul 04.30 wib ditemukan selamat. Bahkan Jumat
2 Oktober dengan tertatih-tatih Ferly datang ke Gedung LB LIA untuk memberikan
petunjuk kepada Tim Bantuan yang dipimpin Kapten Asyraf Azis dan Batalyon
Yudhasakti 133 mencari keberadaan siswa yang masih dicari.
“Serasa saya hidup kembali. Saat itu saya
sedang berada di ruang 214, lantai 2, ada sekitar tujuh siswa karena saat itu
ujian lisan. Pertama saya minta siswa menyelamatkan diri. Tapi baru saya berada
di pintu, tangga sudah ambruk. Saya bertahan di pintu bersama Dodi Kurnia dan
Lailatul Jannah. Daun pintu itu yang menyelamatkan kami bertiga karena membikin
rongga, karena saat itu lantai 3 dan 4 sudah menghimpit lantal 2. Tapi tidak
lama kemudian Lailatul Jannah tidak dapat bertahan lama sementara Dodi hingga
kami ditemukan 12 jam kemudian dengan semangat tinggi,” kata Ferly.
Dua jam pertama, kata Ferly, “Saat
yang paling kritis.”.
Abu yang datang akibat ambruknya
gedung berlantal empat itu, menyesakan napas. Keringat di badan keluar
menjadi-jadi kemudian terjadi dehidrasi.
Ferly sempat putus asa tetapi Dodi terus memberikan semangat. Kita harus hidup,
sementara Lailatul Jannah ketika dipegang tangannya sudah dingin. “Saya ingat
saya bawa handphone bernomor Flexy. Kemudian saya menghubungi istri saya dan
suruh dia datang ke LIA bilang sama tim SAR bahwa dia terjebak di antara
reruntuhan gedung ini,” kata Ferly.
Berkat informasi yang dia berikan
sama istrinya Tim Bantuan memberikan bantuan roti dan aqua. Tetapi jaraknya
sekitara enam meter. Dodilah dengan cara merangkak mengambil roti dan aqua dan
memberikan bantuan tersebut kepadanya. Setelah merasa kehilangan harapan, Ferly
merasa ada secercah harapan untuk hidup lagi.
“Suara orang di luar kedengaran, ada
orang, ada orang. Kami jawab minta tolong, tidak ada jawaban. Kenapa saya bisa
selamat karena kekuasaan Allah SWT. Saya bersyukur diberikan kesempatan hidup
untuk kedua kalinya. Alhamdulillah sekitar pukul 04.30 wib kami bisa
diselamatkan Tim SAR,” kata Ferly.
Hingga kini, kata Ferly, dirinya
masih trauma dengan bunyi ketok-ketokan. Ditambah lagi trauma tidak bisa
membantu siswinya Lailatul Jannah yang berada di sisinya “Saya merasa di dalam
itu kayak kuburan. Saya selamat keluar, ini kehidupan kedualah, saya hidup
lagi,” katanya.
Sementara bagi H. A. Manan Mangan,
pimpinan LB LIA, kejadian seperti itu, gedung berlantai empat runtuh dan
menimbulkan empat orang siswa tewas dan dua luka-luka serta tiga orang gurunya
sempat terjebak di reruntuhan bangunan, tidak pernah terbayang sama sekali.
“Saat itu, saya mengantarkan istri
saya, Hj. Junidar Manan, ke rumah. Biasanya saya pulang pukul 06.00 wib sore.
Biasanya istri saya diantar sopir. Sungguh saya tidak menyangka kejadian ini.
Namun begitu, semuanya akan saya jadikan bahan renungan dan instropeksi ke
depan,” kata H. A. Manan Mangan.
Direktur Operasi LBPP LIA Jakarta,
Umar Latinulu, SE., M.Si menyatakan derita LB LIA Padang derita LBPP LIA. Untuk
itu, seperti kejadian yang menimpa LB LIA Yogyakarta dulu, LBPP LIA turun
memberikan sumbangan. “Bantuan kami berikan untuk LB LIA Padang sebesar Rp 100
juta untuk biaya tanggap darurat dan bantuan untuk korban siswa, karyawan dan
guru,” katanya.
Koordinator Lapangan (Korlap) Tim
Bantuan Kapten Asyraf Azis mengatakan tim yang terdiri dari Batalyon Yudhasakti
133, Brimob, Mahasiswa Universitas Bung Hatta, PMI, dan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah sekuat tenaga akan berusaha mengevakuasi korban yang tertimbun
dari gedung LB LIA Padang tersebut.
Akibat gempa yang menimpa Kota
Padang empat orang siswa tewas dan dua luka-luka. Mereka adalah Lailatul
Jannah, Mira Oktari, Ade Laili Anggaraini, Salmah, guru SMP Negeni 1 Padang.
Yang luka-luka Zurnawati dan Dinda (anak Salmah). Selain Ferly, dua guru juga
terjebak dalam reruntuah. Juita terjebak sekitar setengah jam dan Nursim Salam
terjebak sekitar tiga jam lebih.
Tadi malam seseorang yang diduga
Havis Darma Rafke dari no Hp.0813 6372 9472 mengirim SMS bahwa ia terjepit di
LB LIA. Dia anak kelas II IPA SMA 2 Padang. (Singgalang, Sabtu 3 Oktober 2009)
14. 400-an Terkubur saat Pesta
Pesta itu
Dikubur Gempa
Tenda itu berwarna merah jambu. Ada dua. Baru Rabu
pagi 30 Oktober dipasang. Sore kemudian, tenda merah jambu itu menjadi tempat
pengungsian keluarga Nursima.
Hari itu seharusnya menjadi hari
yang membahagiakan bagi putra Nursima dan Sunardi. Ia meminang gadis tetangga.
Baru saja akad nikah dilaksanakan, namun ia tak sempat menikmati indahnya malam
pertama. Gempa datang, rumahnya rata dengan tanah, pestapun bubar, tak jadi
dilaksanakan. “Indak tahu ka jadi atau
indak...” ujar Nursima.
Dua tenda pesta itu, sampai Sabtu
masih terpasang. Nursima menjadikannya tempat berlindung bagi anak dan sanak
keluarganya. Ada empat keluarga Nursima bertetangga, keempat rumah itu hancur
dihantam gempa 7,9 Skala Richter.
Sudah tiga hari pascagempa, Nursima
masih bisa bertahan dengan sisa makanan yang seharusnya digunakan menjamu
tamunya di pesta. Namun, ada belasan jiwa yang bertahan dengan sisa makanan
itu, sementara bantuan tak pernah kunjung datang.
Pesta berujung duka juga dialami
tetangga Nursima di kampung yang berbeda. Pesta baralek Pak Uwih yang
menikahkan putranya Ris berakhir bencana. Rumah Uwih di Simpang Gunung Tigo
lenyap tak berbekas digulung longsor. Uwih dan keluarga belum jelas
keberadaannya. Beberapa anggota keluarganya yang sedang menyiapkan makanan
pesta sudah ditemukan jenazahnya beberapa saat setelah gempa. Jenazah itu
bergelantungan di sisa-sisa bangunan yang nyaris jatuh ke jurang longsoran yang
sangat dalam.
Di depan rumah Uwih masih berdiri
tenda pesta. Sementara rumahnya sendiri beserta empat rumah lainnya lenyap
ditelan longsor.
Menurut warga yang berjaga di lokasi
bencana, di lima rumah itu setidaknya ada 50-an orang. Ramainya di sana karena
mereka sedang mempersiapkan pesta. Keberadaan 50-an jiwa itu belum jelas
nasibnya. Tim SAR, aparat ataupun relawan tak kunjung ada di lokasi longsoran
tersebut.
Mal, lelaki yang ketika musibah itu
datang sedang menyiapkan tenda pesta mengaku beruntung terselamatkan dari
longsor.” Satu kaki saya sudah jatuh ke ngarai, tapi masih selamat,” ujarnya.
Mal menyaksikan sendiri tiba-tiba
bumi bergoncang dan tanah bergemuruh berjatuhan. Rumah Uwih seperti ditelan
tanah. Ia menyaksikan sendiri banyak ibu-ibu yang sedang memasak makanan untuk
pesta tiba-tiba lenyap digulung tanah yang berjatuhan.
Beberapa saat setelah gempa, Mal
menyaksikan ada beberapa jenazah. Namun, Ia sudah kehilangan akal. “Indak tahu bara jenazah kapatang tu,” (tidak
tahu berapa banyaknya jenazah kemarin) ujarnya lirih.
Rumah Uwih tinggal jurang besar yang
menganga. Jurang setinggi ratusan meter membentuk sungai tanah yang mencapai
kiloan meter. Tak ada kehidupan di sana. Tinggal tenda pesta dengan
kebisuannya.
Evakuasi
berjalan lambat
Proses evakuasi Tiga Jorong yang
rata dengan tanah di Kecamatan Tandikek, Kabupaten Padang Pariaman terus
belangsung. Di antara ratusan korban yang tertimbun longsor tersebut, ternyata
sekitar 400-an korban sedang menghadiri pesta pernikahan.
“Ambo raso, saat itu labiah 400 urang yang hadir di pesta itu, gampo
mahoyak, longsor pun menutupi kampong mereka. (Saya rasa, saat itu lebih 400 orang yang hadir di pesta itu, gempa
menguncang, longsor pun menutupi kampung mereka),” ujar Kapalo Mudo Pincuran
Tujuah, Kanagarian 2x11 Kayutanam Amril, 45 tahun.
Menurutnya, saat itu dia hendak ke
Jorong itu untuk menghadiri pesta pernikahan. Ia termasuk salah seorang
undangan. Namun, belum sempat pergi ke sana, gempa menguncang. Dalam sekejap
tiga kampung itu pun rata dengan tanah.
Pulauaia itu salah satu dan tiga
Jorong yang tertimbun longsor. Dua Jorong lainnya adalah Cumanak dan
Lubuklaweh.
Ratusan
Orang masih Terjebak
Proses evakuasi korban gempa, Rabu
30 September itu, sampai kemarin masih belum tuntas. Ratusan orang diperkirakan
masih terjebak reruntuhan dan longsor di sejumlah daerah di Sumbar. Minimnya
alat berat masih menjadi hambatan mengevekuasi korban.
Evakuasi korban Hotel Ambacang misalnya. Sekitar
200 korban tertimpa reruntuhan hingga kini belum bisa dievakuasi. Walaupun
empat alat berat sudah berada di tempat, namun tim evakuasi belum juga memulai
pencarian.
Tim SAR hanya memotong Hotel
Ambacang menjadi dua bagian untuk memudahkan pencarian korban. Tiga korban
berhasil dievakuasi kemarin, seorang di antaranya bernama Yusril, 34 tahun yang
sehari-harinya bekerja di Adira Finance, ia selamat.
Di antara korban tertimbun, terdapat delapan peserta Bimbingan Teknis
Pengolahan Hasil Perikanan. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumbar
Yosmeri mengatakan, “Baru 27 korban berhasil dievakuasi, 8 tewas dan 19 orang
selamat. Semua korban selamat dievakuasi ke RS dr. M. Djamil Padang,” kata
Yosmeri.
Delapan korban yang belum ditemukan
itu adalah, Del, peserta Padang Pariaman, Nurbaiti (Agam), Asmidar (Padang),
Indra (Kabupaten Solok). Lalu, Hilman (Kabupaten Solok), Anasrul (Kabupaten
Solok), Aswat Dirja (DKP Sumbar), dan Azrima (dari Departemen Kelautan dan
Perikanan).
Di gedung Suzuki dan Adira Finance,
Jalan Sawahan, masih tertimbun lima orang lagi. Tim evakuasi sangat ekstra
hati-hati melakukan evakuasi agar gedung tidak runtuh. “Alat yang telah kita
gunakan selama beberapa hari ini mengalami kebocoran oli, tapi masih kita
paksakan untuk bekerja,” ujar Edi, koordinator alat berat kemarin.
Tanggal 3 Oktober tim SAR gabungan
kembali menemukan 4 korban gempa di Pasar Inpres III Pasar Raya Padang. Jasad
korban ditemukan dalam keadaan tubuh hangus terpanggang. Artinya, jumlah korban
yang berhasil ditemukan sebanyak tujuh orang.
“Hampir seluruh jenazah yang kami
temukan tak dapat dikenali lagi karena sudah terpanggang,” ujar anggota tim SAR
Willy.
Di Sentral Pasar Raya (SPR), puluhan
korban juga masih banyak terjebak di sana. Evakuasi akan dilakukan di sana.
Untungnya, sejumlah pasar tradisional tidak ikut hancur.
Tim evakuasi juga melakukan
pencarian korban di deretan ruko yang roboh di Jalan M. Thamrin, ruko di Simpang
Haru, Hotel Mariani, STBA Prayoga, dan beberapa gedung lainnya. Khusus ruko di
Jl. M Thamrin, hingga tiga hari belum berhasil menemukan satu pun korban yang
tertimbun. Tim evakuasi mensinyalir ada sekitar 10 orang yang terjebak di dalam
12 ruko tersebut.
Kepala Dinas PU Kota Padang, Muzni
Zakaria menegaskan, Pemko Padang masih membutuhkan alat berat sebanyak 110 unit
lagi untuk mengevakuasi korban. Alat berat sebanyak 40 unit sekarang ini tidak
mencukupi kebutuhan ideal mengevakuasi ratusan korban yang masih tertimbun
reruntuhan bangunan dan ruko.
Mengungsi
di Masjid
Hingga tanggal 3 Oktober korban
gempa di Pasaman Barat masih mengungsi di masjid dan lapangan terbuka. Selain
kehilangan tempat tinggal, meneka juga masih trauma dengan gempa susulan.
Data sementara dari posko
penanggulangan korban gempa Pasaman Barat, jumbah kerusakan bangunan mencapai
2.813 unit. Rinciannya, rusak berat 1.006 unit, sedang 679 unit rusak ringan.
15. Pesta Itu Dikubur Gempa
Tenda itu berwarna merah jambu. Ada dua.
Baru Rabu pagi 30 September 2009 dipasang. Sore kemudian, tenda merah jambu itu
menjadi tempat pengungsian keluarga Nursima.
Hari itu seharusnya menjadi hari
yang membahagiakan bagi putra Nursima, Sunardi. Ia meminang gadis tetangga.
Baru saja akad nikah dilaksanakan, namun ia tak sempat menikmati indahnya malam
pertama. Gempa datang, rumahnya rata dengan tanah, pestapun bubar, tak jadi
dilaksanakan. “Indak tahu kajadi atau indak ....” ujar Nursima.
Dua tenda pesta itu, sampai Sabtu 3
Oktober masih terpasang. Nursima menjadikannya tempat berlindung bagi anak dan
sanak keluarganya. Ada empat keluarga Nursima bertetangga, keempat rumah itu
hancur dihantam gempa 7,9 SR.
Sudah tiga hari pasca gempa, Nursima
masih bisa bertahan dengan sisa makanan yang seharusnya digunakan menjamu
tamunya di pesta. Namun, ada belasan jiwa yang bertahan dengan sisa makanan
itu, sementara bantuan tak pernah kunjung datang.
Pesta berujung duka juga dialami
tetangga Nursima di kampung yang berbeda. Pesta baralek Pak Uwih yang
menikahkan putranya, Ris berakhir bencana. Rumah Uwih di Simpang Gunung Tigo
lenyap tak berbekas digulung longsor. Uwih dan keluarga belum jelas keberadaannya.
Beberapa anggota keluarganya yang sedang menyiapkan makanan pesta sudah
ditemukan jenazahnya beberapa saat setelah gempa. Jenazah itu bergelantungan di
sisa-sisa bangunan yang nyaris jatuh ke jurang longsoran yang sangat dalam.
Di depan rumah Uwih masih berdiri
tenda pesta. Sementara rumahnya sendiri
berserta empat rumah lainnya lenyap ditelan longsor.
Menurut warga yang berjaga di lokasi
bencana, di lima rumah itu setidaknya ada 50-an orang. Ramainya di sana karena
mereka sedang mempersiapkan pesta. Keberadaan 50-an jiwa itu belum jelas
nasibnya. Tim SAR, aparat ataupun relawan tak kunjung ada di lokasi longsoran
tersebut.
Mal, lelaki yang ketika musibah itu
datang sedang menyiapkan tenda pesta mengaku beruntung terselamatkan dari
longsor.” Satu kaki saya sudah jatuh ke ngarai, tapi masih selamat,” ujarnya.
Mal menyaksikan sendiri tiba-tiba
bumi bergoncang dan tanah bergemuruh berjatuhan. Rumah Uwih seperti ditelan
tanah. Ia menyaksikan sendiri banyak ibu-ibu yang sedang memasak makanan untuk
pesta tiba-tiba lenyap digulung tanah yang berjatuhan.
Beberapa saat setelah gempa, Mal
menyaksikan ada beberapa jenazah. Namun, ia sudah kehilangan akal. “Indak tahu
bara jenazah kapatang tu,” ujannya lirih.
Rumah Uwih tinggal jurang besar yang
menganga. Jurang setinggi ratusan meter membentuk sungai tanah yang mencapai
kiloan meter. Tak ada kehidupan di sana. Tinggal tenda pesta dengan
kebisuannya. (Singgalang, Senin 5 Oktober 2009)
16. Mayat
Bergelimpangan, Pesta Berjalan Terus
Meski Sumatera Barat baru saja
dihempas gempa, namum tidak menyurutkan keinginan warga melakukan pesta
perkawinan. Baralek jalan terus. Sementara mereka tengah arak-arakan dengan
diiringi alunan talempong, tim evakuasi masih berusaha mengeluarkan ratusan
mayat dari puing reruntuhan.
Ratusan orang relawan datang dari
luar negeri, menolong dunsanak awak yang ditimpa musibah, sementara di daerah
musibah, tenda baralek berdiri gagah dan megah.
Di Kota Padang dan Pariaman, digelar
puluhan pesta perkawinan. Padahal, kedua daerah itu tengah berduka. Lantaran,
500 jiwa lebih warganya meninggal dunia dan ratusan lainnya masih terjebak
gedung dan rumah yang ambruk.
“Malu saya melihat ulah orang
kampung sendiri. Saat orang-orang asing datang membantu para korban di
negerinya, mereka malah bergembira ria. Sungguh tak punya hati nurani,” kata
seorang warga Andalas, Ridho Firdaus 25 tahun.
Ia menambahkan, saat ini seluruh
dunia tengah prihatin melihat Sumbar. Berlomba-lomba mereka datang membantu,
atau setidaknya menyumbangkan uangnya untuk para korban.
“Tapi, orang Sumbar sendiri malah
bersenang-senang. Tidak peduli dengan penderitaan umat manusia yang ada di depan
hidungnya sendiri,” keluh Ridho.
Sepanjang hari Sabtu, memang banyak
warga menggelar pesta perkawinan. Mereka tidak saja memajang tenda pelaminan
yang mewah, tapi juga melakukan arak-arakan.
Tradisi Minang memang demikian.
Kedua mempelai diarak dari rumah pihak pria ke rumah wanita. Rombongan diringi
kedua keluarga dan kelompok musik talempong.
Namun, di saat bencana datang melanda,
seharusnya acara bisa diundur, atau menggelar pernikahan yang sederhana saja.
Sekedar untuk menunjukkan simpati dan empati terhadap ribuan korban di Ranah
Minang.
“Sejak awal, kami sudah coba
melarangnya. Tapi kedua mempelai memaksa untuk tetap arak-arakan. Apalagi
undangan sudah tersebar semua. Tidak mungkin perkawinan ini diundur,” dalih
salah seorang keluarga pengantin yang tidak ingin disebut namanya.
Dalam pepatah Minang, perbuatan baik
seperti perkawinan memang sebaiknya tidak diundur-undur. Tapi solidaritas dan
toleransi antar sesama manusia juga perlu. Agama kita mengajarkannya.
Beberapa pesta perkawinan itu, malah
menggelar organ tunggal segala. Dari tujuh tempat pesta yang ditemui di Padang,
tiga di antaranya memakai organ tunggal. Hanya beberapa pesta yang menyalakan
musik dengan tape yang disambungkan dengan speaker besar. Satu di antara tujuh
itu, undangannya membludak.
Beberapa lainnya hanya menggelar
pesta dalam sunyi. Kesenian bercampur
duka para tamu yang rumahnya hancur atau keluanganya meninggal karena diamuk
gempa.
Hanya sunting mempelai yang
membedakan pesta itu dengan acara pemakaman. (Singgalang, Senin 5 Oktober 2009)
17. Orang Minang Memalukan
Orang
Berduka, Dia Menjarah
Pascagempa, kekacauan mulai terjadi
di Pasar Raya Padang. Sejumlah toko mulai dijarah segelintir warga yang
memanfaatkan kondisi kepanikan Rabu sore.
Pertokoan di Jalan M. Yamin banyak
yang hancur dan kosong ditinggal pemilik. Akibatnya, beberapa orang nekat masuk
dan mengambil peralatan toko. Sehingga tidak sedikit toko yang hancur dan
diploroti hingga habis.
Bahkan, di salah satu kantor agen travel yang terletak di depan Masjid
Muhammadiyah habis dijarah. Tong sampahnya pun tidak luput diambil.
Selain itu, Kasawan Pondok juga ada
yang dijarah. Terutama di seputaran daerah Klenteng. Para penjarah itu
memanfaatkan kesibukan aparat yang tengah berjuang menyelamatkan para korban
gempa di Kota Padang.
Untung saja, di Plaza Andalas
keamanan semakin diperketat. Pihak pengelola menambah penjagaan sejumlah satuan
pengamanan. Sehingga luput dan penjarahan.
Memalukan
Ranah Minang disapu bencana alam.
Ribuan orang menemui ajalnya dalam kondisi memiriskan, Padang nyaris bau mayat.
Ratusan orang masih belum ditemukan, lantas ribuan orang dari berbagai belahan
dunia datang membantu. Tapi di sini, di negeri beradat, negeri yang katanya
keturunan Iskandar Zulkarnain ini, perasaan dan rasa kemanusiaannya seperti lenyap
seketika. Tatkala orang berduka, ketika maut masih bermain-main di sekeliling,
saat rumah retak makin retak, mereka berpesta ria. Helat, pesta perkawinan
digelar dengan organ tunggal, tak jauh dari rumah yang rubuh. Orang menggerutu,
organ kian menjadi-jadi.
Ongkos taksi kabarnya selangit dari
BIM ke gubernuran, Rp 400.000,- untuk 4 orang. Dari gubernuran mau ke Pasar
Raya Rp 100.000,- Bensin Rp30.000,- seliter, air mineral kecil Rp 4.000,-
sebotol. Ojek Rp 20.000,-. Rental mobil dikabarkan juga Rp l.000.000,- sehari.
Mudah-mudahan semua itu tidak benar.
Ribuan orang berfoto-foto,
tertawa-tawa, membawa anak dan bini ke lokasi-lokasi gedung rubuh. Ribuan orang
memanjat bukit yang longsor, berpangku tangan melihat Tim SAR bekerja. Di
Tandikek, Padang Pariaman, Brimob Polda Sumsel, jadi tontonan para remaja yang
memoto-moto diri sendiri dengan handphone. Brimob minta tolong mengambilkan
kain untuk menutup jenazah, tapi remaja hebat harapan bangsa itu, tertawa-tawa
kecil sambil berpangku tangan. Mereka menganggu dan memadati jalanan sehingga
lalu lintas jadi macet.
Di Padang, entah dari mana
datangnya, ribuan orang pakai motor dan mobil jadi wisatawan. Kehadiran mereka
menghalangi evakuasi. Tak hanya memoto obyek, tapi juga memoto dirinya dengan
latar lokasi bencana. Lengkap dengan tertawa-tawa. Lalu kemudian, foto itu
dimasukkan ke facebook.
Sementara itu, di gubernuran ratusan
relawan, ratusan jurnalis tak tentu makan tak tentu minum, penuh waktu (bersitungkin) menyusun bantuan dan
berita. Di lapangan, dari Jepang, China, Arab, Amerika, Korea, Swiss, Australia
dan Singapura berkubang-kubang, di lapangan mencari mayat. Jumlahnya 5.000
orang. Lalu, tentara lengkap dengan komandan tertingginya, datang ke sini,
menggali beton, menemukan mayat.
Korban lumpur Sidoardjo mengumpulkan
bantuan, hampir semua TK di Indonesia mengumpulkan bantuan, seluruh surat kabar
dan televisi membuka dompet amal. Bondo nekat dari Surabaya mengumpulkan
bantuan di waktu pertandingan sepak bola. Mahasiswa di seluruh kampus di
Indonesia meminta sumbangan. Anak jalanan, pengamen di seluruli negeri meminta
bantuan. Mereka punya hati nurani. Mereka terketuk, karena Ranah Minang, negeri
hebat bin hebat ini, sedang terkena musibah.
Tapi di sini, kita menjadi
kapitalisme busuk. Menyedot dari comberan. Bergaya (melagak) hilir mudik tak karuan. Tak mau membantu, malah menjadi
wisatawan gempa.
Negeri disumpah barabah, tak
bermalu. Tak malu pada orang asing, tak malu pada nenek moyang sendiri dan
bikin malu.
Akhirilah perangai buruk itu, malu
awak sama orang. (Singgalang, Senin 5 Oktober 2009)
18. 400 Orang Masih Tertimbun
Tiga dusun di Kecamatan Patamuan,
Kabupaten Padang Pariaman tertimbun longsor saat gempa berkekuatan 7,9 SR.
Evakuasi telah dimulai Jumat 2 Oktober 2009. Sekitar 400 warga belum diketahui
keberadaannya.
Sebanyak 19 orang sudah ditemukan
tanggal 2 Oktober. Tim SAR dan masyarakat melakukan pencarian sacara manual
dengan menggunakan empat sirso (gergaji kayu).
Pebukitan yang runtuh sepanjang 3 km
menimpa setidaknya 250 unit rumah di tiga dusun itu. Tak ada pekik yang bisa
dipekikkan, karena tanah longsor mendaram sekejap mata. Hanya dalam hitungan
detik, tak ada lagi rumah yang terlihat. Menurut pihak kepolisian, warga yang
tertimbun 250 jiwa, namun menurut masyarakat sekitar ada 400 jiwa. Di tiga
dusun itu, terdapat setidaknya 200 rumah penduduk.
Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso
sudah berada di lokasi bencana. Jenderal ini mengatur evakuasi korban. Evakuasi
bisa dilakukan dalam beberapa hari ke depan. Personil untuk itu telah
didatangkan. Satu batalyon dari Jakarta. Mereka siap melakukan apa saja guna
menggali timbunan tanah dalam jutaan meter kubik itu.
Dari lapangan menyebutkan, ketiga
dusun nyaman itu, robek oleh tanah longsor yang bergemuruh bagai serombongan
pesawat tempur di udara. Anak-anak, kaum wanita dan semua penghuni ketiga
dusun, tak sempat lagi menyelamatkan diri. Elmaut datang dalam sekejap mata.
Tiga dusun yang tertimbun itu adalah
dusun Kepala Koto, Lubuk Laweh, dan Cimanak di Kecamatan Patamuan. Pada lokasi
kejadian tak ada lagi bangunan yang tampak. Tanah yang menimbun pemukinan warga
berasal dari perbukitan yang terletak persis di belakang rumah mereka.
Bupati Padang Pariaman, Muslim Kasim
memprkirakan ada 400 warga yang tertimbun di tiga dusun ini.
Gempa
Sumatera Barat
Belum terhitung jumlah kerugian
akibat gempa yang meluluh lantakan Sumbar. Namun, dalam taksiran pemerintah,
setidaknya diperlukan dana sebesar Rp 4 triliun guna rehabilitasi.
“Rehabilitasinya bisa triliunan. Mungkin tidak
jauh dari gempa Yogyakarta, Rp 3 triliun sampai Rp 4 triliun,” kata Wakil
Presiden Jusuf Kala.
Menurut JK, dana yang dikeluarkan di
awal sebesar Rp 100 miliar itu hanya diperuntukkan bagi tanggap darurat.
Tanggap darurat itu termasuk antara lain, makanan, obat-obatan, dan lain-lain.
Sedangkan untuk biaya rehabilitasi
Rp3 triliun sampai Rp 4 triliun itu belum termasuk nilai dan bangunan milik
instansi swasta. Seperti misalnya, hotel dan bangunan toko-toko. ltu bisa lebih
besar lagi,” ujar JK.
“Saat ini pemerintah sedang menaksir
berapa nilai rumah, jalan, serta infrastruktur lain yang rusak akibat gempa.
Saya minta Bappenas untuk menilai, kira-kira satu sampai dua minggu. Termasuk
kerugian ekonomi,” ujar dia.
Kerugian ekonomi itu termasuk
perekonomian yang tidak berjalan selama dampak gempa. Untuk itu, Bappenas masih
menghitung rekonstruksi kerugian, data rumah, toko, yang belum selesai.
“Kami perintahkan (hitung), tapi
yang paling penting cari dulu korban yang bisa diselamatkan,” kata JK. “Hingga
kini, jumlah korban yang tewas masih simpang siur”.
Data menurut Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) korban tewas terakhir mencapai 390 orang.
Sedangkan dan Badan PBB Urusan Kemanusiaan melansir korban tewas mencapai 1.l00
orang.
Evakuasi
Terkendala
Evakuasi terhadap korban gempa di
Padang masih berlangsung. Evakuasi berjalan lambat karena keterbatasan sarana
serta petugas yang tak seimbang dengan banyaknya lokasi kejadian.
Hingga kini, masih banyak manusia
yang terjebak di bangunan yang runtuh. Akibat lambatnya evakuasi itu, keluarga
korban yang tak kenal lelah menunggu kepastian nasib sanak-saudara mendatangkan
kekecewaan bagi keluarga. Salah seorang keluarga korban yang terjebak di Hotel
Ambacang, Niko mengaku kesal karena banyak korban yang seharusnya bisa
diselamatkan, tetapi karena terlalu lama terpendam, jadi banyak yang meninggal.
“Kalau melihat cara kerja mereka, saya optimis anak saya bisa diselamatkan,”
kata Niko.
Antara menyebutkan, jumlah pasti
korban jiwa korban, belum bisa dipastikan. Data sementara yang dikeluarkan
Satkorlak PB Sumbar setidak telah 529 warga yang dievakuasi dengan keadaan
telah meninggal dunia. (Singgalang,
Sabtu 3 Oktober 2009)
19. Selamat Dari Hotel Ambacang
Kepala
Robek, Andi Lari Belasan Kilometer
BEGITU berhasil meloloskan diri dari
dalam reruntuhan bangunan Hotel Ambacang, ia terus berlari hingga belasan kilo
meter menuju Indarung. Meski bagian kepalanya mengalami luka robek yang cukup
serius dan bersimbah darah, ia mampu mencapai lokasi Rumah Sakit PT Semen
Padang.
Hebatnya lagi, baru saja selesai mendapatkan
tujuh jahitan di bagian kepalanya, Andi Antoni, S.Pt, 34, begitu nama lengkap
laki-laki itu kembali ke Hotel Ambacang untuk mencani temannya Rozali 41 tahun
yang kemudian ditemukan tewas dalam peristiwa gempa bumi Rabu 30 September
2009.
“Gempa itu sangat tiba-tiba. Begitu
merasakan lantai dua Hotel Ambacang termpat kami pelatihan Bintek pengolahan
hasil perikanan berguncang, saya dan Rozali seketika lari untuk menyelematkan
diri. Namun, baru saja melangkah, lantai hotel persis di tempat saya berdiri
sudah rengkah dan seketika suasana gelap akibat saya sudah berada di dalam
reruntuhan,” ujar warga Tanjung Balik, Kabupaten Lima Puluh Kota itu
mengisahkan kejadian yang dialaminya dalam bencana gempa bumi yang
meluluhlantakan Sumatera Barat 30 September di depan Wakil Bupati Lima Puluh
Kota Irfendi Arbi ketika mengantarkan bantuan ke kediaman korban.
Dengan semangat juang sembari terus
berdoa, la berhasil merangkak dalam reruntuhan yang gelap hingga akhirnya
menemukan seberkas cahaya dari jendela lantal dua hotel naas itu. Begitu
mencapai jendela berketinggian sekitar 5 meter dari tanah tersebut, bapak satu anak
itu langsung melompat dan langsung berlari hingga ke Bundaran Simpang Haru.
Meski bajunya sudah hasah oleh darah
dan napas semakin sesak, suami Megawati 28 tahun ini terus berlari menuju
Simpang Lubuk Begalung. Ia baru menyadani sudah mandi dengan darah ketika
diberitahukan seseorang saat ia berhenti sejenak di Simpang Lubuk Begalung.
Tapi semangat hidupnya mengalahkan
luka menganga dan kucuran darah di kepalanya. Buktinya, pengurus kelompok
perikanan di Tanjung Balit ini kembali melanjutkan jalannya hingga akhirnya
mencapai Rumah Sakit di PT Semen Padang yang berlokasi jauh lebih tinggi dari
pusat Kota Padang.
“Saya tidak menyangka kalau saya mampu
berlari belasan kilo meter dari Hotel Ambacang selama beberapa jam hingga ke
Semen Padang dalam kondisi kepala dan sekujur tubuh luka senius. Begitu luka
saya mendapatkan jahitan, saya kembali ke Hotel Ambacang untuk mencari Razali,”
tutur Andi.
Kendati masih merasakan sakit, Andi
tidak sedikitpun merasa lelah mencari dan menunggu pencarian Razali yang juga
warga Tanjung Balit. Laki-laki itu baru mengabarkan kondisinya ke keluarganya
setelah Razali ditemukan dan mengurus ambulan yang akan membawa jenazah
temannya itu ke kampung.
“Benar, suami saya baru mengabari
kami esok harinya setelah ia mendapatkan jenazah Razali. Padahal, saya sangat
khawatir, apalagi setelah melihat tayangan televisi yang mengabarkan Kota
Padang tempat ia mengikuti pelatihan ponak-poranda,” sela isterinya Megawati.
Beruntung bagi Andi, ia selamat dari
maut. Lain bagi Sugirti 42 tahun isteri Razali. Wanita panoh baya itu tidak
menyangka bapak empat anaknya yang pergi pagi Rabu tersebut pulang jadi mayat.
“Hari itu saya mempunyai firasat
yang tidak enak. Sesaat sebelum gempa yang juga terasa di Tanjung Balit, gelas
yang saya pegang pecah tanpa sebab. Pirasat ini sempat saya ceritakan lewat
telepon kepada kakak saya di Batam dan para tetangga. Tahunya, esok sekitar
pukul 10.30 Wib, saya mendapat kabar suami saya menjadi korban Hotel Ambacang
yang ambruk,” ujar Sugirti dengan mata sembab.
Guru SD Tanjung Balit ini juga
menuturkan, hari terakhir bersama suaminya adalah ketika ia satu mobil dengan
suaminya yang akan ke Padang sedangkan Ia dengan tujuan kantor Bupati di Sarilamak.
Dalam penjalanan hingga ia turun di Sarilamak, tidak ada sepatahpun kata dan
cerita dari mereka berdua. Malah Sugirti juga tidak menyampaikan kata apa-apa
saat turun mobil di Sarilamak dan ia baru ingat serta menelpon kembali ketika
Razali sudah sampai di Baso.
“ltulah terakhir kali saya bicara
dengan suami saya pak. Tidak seperti biasanya, har itu ia hanya diam saja,”
ingat Sugirti yang sebelumnya juga diceritakan Andi.
Wakil Bupati Irfendi Arbi dalam
kesempatan tersebut meminta keluarga korban yang ditinggalkan dapat tabah dan
kuat menerima kenyataan. Wabup juga meminta pihak pemerintahan nagari tetap
memantau penkembangan kondisi keluanga korban. (Singgalang, Sabtu-Minggu 10-11
Oktober 2009)
20. Bantuan Asing Terus Berdatangan
Australia
dan Inggris Kirim Tim ke Sumbar
Asutralia mengirim tim pencari dan penyelamat, bantuan, tim kesehatan
militer, serta tim penilai teknis ke Sumatera Barat. Kamis 1 Oktober 2009
Kedutaan Besar Australia di Jakarta mengirim tim darurat beranggotakan tujuh
orang ke Padang. Tim akan menginspeksi kerusakan dan membuat perencanaan
bagaimana mengirim bantuan Australia dengan cepat dan efektif untuk mendukung
Indonesia bagi mereka yang membutuhkan. Selain itu juga untuk membantu warga
Australia yang terjebak dalam tragedi tersebut.
Pejabat Australia di Jakarta dan Lembaga Australia untuk Pembangunan
Internasional (Aus. AID), Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, dan
Polisi Federal Australia sedang bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk
mengidentifikasi bagaimana Australia dapat memberikan bantuan terbaik kepada
penduduk Sumatera.
“Australia sedang bekerja sama
dengan para mitra Indonesia untuk bekerja dengan cepat dan seksama untuk
memberi tanggapan dengan segera terhadap dampak gempa bumi tersebut,” ujar
Kuasa Usaha Australia untuk Indonesia Paul Robilliard.
Bantuan darurat Australia mencakup
obat-obatan, selimut, dan tenda juga dikirim ke Sumatera Barat. Australia telah
memberikan bantuan sebesar 250.000 dolar Australia kepada LSM Muhammadiyah
untuk mendukung tim kesehatan dan operasi kemanusiaan mereka.
Tim pencari dan penyelamat perkotaan
beranggotakan 36 orang dan sekitar 20 tenaga medis dan insinyur Angkatan
Pertahanan Australia.
Dana sebesar 100.000 dolar Australia
juga telah diberikan kepada Palang Merah Indonesia untuk operasi tanggap
darurat mereka, yang mencakup obat-obatan darurat dan perlengkapan keluarga.
Australia siap untuk menawarkan bantuan lebih lanjut kepada Indonesia setelah
terjadinya bencan.
Tim pencari dan penyelamat Inggris
kini tengah dikirim ke Sumatera Barat oleh Departemen Pembangunan Internasional
(DFID) Inggris, untuk membantu proses evakuasi dan penanganan pascabencana.
Sebuah pesawat yang dicarter
Pemerintah Inggris bertolak dari London menuju Padang pada pukul 01.30 wib pada
hari Jumat 2 Oktober. Pesawat juga mengangkut perlengkapan khusus untuk
pertolongan.
Kru pemadam kebakaran Inggris yang
terlatih dalam pencarian darurat dan teknik penyelamatan juga siap bekerja sama
dengan pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan nyawa korban.
Staf dari sejamlah lembaga bantuan
Inggris juga akan berada dalam pesawat itu. DFID juga mengirim tim respons
darurat untuk menaksir skala bencana. Bekerja dengan organisasi bantuan
internasional lainnya, mereka akan membantu mengombinasikan upaya bantuan dan
menaksir dukungan tambahan apa yang bisa diberikan Inggris buat Indonesia.
Para ahli kemanusiaan DFID juga
berangkat ke Sumatera sebagai anggota misi penaksir PBB, untuk memperkirakan
dan melaporkan bencana tersebut.
AS dan
Australia Kirim Hercules
Militer Amerika Serikat dan
Australia masing-masing mengirimkan satu unit pesawat C-130 Hercules, untuk
membantu penanganan korban gempa bumi berkekuatan 7,9 SR di Padang.
Panglima TNI Jenderal TNI Djoko
Santoso mengatakan, dua Hercules dari Amerika Serikat dan Australia itu sudah
tiba di Indonesia.
“Hari ini, pesawat sejenis dari militer
Thailand juga tiba di Padang untuk membantu evakuasi korban dan pengiriman
bantuan kemanusiaan wilayah bencana,” katanya di Jakarta Sabtu 3 Oktober.
Panglima TNI mengatakan, sehari
setelah gempa bumi memporak porandakan Padang dan sekitarnya, telah banyak
militer negara sahabat yang menawarkan bantuan seperti Singapura, Malaysia,
Jepang, Australia, Ametika Serikat dan Thailand.
“Itu merupakan komitmen angkatan bersenjata negara-negara ASEAN dan Asia
Pasifik untuk saling membantu, selain bekerja sama dalam hal pendidikan,
latihan, pertukaran perwira dan saling kunjung pejabat miiiter,” tutur Djoko.
Ia menambahkan, seluruh bantuan
militer asing itu telah dikoordinasikan dengan Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana.
“Jadi, mereka izin kepada
pemerintah, kepada saya selaku Panglima TNI lalu keberadaan mereka saya
laporkan dan koordinasikan dengan Bakornas BP,” jelas Djoko.
Bantuan internasional mulai mengalir
unluk para korban gempa bumi di Sumatera Barat dan Jambi. Itu melengkapi tim
penyelamat asing yang telah tiba di Padang, Sumatera Barat.
Pesawat
Arab Saudi Mendarat di Medan
Pesawat cargo milik Ukrania yang
membawa bantuan dari Arab Saudi untuk korban gempa Sumbar terpaksa transit di
Bandara Polonia Medan, Jumat 2 Oktober sore. Padatnya lalu lintas di Bandara
Minangkabau, membuat pesawat akan terbang ke Padang kesok harinya.
Pesawat Maximus Aircargo yang
mengangkut dua unit truk dan satu unit ambulance tanggap bencana ini tiba di
Bandara Polonia Medan sekitar pukul 16.30 wib. Pesawat ini juga membawa empat
ekor anjing pelacak yang akan digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan
korban, baik yang selamat maupun korban yang tewas di bawah reruntuhan
bangunan.
Kepala Divisi Operasional TNI
Angkatan Udara Medan, Letnan Kolonel Edward Wisnu mengatakan, pesawat akan
menginap di Bandara Polonia Medan sambil menunggu arus lalu-lintas udara dan
kesiapan Bandara Minangkabau.
“Direncanakan, Sabtu pagi, pesawat
akan terbang ke Padang. Semoga tidak terjadi penumpukan bantuan di posko gempa
di kawasan bandara,” kata Edward.
Sementara Ketua Tim Penyelamat
Pemerintah Arab Saudi, Faraq mengatakan, selain membawa alat evakuasi dan
sarana medis tanggap darurat, pesawat juga membawa sejumlah tim penyelamat yang
akan bekerja membantu proses evakuasi di lokasi bencana.
Uni
Eropa Sumbangkan 3 Juta Euro
Uni Eropa (UE) melalui Komisi Eropa
telah memberi sumbangan awal (initial
contribution) sebesar EUR 3 juta kepada korban bencana gempa bumi di
Sumbar. Javier Solana dan Presidensi UE yang dipegang Swedia saat ini juga
telah menyampaikan ucapan belasungkawa dan simpati kepada korban bencana gempa
di Sumbar.
Demikian disampaikan Duta Besar RI
untuk Uni Eropa, Belgia dan Keharyapatihan Luksemburg Nadjib Riphat Kesoema.
“Bantuan ini akan segera ditambah seterimanya laporan dari tim UE yang saat ini
telah diterjunkan di daerah bencana di Sumbar,” tambah Nadjib.
Menurut Koordinator Fungsi Pensosbud
KBRI Brussel PLE Priatna, di tengah forum dialog European-Indonesian Business Dialog yang sedang berlangsung di
Brussel, Duta Besar RI Brussel dan juga Dirjen Amerop Retno Marsudi menerima
ucapan belasungkawa dan simpati dari pihak UE yang disampaikan oleh James
Moran, Direktur Asia Ditjen Kerja sama Luar Negeri Uni Eropa.
Pagi harinya saat briefing dengan
peserta EIBD (European-Indonesia Business
Dialog) dari Indonesia, Duta Besar RI Brussel, Nadjib Riphat Kesoema,
mengajak para peserta diskusi mengheningkan cipta sejenak.
Dari
Seberang Lautan Datang Menolong
Orang-orang gagah datang dengan
peralatan canggih, membawa anjing pelacak, membawa perlengkapan yang amat
lengkap, datang ke Ranah Minang guna menolong korban gempa. Relawan asing itu,
mulai unjuk gigi di Padang. Mereka 80 relawan dari 17 organisasi mendarat di
BIM Ketaping. Mereka berasal dari berbagai negara, seperti Swiss, Australia,
Amerika Serikat, Jepang dan lainnya.
Tidak berselang lama, mereka
menggelar persiapan peralatan di lapangan parkir GOR Agus Salim, Padang.
Kawasan olah raga di Kota Padang dijadikan base camp tim asing itu. Sebagian
mereka juga memanfaatkan halaman gubernuran yang cukup luas.
Kedatangan mereka itu guna membantu
evakuasi korban gempa di Sumbar. Mereka difasilitasi oleh Pemprov Sumbar dengan
penyediaan beberapa pemandu.
Dengan kedatangan relawan dari
mancanegara tersebut kita harapkan para korban yang masih terjebak reruntuhan
dan evakuasi lainnya bisa cepat dilakukan. Apalagi, para relawan itu membawa
berbagai perlengkapan yang cukup. Bahkan, relawan Swiss membawa serta anjing
pelacak, agar memudahkan pencarian mayat.
Relawan Jepang tidak mau kalah.
Peralatan yang mereka angkut sangat canggih, seperti pendeteksi gempa dan
tsunami.
Namun, relawan AS lebih hebat lagi.
Di saat relawan negara lain sedang briefing dan melakukan persiapan, mereka
curi star dengan langsung terjun ke lapangan. Mereka tampaknya sudah tidak
sabar melakukan aksi kemanusiaan. Berlomba-lomba untuk kebaikan, agama kita
mengajarkan.
Tim
Hongaria ke Padang
Dua Tim Search and Rescue Hongaria
telah sampai Padang, Sumbar untuk membantu proses pencarian korban gempa yang
tertimbun reruntuhan bangunan. Di samping membawa obat-obatan dan alat
perlengkapan pencarian mereka juga membawa peralatan berat untuk mengevakuasi
korban serta beberapa ekor anjing pelacak. Pemakaian anjing ini sangat
membantu, sebab terlatih khusus untuk pencarian korban yang tertimbun di bawah
reruntuhan bangunan.
Menurut Pelaksana Fungsi Pensosbud
KBRI Budapest Shinta Hapsari, dalam menghadapi bencana alam tsunami 2004 di
Aceh dan gempa tahun 2005 di Nias, Hongaria juga menerjunkan tim serupa. Ketika
itu tim SAR Hongaria ini juga membuka rumah sakit lapangan.
Rombongan pertama tim penyelamat pemerintah Hongaria bersama
Baptistaid terdiri dari 19 orang. Sedangkan rombongan kedua diberangkatkan
Palang Merah Hongaria dengan pesawat Sabtu 3 Oktober. Rombongan ini dipimpin
Mayor Peter Jakovics.
Antara Indonesia dan Hongaria telah
terjalin semacam saling pengertian khususnya antara Badan Penanggulangan
Bencana Nasional Indonesia dengan Ditjen Penanganan Bencana Hongaria. Dua
negara ini sepakat untuk saling membantu dalam menghadapi setiap bencana yang
terjadi.
Tim asing yang, telah terjun di
Padang; UAE USAR Team, Disaster Relief Team Japan, Swiss Rescue, Civil Singapore
Defence, Urban Search dan Rescue Republic of Korea National 119 Rescue
Services, dari Jerman, Turki dan sebagainya. (Padang Ekspres, Minggu 4 Oktober
2009)
21. Berpacu dengan Waktu, Berperang dengan Bau
Hari keempat pascagempa berlalu
sudah. Namun, ratusan tim evakuasi korban gempa masih berjuang mengeluarkan
ratusan korban, meskipun mungkin harapan hidup korban sangat tipis. Bagaimana
upaya mereka menyelamatkan korban gempa, di tengah medan reruntuhan bangunan
yang sangat terjal dan ringkih?
Bau bangkai mulai menyengat hidung
di tengah puing-puing Hotel Ambacang. Bagaimana tidak, puluhan bahkan mungkin
ratusan orang masih tertimbun hidup-hidup di dalam bangunan berlantai enam yang
ambruk itu.
Upaya tim evakuasi pun masih
berlangsung. Bahkan saat penulis berada di lokasi, tim evakuasi yang berasal
dari berbagai kalangan, baik TNI, Polri, tim SAR, PT Semen Padang maupun
beragam sukarelawan dari daerah dan negara lain, sedang mencoba mengeluarkan
tubuh korban di antara reruntuhan gedung lantai tiga yang menyatu dengan lantai
dua dan lantai satu bangunan itu.
“Jangan dipaksakan, coba pakai sekop,” teriak salah seorang tim evakuasi
yang harus memakai masker agar ban busuk tak merusak konsentrasi kerjanya.
Bergegas dua anggota tim lain berupaya mencari sekop, untuk mencongkel
reruntuhan yang masih mengapit mayat yang posisinya terjepit reruntuhan
bangunan dengan posisi tengkurap.
Sebelumnya alat berat dikerahkan,
untuk menyibak puing-puing yang menimbumi mayat itu. Enam tim evakuasi tampak
berdiskusi mengupayakan bagaimana cara mengeluarkan mayat dengan kondisi utuh.
Proses evakuasi pun akhirnya berhasil, setelah sekitar dua jam tim evakuasi
berupaya mengeluarkan mayat korban berjenis kelamin laki-laki.
“Ini pengalaman luar biasa selama
saya ikut tim evakuasi, karena medan penyelamatan sangan riskan. Jadi harus
ekstra hati-hati untuk mengeluarkan korban,” ujar Ichwan, tim evakuasi yang
didatangkan dari Polda Sumut, yang sudah bergabung selama 8 tahun dalam
kesatuan Polri.
Pria yang mengaku hanya ganti baju dua
hari sekali ini tak mampu menyimpan kekhawatirannya akan kesuksesan
mengeluarkan semua korban. “Tapi tetap harus optimistis dan bekerja semampu
kami, karena terpenting upayakan yang terbaik,” ujarnya.
Dia bercerita, saat tiba di Kota
Padang, Kamis tanggal 1 Oktober dini hari. Dirinya dan sekitar 107 lainnya
dibagi dalam beberapa tim, Ichwan kebagian tim evakuasi Hotel Ambacang. “Pukul
07.00 wib kita langsung ke lokasi untuk proses evakuasi,” kenangnya.
Menurutnya, sudah empat mayat yang
berhasil dievakuasinya, bau mayat sudah sangat menyengat, karena. baru bisa
dikeluarkan pada hari ketiga dan keempat. “Apalagi saat meugeluarkan mayat
laki-laki berjas, dengan posisi membungkuk, yang kelihatan dulu adalah
punggungnya,” kata Ichwan.
Saat evakuasi jenazah pria berjas
itu, tangan dan baju Ichwan berlumuran darah korban, karena kondisi badan
korban itu sudah sangat rapuh akibat terhimpit bangunan dengan berat belasan
ton. “Tapi untung bisa utuh dievakuasinya,” tutur pria asal Medan ini.
Hal senada diungkapkan Ismet, tim
evakuasi dari PT Semen Padang mengaku sempat berada dalam ruang pengap tanpa
oksigen, sehingga harus mendapatkan bantuan oksigen. Di benaknya terpikir,
bagaimana nasib korban yang sudah puluhan jam terperangkap. “Saya saja sebentar
di dalam reruntuhan sudah pengap, apalagi mereka,” kata Ismet.
Lain lagi Asyraf Aziz yang ikut
mengevakuasi korban gempa di reruntuhan bangunan LBPP LIA Padang. Dia mengaku
sempat tak bisa melakukan proses evakuasi karena cuaca tak mendukung. Bahkan
pada detik-detik pertama evakuasi, dirinya dan beberapa personel TNI lainnya
hanya menggunakan alat manual berupa linggis. “Karena kami tak mau mengambil
risiko korban terjebak dan meninggal, jika memakai alat berat,” jelasnya. Dia
juga mengaku sempat terpana saat berada di dalam reruntuhan. (Padang Ekspres,
Senin 5 Oktober 2009)
22. Ratusan Mayat Ditemukan
Berhimpitan
di Lantai III Hotel Ambacang
Akhirnya, upaya pencarian korban
yang terjebak di Hotel Ambacang pada hari Senin 5 Oktober membuahkan hasil
besar. Hari kelima evakuasi itu, tim SAR telah menemukan ratusan jasad korban
di lokasi kolam renang dan ruang pertemuan.
Namun, mayat korban belum bisa dievakuasi karena sulit menembus puing-puing
bangunan. Sebuah tiang beton utama hotel, menghalangi tim SAR melakukan evakuasi.
Diperkirakan tamu hotel terjebak di lantai tiga dan di dalam kamar. Sebagian
tubuh korban telah terdeteksi tim SAR.
“Jumlahnya mencapai ratusan jasad.
Sulit melakukan evakuasi karena banyak tiang-tiang gedung yang menjadi
hambatan. Kalau dipaksakan, gedung akan runtuh. Tim evakuasi berusaha memotong
tiang beton tersebut,” ujar Musdi, koordinator tim evakuasi.
Lokasi jasad korban tersebut telah
dipasangi bendera warna merah. “Umumnya korban berada di lantai tiga, tempat
acara berlangsung di dua ruangan, serta di kolam renang,” ujar Musdi sambil
terus memantau proses evakuasi.
Beda dengan anggota tim SAR, seorang
tamu hotel yang selamat, Yusri, memperkirakan hanya puluhan mayat tampak
potongan tubuhnya di lantai tiga hotel. “Saya kira hanya puluhan saja. Jasad
abang saya, Yusra, juga tampak berhimpitan bersama jasad lainnya. Yang saya
lihat hanya tangan kakak saya. Saya bisa mengenali jasad kakak saya walaupun
hanya melihat jam tangan serta baju yang dikenakan,” ujar Yusri disela-sela
evakuasi.
Saat gempa terjadi, Yusri bersama
kakaknya mengikuti kegiatan Prudensial.
Tim evakuasi juga telah menemukan
salah satu barang-barang milik salah seorang pramugari Maskapai Penerbangan
Lion Air bernama Nita. (Padang Ekspres, Selasa 6 Oktober 2009)
23. Kisah Penghuni Ambacang yang Selamat
Dwi
Budianto mau Shalat Ashar
“Astagfirullah, Allahu Akbar, selamatkan hamba dari maharabahaya ini ya Allah.
Ya Allah hamba belum siap menghadapMu, karena belum Shalat Ashar,” kalimat
tersebut terlontar dari bibir Dwi Budianto, 48 tahun ketika guncangan gempa
berkekuatan 7,9 SR melanda Kota Padang dan sekitar Rabu 30 September. Saat itu
ayah dua anak ini tengah berada di kamar 336 di Hotel Ambacang, untuk Shalat
Ashar dan istirahat.
Sekitar pukul 19.00 wib nanti, dia
akan menjadi narasumber bagi 30 peserta bimbingan Teknis Pengembanan Produk
Nilai Tambah Tinggi yang diselenggarakan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi
Sumatera Barat.
Pikiran pria yang berprofesi sebagai
Kepala Bidang Pengelolaan Hasil Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan
melayang, teringat kedua anak dan istri yang masih membutuhkan dirinya di
rumah, apalagi dosa-dosa selama ini. Saat guncangan berlangsung, tidak
henti-hentinya, pria berkumis itu meminta pertolongan yang di atas.
“Saat goncangan berlangsung saya
baru sampai ke dalam kamar. Lima menit masuk kamar, secara mendadak, guncangan
hebat terjadi. Saya panik, karena kunci kamar tidak bisa dibuka. Lalu tampak
sebuah meja di sana, dan saya berinisiatif untuk menyelamatkan diri di bawah
meja tersebut. Tak lama berselang, bangunan runtuh lantai atas memimpa meja,
tapi anehnya saya tidak terluka satupun. Lalu, terdengar sayup-sayup orang
minta tolong, dan menyebut asma Allah,” ungkap Dwi kembali mengingat kejadian
Rabu kelabu itu.
Di bola matanya terlihat kesedihan
dan trauma mendalam akan getaran. Dia berhenti sebentar. Lalu, disaat
beribu-ribu reruntuhan bangunan memimpanya, Dwi selalu ingat Allah dan
dosa-dosanya selama ini. Apalagi anak kedua kesayangannya yang masih
membutuhkan. “Mungkin doa-doa mereka selama ini yang menyelamatkan saya dari
reruntuhan ini,” ungkapnya dengan nada kangen melepas rindu kepada keluarganya
di Jakarta.
Tak lama berselang, dia menendang
sebuah batu kecil, dan melihat sedikit lobang cahaya. Lalu dia menendang
kembali, hingga nampak lobang yang besar.
Beruntung dia berhasil melewatinya
hingga selamat. “Saat saya selamat, tersebut pakaian saya compang-camping, tak
satu pun yang berhasil terselamatkan, kecuali baju yang dipakai,” ungkapnya.
Dia bersama temannya, Azinar Chaidir
datang ke Padang atas undangan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumatera
Barat. Rencananya keduanya sebagai instruktur. Dan akan memberikan sedikit
ilmunya sekitar pukul 16.00 wib. Namun, karena saat itu, narasumber dari Bank
Nagari, juga ingin memberikan. pelajaran. Hingga akhirnya, jadwal ceramahnya
ditunda hingga pukul 19.00 wib.
“Lalu, kami berdua kembali ke kamar,
karena saya belum sholat ashar. Lima menit berselang, guncangan hebat terjadi.
Pandangan saya kabur dan tertutup debu. Saat guncangan tersebut saya sempat,
memanggil Azinar yang berada di kamar 338,” ucapnya.
Karena dia berangkat dari Jakarta
bersama dengan Azinar Chaidir dan sampai di Bandara Internasional Minang Kabau
(BIM) sekitar pukul 11.00 wib. Lalu panitia menyediakan penginapan untuk keduanya
di Hotel Ambacang Padang. Sesampai di sana keduanya langsung check in.
Ternyata, hotel penuh dan mereka menunggu untuk check in hingga pukul 13.30
wib.
Ternyata guncangan melanda bumi
persada Bundo Kandung ini telah memisahkan dia bersama Azinar Chaidir. Hingga,
hari Minggu tanggal 4 Oktober tim evakuasi belum menemukan mayat temannya
tersebut. Suami tercinta Azinar Chaidir dengan setia menunggui Hotel Ambacang,
dengan perasaan sedih yang mendalam dia bertanya kepadaWalikota Padang. “Sampai
kapan pencarian ini akan berlangsung,” ungkapnya dengan nada sedih.
Sang walikota benjanji pencarian
akan tetap berlangsung hingga semua korban reruntuhan 30 Gempa September
berhasil ditemukan. Perasaan lega terpancar di raut wajah lelaki separo baya
itu.
Hal yang sama juga dilakukan
keluarga Asmidar, 50 tahun. Semenjak Rabu 30 September lalu, seluruh saudaranya
menunggu di depan hotel Ambacang. “Kami akan tetap menunggu sampai mayatnya
ditemukan, ujar kakak ipar Asmidar, Entri.
Entni mengatakan, terakhir kontrak
dengan adik iparnya tersebut, pukul 3.00 wib. Dimana percakapan tersebut, dia
bersama tiga temannya bergurau, akan menginap di Hotel Ambacang. Kata-kata
tersebut masih terngiang-ngiang di telingganya.”
Saya melihat saudara saya itu pergi
ke Hotel Ambacang dengan pakaian lengkap dan serba rapi. Dan saya tidak
menyangka gempa ini, memisahkan kami,” ungkapnya. (Singgalang, Senin 5 Oktober
2009)
24. Separuh Murid SD Tertimbun
Kabar duka dari Kecamatan Patamuan,
Kabupaten Padang Pariaman kian mengiris hati. Di Korong Sumanak, Kenagarian
Tandikek Mudiak Padang, sebuah gedung SD rata tertimbun longsor. Tragisnya,
hampir separuh peserta didiknya, terkubur hidup-hidup. Akibatnya, proses
belajar mengajar yang sedianya dimulai, akhirnya diganti aktivitas pendataan
korban.
Sekolah itu adalah SD Negeri 14
Pulauaia. Dari 103 murid, separuh tewas tertimbun. Seorang guru yang tinggal di
kompleks sekolah itu, ikut menjadi korban bersama anggota keluarganya.
Guru itu bernama Marnis, guru kelas
VI dan suaminya Basir, beserta tiga anaknya.
Dari informasi di lokasi kejadian,
saat itu tidak ada proses belajar mengajar. Para guru dan murid baru saja
bergotong royong membersihkan sekolah sejak siang.
Semua murid telah pulang ke rumah
masing-masing. Hanya satu guru dan keluarganya saja yang tinggal di sana. Tanpa
diduga, tiba-tiba gempa mengguncang hingga longsor menimbun kompleks sekolah
dalam sekejap.
“Hampir separuh murid kami yang jadi
korban tertimbun longsor, tapi jumlahnya belum pasti. Sebab, belum semua murid
kami temukan,” ujar Kepala SD Negeri 14 Pulauaia Patamuan.
Sebagian besar murid SD Negeri 14
itu berdomisili di ketiga korong yang tertimbun longsor.
Pada gempa September 2007 lalu,
gedung SD ini juga rusak parah. Setelah direhab, sekolah itu lalu ditempati
kembali. SD ini memiliki taman yang indah dan asri.
Di sekolah itu hanya ada 8 guru
termasuk kepala sekolah dan satu penjaga sekolah. “Baa lai pak, sadonya lah anyuik kini (Bagaimana lagi pak, sudab
habis semuanya sekarang),” ujar Kepala tersebut lirih.
Belajar
di Tenda
Aktivitas di SD Negeri 14 telah
dimulai. Guru bersama warga sekitar, bahu-membahu mendirikan posko bencana,
persis di atas sekolah mereka yang tertimbun.
Hanya ada empat guru yang hadir
mendampingi Usmar. Mereka tidak berseragam. Saat itu, memang aktivitas belajar
mengajar belum dimulai.
Beratap reruntuhan sebuah rumah
warga, Usmar memajang foto-foto sekolah yang baru beberapa minggu lalu
diabadikan. Guru lainnya sibuk menyalin nama-nama peserta didik yang diduga
tewas tertimbun. Menurut Usmar, pihak Disdik Padang Pariaman telah mendata
sekolah itu. Namun, kapan proses belajar dimulai, belum bisa dipastikan.
Tiga
Korban Ditemukan
Proses pencarian dan evakuasi korban
terus dilanjutkan. Alat berat atau eskavator telah ditambah. Ada 7 eskavator di
lokasi longsor di Kenagarian Tandikek. Sebagian lagi diarahkan ke Lubuk Laweh.
Pada evakuasi Senin tanggal 5
Oktober, tiga korban tewas berhasil ditemukan. Jenazah pertama adalah anak
kecil. Saat ditemukan, tubuh mungil itu terjepit di antara dua pohon pinang
yang tumbang dan tertimbun tanah. Saat itu, pencarian telah dilakukan pada
kedalaman 5 meter.
Begitu mencium bau tak Sedap, tim
rescue langsung menggali tanah longsoran. Tubuh bocah itu terimpit pohon
pinang, dengan posisi tangan sedang memeluk pohon pinang itu. Mungkin, ketika
itu dia mencoba bertahan dan berlindung.
Tak jauh dari jasad bocah itu, tim
rescue kembali menemukan satu korban lagi. Saat ditemukan, kondisinya
mengenaskan. “Korban yang berhasil ditemukan sampai tanggal 5 Oktober sore
telah 47 orang. Hari Minggu 4 Oktober ditemukan 7 orang dan hari Senin 3
orang,“ ujar Kasi Sosial Kecamatan Patamuan, Amrizal.
Kuburan
Massal
Masih di Korong Sumanak, tim
evakuasi membuat lubang sekira 5 X 3 meter. Lubang itu akan digunakan sebagai
kuburan masal. Kuburan itu berada di bawah pohon kelapa dan pohon durian.
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat
juga telah berencana menjadikan tiga korong atau dusun di Lembah Gunung Tigo,
Kenagarian Tandikek, Kecaniatan Patamuan, sebagai kuburan massal. Sedikitnya,
300 orang masih terkubur tanah longsor di lembah Gunung Tigo dan sulit
dievakuasi. (Padang Ekspres, Selasa 6 Oktober 2009)
25. Rakyat Dibiarkan dalam Ketakutan
Rembulan terlihat suram menempel di
langit tua. Senyap, Sabtu malam 3 Oktober Kapao Koto di Jorong Pulau Air Tandikek,
Padang Pariaman, tenggelam dalam malam yang ketakutan. Di sebuah rumah yang,
Asrizal 41 tahun duduk di bangku di sisi mejanya. Ia menyeduh teh sendirian,
menghirup rokok kretek merek Jingga. Rabu lalu, rumah istrinya itu, nyaris
rubuh akibat gempa kuat. Rumah itu, ditopang kayu. Jika topangannya dicabut,
maka runtuhlah rumah itu.
Malam yang temaram, membantu kaki
melangkah mendekati rumahnya. Ia segera beranjak ke lantai, menggeser lampu
togok yang dibuat di botol minuman Fanta. Asap hitamnya, melayang di udara.
“Silahkan masuk, hati-hati,” katanya.
Kami masuk ke runah kecil itu.
Sebuah lemari pakaian dan lemari makanan masih tersisa, kemudian dinding yang
rapuh, jenjang yang goyang. Hanya itu yang ada di atas rumah. Isterinya,
Kamelia 40 tahun tidak di sana. Ia tidur di tenda bersama empat orang
anak-anaknya, Asri Amelia Rahmi, Vera Yulianti, Muhamad Abrar dan Muhammad
Iiham. Keempat anaknya, sedang trauma, seperti juga dirinya sendiri. Rumah yang
dibuat tahun 1994 itu, adalah surga bagi Asrizal dan Kamelia. Tapi kini, sudah,
tak bisa lagi ditempati lagi.
Asrizal melayangkan pandangannya
kepada orang yang datang bertamu hampir mendekati malam buta. Ia menggeser ke
tengah lampu togoknya. “Gelap, tak ada listrik, kami tak diberi diesel,”
katanya memberi penekanan bahwa gelap benar-benar menyiksa. Baru saja ia
selesai bicara, masuk mertuanya, Ibuk Am. Wanita bergigi platina ini,
menyuguhkan kami sisa kue lebaran.
“Makanlah nak, makanlah, iko kue
amak lainnyo,” katanya. Kami pun merobek plastik kue yang kami bawa dan
meletakkannya di tengah-tengah tempat kami duduk.
Kapalo Koto, Pulau Air adalah desa
terakhir yang bisa diinjak kendaraan. Seratus meter di atasnya, yang terlihat
hanyalah tanah yang robek. “Di sini sekolah, di sana rumah ibu Marnis. Ibu guru
Marnis dan suaminya Basyir serta tiga anaknya semua perempuan terkubur
hidup-hidup. Sabtu sore, ibu guru Marnis yang sudah mengajar di sana selama 25
tahun ditemukan.
Asril mengganti rokoknya. Ia
berusaha untuk tenang. Dan ia agak ‘berdarah’ ketika familinya yang lain juga
masuk rumah. Ada Ardianto, perantau di Jakarta yang bergegas pulang, demi
mendengar Padang Pariaman luluh lantak. Ada perantau dari Pekanbaru dan
beberapa warga lainnya.
Mereka curhat ketiadaan makanan, tidak adanya genset dan anak-anak yang
trauma. Di kampung mereka ada posko tim SAR. Malam itu, bau mayat menyengat
dari posko yang gelap gulita itu. Aparat pemerintah entah di mana. Posko tempat
Brimob dari Sumatera Selatan berposko, gelap seperti kampung yang ditinggalkan.
Tak ada air, hanya tenda Depsos yang kedinginan. Aparat datang berduyun-duyun
menampingi tamu-tamu dari pusat, tapi mereka tak membawa apa-apa.
Asrizal mempererat duduknya. Lelaki
ini saat gempa baru saja pulang mengambil upah menyabit padi orang. begitu
sampai di rumah, ia disambut gempa dahsyat. Ia selamatkan anak dan istrinya.
Setelah itu, episode buruk dalam kehidupannya pun dimulai.
Malam-malam kemudian mereka lalui di
alam terbuka. Angin malam adalah lawan yang kuat untuk kesehatan.
Sementara di luar sana, di Pariaman dan
jalanan lain, bantuan menumpuk, apalagi di Posko Kota Pariaman. Jika saja
batasan geografis diabaikan, maka bantuan bisa disebar ke seluruh wilayah.
Di jalanan dari Padang sampai ke
Pariaman, banyak orang baralek. Malah menjelang Tandikek masih saja orang (baralek) pesta pernikahan dengan tenda
yang meriah. “Tak ado hati, urang bakabuang, inyo baralek juo, meriah-meriah
juo,” kata sejumlah warga. Baralek, ya Tuhan.
Kapalo Koto makin larut. Embun telah
turun. Lokasi bencana sudah lama tersungkup malam yang perkasa. Seperti tak ada
orang di Kapalo Koto. Kami pamit. Warga meminta agar ke kampung mereka
diantarkan genset, makanan dan tenda. Bahkan Asrizal meminta di desanya
dibangun posko induk. Mana pula pemerintah peduli akan hal itu.
Jorong Pulau Air, Lubuak Laweh,
Cumanak, kenagarian Tandikek, benar-benar tenggelam dalam larutnya malam.
Sepertinya daerah ini bukan bagian dari tragedi bencana gempa. Warga menjerit
minta bantuan, tapi bantuan menumpuk entah di mana.
Kami tinggalkan petugas dari PT Jaya
Konstruksi yang baru saja mengantarkan alat berat. Di tengah jalan, kami
temukan warga sedang menguburkan tiga jenazah. (Singgalang, Senin 5 Oktober
2009)
26. Ribuan Rumah Hancur di Painan
Dampak gempa yang melanda Kabupaten
Pesisir Selatan, dari penghitungan sementara nilai kerugian dan kerusakan yang
ditimbulkan lebih dari setengah triliun rupiah. Infrastruktur yang terkena
berupa rumah warga, sarana ibadah, sekolah, sarana kesehatan, kantor
pemerintah, jalan, jembatan dan fasilitas umum lainnya.
Data dari Posko Bencana Gempa
Pesisir Selatan menyebutkan, 1.331 unit rumah rusak berat, 3.057 rusak sedang,
dan 9.017 rusak ringan. Sembilan orang warga meninggal dunia, tujuh luka berat
dan 20 orang luka ringan.
Warga korban gempa saat ini, ada
yang masih bertahan tinggal di tenda darurat, sedangkan sebagian lainnya
memilih tinggal di rumah saudara terdekat. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa,
dan sangat mengharapkan bantuan.
Dedeh 40 tahun warga Kampung Ampuan,
Kenagarian Lumpo Kecamatan IV Jurai, menuturkan, sejak rumahnya hancur dihoyak
gempa hingga rata dengan tanah, ibu empat anak itu terpaksa tinggal di rumah
papan sudah lapuk dimakan usia yang merupakan milik orang tuanya.
“Kebetulan rumah amak awak ko lai kosong (kebetulan rumah
ibu ini kosong), kami sakaluarga tinggal
sajo di situ (tinggal saja di situ). Tapi
kondisi rumah ko ndak lo rancak, kalau hari hujan, basah. Karano atoknyo bocor
(tapi kondisi rumah tidak bagus, kalau datang hujan kita basah, karena atapnya
sudah bocor). Maklumlah rumah lah lamo
ndak bahuni (maklumlah rumah sudah lama tidak ditempati),” ujar Dedeh yang
baru saja berstatus janda.
Untuk urusan makan, sejak kejadian
gempa ia mendapat bantuan beras dari pemerintah. Sehingga empat anaknya tetap
bisa makan dan tidak kelaparan.
Di Nagari Lumpo terdapat sebanyak 15
unit rumah hancur, 161 rusak berat, 360 rusak sedang dan 256 rusak ringan.
Tidak ada korban jiwa di nagari itu akibat gempa.
Harga
sembako naik
Dampak gempa, ternyata membuat harga
sembako melambung. Seperti cabai merah tiba-tiba meroket sampai Rp 50 ribu
perkilogram. Soalnya pasokan dari berbagai daerah ke Kota Painan tidak masuk.
Hal yang sama juga terjadi pada gula pasir. Saat ini di tingkat pengecer harga
jual gula mencapai Rp12.000 perkilogram, sebelumnya hanya Rp 8.500 perkilogram.
Menurut Reni, salah seorang pedagang
di Pasar Inpres Painan, kenaikan harga dipicu karena pasokan barang dari Padang
terputus total sejak kejadian gempa. Sementara permintaan tetap berlanjut
setiap hari.
“Tidak lama lagi stok barang akan
habis. Sementara pasokan dari Padang tidak ada. Sehingga kondisi ini yang
membuat harga menggila” ujarnya.
27. Anak Awak Tatimbun katiko Mengaji
Sore hari menjadi waktu
membahagiakan. Semua anggota keluarga berkumpul dan melakoni aktivitas
masing-masing. Ibu memasak, anak-anak asyik bermain. Namun rutinitas itu
terenggut setelah peristiwa memilukan, Rabu sore 30 September pukul 17.16 wib.
Mendadak tanah bergoyang kuat dan
menghancurkan semua yang berdiri di atasnya. Dalam waktu bersamaan, suara
gemuruh dari atas rumah warga di Desa Tandikek, Kecamatan Patamuan, Padang
Pariaman, kian nyaring. Tanah bergerak begitu cepat. Semua pepohonan di atas
bukit itu, tumbang terbawa longsoran tanah mengubur ratusan rumah warga.
Dalam tempo singkat, Desa Tandikek
disulap menjadi kuburan massal tanpa ada seorang pun yang merencanakan. Semua
hanya nasib dan tinggal sebuah cerita tentang kesejukan udara kampung tercinta.
Selama dua jam terkubur dalam reruntuhan bangunan dari tanah longsor, di
balik beton yang jebol terdengar suara seorang perempuan minta tolong. Ternyata
benar, masih ada beberapa nyawa yang hidup di balik reruntuhan bangunan dan
timbunan tanah longsor itu.
Seorang gadis berlari menghampiri
suara tersebut, tanpa mempedulikan. risiko yang akan dihadapinya. Ia bertarung
dengan longsoran tanah yang masih bergerak liar.
Spontan gadis itu menjerit histeris
ketika melihat sebagian tubuh kakaknya tertimbun tanah. Kepalanya terjepit
reruntuhan bangunan. Ia bingung mau bagaimana. Akhirnya, gadis tersebut
berteriak lebih keras meminta tolong. Selang beberapa menit, lima warga
menyatukan ototnya untuk menyelamatkan perempuan yang masih memiliki harapan
untuk hidup itu.
Rosmawati, 29 tahun seorang ibu
rumah tangga bersama ketiga anaknya terjebak dalam reruntuhan bangunan dan
timbunan longsor. Namun warga hanya bisa mengevakuasi dirinya dan bayinya Aini,
1,5 bulan.
Tubuhnya masih letih ketika sampai
di RSUP Padang Pariaman. Secara perlahan, Ema yang akrab disapa tetangganya
itu, berbagi dukanya itu. Rasa trauma terlihat diraut wajah ibu tiga anak itu
terlihat luka.
Sore itu, ia sedang memasak di dapur
menyiapkan sajian makan malam sambil meninggalkan bayinya yang masih tertidur
lelap di kamar. “Anak awak Rahma Indri Yeni Safitri, 8 tahun sedang mengaji di
teras rumah. Adiknya, Aril Hasnul Firdaus, 4 tahun bermain di halaman rumah,”
katanya.
Ketika gempa mengguncang, Ema sempat
lari menyelamatkan diri dari petaka yang mengincarnya. Sebelum berlarii, ia
masih menyempatkan pergi ke kamar menggendong anak. Ternyata bangunan rumah itu
tidak sekuat yang diduganya.
“Ketika getaran gempa terasa, saya
langsung menuju kamar dan keluar bersama Aini. Baru sampai ruang tamu, tembok
(dinding) rumah sudah ambruk miring. Tanah menimbun rumah kami,” kenang Ema
sambil menangis tergagap-gagap.
Mujurnya, Ema masih memeluk bayinya
di bawah reruntuhan tembok. Namun beberapa puing-puing bangunan lainnya sudah
menimpa bagian wajahnya, sedangkan kaki bayinya terjepit kayu dan atap rumah.
“Sekitar pukul 9.00 wib saya dan
suami dibawa ke RSUD Padang Pariaman untuk mendapatkan perawatan. Setelah
diperiksa, ternyata kaki Aini di bagian pergelangan mata kakinya patah. Sampai
saat ini, Aini terus menangis merasakan sakitnya bagian tulang kakinya,”
keluhnya sambil sesaat mengusap dan mencium kening bayinya.
Biarpun selamat, tapi dukanya terasa
menyakitkan. Sudah tiga hari pascagempa dan longsor, kedua buah hatinya belum
ditemukan. Keduanya diyakini tertimbun longsor bersama bangunan rumahnya.
Ardi Saputra, 31 tahun suami
Rosmawati juga menceritakan, saat terjadi gempa dan tanah longsor itu ia berada
di halaman rumah. Namun kakinya juga terjepit reruntuhan bangunan saat akan
masuk rumah untuk menyelamatkan anak dan istrinya.
“Begitu gempa mengguncang, saya
langsung lari masuk rumah menyelamatkan anak dan istri. Sebenarnya kalau tidak
terjadi longsor kami sekeluarga selamat. Sebab reruntuhan bangunan rumah kami
tidak parah,” tuturnya sambil memeluk istri dan bayinya yang masih terus
menangis.
Ardi menambahkan, tanah longsor
tersebut menimbun tiga kampung yang ada di Tandikek. Di antaranya, Kampung
Lubuk Laweh, Cumanah, dan Polo Koto. Ketiga kampung tersebut nyaris hilang
tertimbun tanah bersama ratusan warga.
“Sampai saat ini masih ratusan warga
tertimbun. Sekarang kampung kami sudah hilang tertimbun dan tak ada yang bisa
diselamatkan. Hanya baju di badan satu-satunya harta yang tinggal,” katanya. (Padang
Ekspres, Minggu 4 Oktober 2009)
28. Ibu Pergi, Setelah Selamatan Adik
Wajah bocah berusia 4 tahun itu
masih penuh lebam. Matanya membiru, kulitnya menguning serta wajahnya pucat pasi.
Sesekali tangannya bergerak meminta perhatian sang kakak yang duduk dengan
setia mendampingi di Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman, Kamis tanggal 1 Oktober
siang.
Gadis mungil berkulit kuning langsat
itu bernama Ayu. Dia hanya bisa terbaring lemah di atas sebuah tempat tidur di
tengah puluhan orang warga senasib dengannya yang juga terbaring, baik di
tempat tidur maupun lantai rumah sakit. Sang Kakak, Leni, 16 tahun hanya bisa
mengusap-usap rambut adiknya untuk menghibur, agar tak ada rasa sedih di wajahnya.
Mereka adalah dua orang piatu,
karena sang ibu serta salah seorang adiknya meninggal dunia karena tertimpa
reruntuhan bangunan tempat tinggalnya saat gempa berkekuatan 7,9 skala richter
yang berada pada episentrum 57 km dari Pariaman. Karena sang ayah tak berada di
dekat, mereka hanya bisa saling menutupi rasa sedih satu sama lain dengan
berkisah hal-hal kecil saja.
“Sembuh ya dik, cepat sembuh, biar
kita bisa pulang,” bujuk Leni dengan suara lembut nyaris tak terdengar kepada
Ayu yang hanya bisa terbaring lemah dengan memicingkan kedua matanya yang
membengkak.
Tak tahu persis apa yang menjadi
penyebab wajah sang adik menyembab menguning dan membiru itu, karena, menurut
informasi yang diperoleh, adiknya, Ayu tidak terkena reruntuhan. Ayu menjadi
salah satu anggota keluarga Leni yang selamat setelah paristiwa naas yang
meluluhlantakkan hampir seluruh lingkungan di seputar tempat tinggalnya di
Sungai Sariak, Ibunya Umai tewas terkubur bersama sang adik, dan jasadnya baru
bisa dievakuasi setelah para tetangga dan ayahnya Ramilis pulang. Umai
dikeluarkan bersama dengan jasad seorang anaknya dalam kondisi berpelukan.
“Ada yang bilang, saat gempa
terjadi, ibu berusaha menyelamatkan kedua adik saya, salah satunya Ayu,
makanya, saya tak sanggup mengenang ungkapan tetangga soal situasi itu. Saya
sedih sekali,” ungkap Leni sambil mengusap-usap kedua belah matanya semenjak
awal bertutur sudah basah menyembab.
Kasih sayang ibu tersebut juga yang
membuat Leni mengaku tegar untuk menjaga adiknya Ayu yang sedang terbaring
lemah di rumah sakit milik pemerintah tersebut. Tak ada sang ayah yang
menemani, hanya berdua saja.
Ayah Ayu dan Leni, Ramilis baru saja
pulang pada pagi hari dari rumah sakit setelah menemani Ayu.
“Paginya ayah pulang lagi ke rumah,
katanya mau memakamkan jasad ibu, tadinya saya ingin melihat, tapi ayah
mengatakan sebaiknya saya menjaga Ayu di sini. Tapi sampai sekarang ayah juga
belum datang, saya takut ada apa apa lagi,” ujarnya lemah.
Apa yang dialami Ayu dan Leni ini
hanya sepenggal kisah sedih dari penampungan korban gempa di Pariaman dan
Padang Pariaman yang hingga kemarin sudah memakan korban hampir 104 jiwa. Ada
puluhan orang anak seusia mereka bahkan ratusan yang nasibnya serupa.
Ibrar, bocah kelas 4 SD yang sedang
termenung di lorong rumah sakit yang sama. tampak hanya bisa pasrah. Sepuluh
jahitan bersarang dikepalanya. Penyebabnya, tak lain karena terkena sambat
berlindung di dalam rumah.
Sang ibu tak henti meratapi dengan
wajah sedih bukan saja karena anaknya yang harus mendapat perawatan khusus dan
diperban pada bagian kepala, namun juga dikarenakan mereka tidak tahu harus
pulang ke mana lagi. “Rumah kami sudah hancur, rata dengan tanah, sanak saudara
dan tetanggapun begitu, kami tak tahu harus pulang ke mana,” ujar Erna dengan
suara lirih di dekat sebuah pembaringan.
Nasib memilukan juga menimpa Yudha
Rahmatullah (3 bulan) anak dari Kambang Manih, 30 tahun yang tewas dengan
tragis karena tubuhnya tertimbun reruntuhan saat hendak diselamatkan sang ibu.
Bayi dengan tangan sudah terikat dan tubuh tarbujur kaku itu wajahnya membiru
sembab, dia tak tersenyum lagi, hanya diam di samping jasad ibunya, Kambang
Manih dan neneknya, Masnah, 70 tahun.
Sampai hari Kamis tanggal 1 Oktober
siang, jasadnya pun belum diambil oleh sanak keluarga. “Nanti siang kami akan
memberitahukan lagi kepada para kerabatnya, agar segera dimakamkan selayaknya,”
sebut dr Hj. Asmayeti, dokter di Puskesmas Sungai Limau.
Beberapa orang balita lainnya pun
terlihat lemah tanpa daya diterpa guncangan gempa yang dianggap oleh sebagian
besar warga di Padang Pariaman dan Pariaman sebagai pertanda tsunami itu. Salah
satunya Ardi yang hanya bisa terdiam dengan tubuh bergetar tanpa diketahui apa
penyebabnya.
Sang ibu, hanya bisa menangis dan
meneteskan air mata dengan menempelkan wajahnya ke wajah sang putra yang hanya
bernafas satu-satu itu. Tak ada sahutan
dan sang ibu ketika ditanyakan kondisi anaknya, dia hanya memeluknya erat
seerat-eratnya sambil menangis tanpa sedikitpun bersuara. (Padang Ekspres,
Jumat 2 Oktober 2009)
29. Membuka Jalan
Hidayah bagi yang Berpikir
“Kita mesti telanjang dan
benar-benar bersih, suci lahir dan di dalam batin. Tegaklah ke dalam sebelum
bicara, singkirkan debu yang masih melekat. Anugerah dan bencana adalah
kehendak-Nya. Kita mesih tabah menjalani, hanya cambuk kecil agar kita sadar
adalah Dia di atas segalanya. Anak menjerit-jerit, asap panas membakar, lahar
dan badai menyapu bersih, ini bukan hukuman, hanya satu isyarat, Bahwa kita
mesti banyak berbenah.”
Kutipan bait per bait lirik lagu
ciptaan Ebit G Ade tersebut pantas direnungi semua pihak. Allah yang. menguasai
langit dan bumi. “Dia bisa membuat apa saja mulai dari gempa bumi, bencana alam
alam ciptaan-Nya kapan saja dan di mana saja. Namun dari semua itu tentu ada
hikmah, pelajaran yang harusnya bisa dibaca dari tanda-tanda itu,” kata Bupati
Pasaman Yusuf Lubis, di sela-sela kunjungan runtuhnya ratusan rumah di Nagari
Binjai, Kecamatan Tigo Nagari, Pasaman.
Yusuf mengatakan warga senantiasa
diminta untuk menyikapi bencana dengan ikhlas dan tawakal. Musibah tidak akan
bisa ditolak dan selalu diikuti sejumlah hal yang bermuara pada hikmah dalam
kehidupan manusia. “Bencana jangan dianggap semata-mata hal yang merugikan.
Justru harus kita petik hikmahnya karena akan diikuti terbukanya jalan hidayah,
rasa empati atas penderitaan orang lain, bahkan pencapaian keseimbangan dalam
kehidupan ini,” kata Yusuf Lubis.
Gempa yang melanda Rao Pasaman,
Padang, Padang Pariaman serta Kerinci dalam selang waktu yang tidak jauh
berbeda harus dipahami suatu kekuasaan dari Sang Khalik. Karena kita harus
selalu berpikir positif dari setiap kejadian mendapatkan hikmah yang terkandung
di dalamnya.
Pemaknaan dengan yang benar
diharapkan akan membawa kebaikan bagi semua warga di Sumbar, “Hal terpenting
dalam menghadapi musibah, bagaimana sikap kita dalam berhadapan dan mengambil
hikmah dari sebuah musibah yang Allah berikan pada kita,” kata Yusuf Lubis.
Dikatakan Yusuf Lubis, salah satu
hikmah dari bencana secara riil di depan mata, terwujudnya kebersamaan. “Warga
yang menyaksikan saudara-saudara mereka yang tertimpa bencana alam sudah
semestiuya ikut prihatin dan memberikan bantuan, baik moril maupun materil,
sebagai wujud ukhuwah islamiyah, karena saat ini adalah mereka yang merasakan
belum tentu besok atau lusa,” terang Yusuf Lubis.
Bencana ini dapat dijadikan sebagai
wahana untuk introspeksi diri. Bagi yang merasa ini merupakan ujian, maka
ibadah harus lebih ditingkatkan lagi. Akan tetapi apabila merupakan siksa (na’udzu billah), maka harus memutar
arah menjadi manusia yang berbakti. Apakah kita termasuk golongan yang
mendapatkan ujian, atau golongan yang mendapatkan siksaaan. Jawaban ini
tergantung pada individu masing-masing.
Kerugian dari adanya bencana bukan
hanya berakibat pada kerusakan fisik saja, seperti ambruknya rumah, nyawa yang
melayang dan sebagainya. Akan tetapi menimbulkan akibat buruk bagi psikis. Hal
ini merupakan kesempatan bagi yang diberi keselamatan oleh Allah untuk
tolong-menolong dalam kebaikan, kesempatan untuk membuktikan kekuatan iman yang
ada pada diri, solidaritas sesama manusia dalam bentuk bantuan fisik dan doa.
Secara terpisah, Ustadz Syafrizal
mengatakan banyak hal yang dapat dipetik dan diambil hikmah atas terjadinya
gempa. “Kalau kita pikirkan, mungkin bisa dikatakan bahwa kejadian ini adalah
peristiwa alam semata. Akan tetapi, alam ini ada yang memiliki, Allah Yang Maha
Kuasa. Dan Allah pun menjelaskan penyebab kerusakan di muka bumi ini,” kata
Syafrizal, usai gelar shalat ghaib.
Ulah manusia menjadi salah satu
penyebab adanya kerusakan di muka bumi. Bencana alam seperti banjir, longsor,
global warning dan sebagainya merupakan akibat dari tangan manusia yang hanya
mementingkan kebutuhan pribadi, mengabaikan akibat buruk yng ditimbulkan dari
perbuatannya itu.
Artinya:
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).” (QS.30:41).
Suatu bencana bukan hanya ditimpakan
bagi orang yang melakukan kesalahan saja. Orang yang berbuat baik pun mendapat
bagian. Bencana, bagi orang yang beriman merupakan ujian dan bagi orang
sebaliknya, merupakan siksaan. Bagi orang yang beriman, bencana itu merupakan
ujian. Sebagaimana firman-Nya:
Artinya :
“Dan sungguh
akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar.” (QS.2:155). (Padang Ekspres, Selasa 6
Oktober 2009)
30. Bocah-Bocah Mengemis Sepanjang Jalan
Gempa bumi berkekuatan 7,9 skala
richter, benar-benar meluluh lantakkan kehidupan masyarakat Sumatera Barat.
Bahkan, ratusan bocah usia sekolah di Kabupaten Padang Pariaman, kini terpaksa
meminta-minta sepanjang jalan raya. Sampai kapan mereka begini? Siapa peduli
masa depan mereka?
“Tolonglah Pak. Tolonglah Bu. Beri
kami sumbangan. Ala kadarnya saja. Rumah kami kanai gampo (kena gempa).
Nada penuh hiba itu mengalir dari
mulut Bella, bocah perempuan yang duduk di bangku Kelas V SD Negeri 01 Sicincin
Kabupaten Padang Pariaman, ketika meminta sumbangan di Jalan Raya
Bukittingi-Padang, tepatnya di Dusun Pila Jaya, Korong Kiambang, Nagari Lubuak
Pandan, Kecamatan 2 x 11 Enam Lingkung, Padang Pariaman, Senin 5 Oktober,
sekitar pukul 13.30 wib.
Siang itu, Bella tidak sendiri.
Bersama belasan teman-teman sepermainannya, termasuk El yang tercatat merupakan
pelajar kelas III SD Muhammdiyah, dia dengan cekatan menyetop mobil atau sepeda
motor yang melintas di Dusun Pilla Jaya. Kemudian, menyodorkan bekas kardus mie
instan berisi uang recehan dan ribuan kepada para pengemudi.
“Hari ini, belum banyak yang Bella
dapat Bang,” akunya polos, sambil membetulkan letak topi berlambang klub sepak
bola asal Italia, Inter Milan.
Bella sendiri mengaku, sudah tiga
hari berada di jalan raya, untuk mendapatkan lembaran rupiah dari para
pengemudi yang peduli terhadap nasib mereka korban gempa. Setiap hari, uang
yang ia kumpulkan bersama teman-temannya cukup banyak juga.
Sayang, jumlahnya Bella tak tahu
pasti. Tapi, menurut bocah yang hari itu mengenakkan kaos kuning, celana
coklat, dan sandal jepit merah, uang sumbangan yang mereka peroleh bisa
digunakan untuk membeli berbagai kebutuhan pokok, terutama beras, mie instan,
dan air kemasan.
Pengakuan Bella, secara tersirat
dibenarkan sejumlah warga dewasa yang tinggal Dusun Pila Jaya, seperti Acin 45
tahun, Lina 44 tahun dan Wati 40 tahun. Menurut mereka, sejak gempa terjadi,
pasokan kebutuhan sehari-hari di Pila Jaya, memang sangat tersendat.
Sementara bantuan yang didapat dari
pemerintah daerah, ‘hanya’ beberapa kilogram beras dan beberapa bungkus mie
instan saja. Padahal, mereka tidak lagi bisa beraktivitas atau mencari nafkah
seperti sedia kala.
“Untung, ada bantuan dari beberapa
warga Sumbar, serta sumbangan dari para pengemudi kendaraan yang dikumpulkan
anak-anak. Dengan itulah, kami membeli berbagai kebutuhan pokok,” aku Acin,
seraya meminta kepada bocah-bocah, agar tidak terlalu ‘merengsek’ ke tengah
jalan.
Hampir
Setiap Sudut
Fenomena bocah-bocah korban gempa
Pariaman meminta-minta sumbangan di jalan raya, tidak hanya terlihat di Dusun
Pila Jaya. Beberapa kilometer dari tempat tersebut, juga nampak hal serupa.
Misalnya saja di depan salah satu Sekolah dasar, dalam kawasan Kampung Tangah,
Parik Malintang. Kemudian, di Kampung Tangah, Pungguang Kasiak, Kecamatan
Lubuak Alung.
Lalu, jika anda masih berputar-putar
di Kabupaten Padang Pariaman, banyaknya bocah yang terpaksa meminta juga dapat
dilihat di kawasan Sintuk Toboh Gadang, Kecamatan Sintuk, Simpang Taluak Balibis,
dan Nagari Pasia Laweh, serta sejumlah kawasan lainnya.
Sama halnya dengan para boca di Pila
Jaya, bocah-bocah di tempat tadi, mengaku, juga tidak ‘disuruh’ untuk meminta
sumbangan. Namun, mereka sendirilah yang secara sukarela berniat membantu orang
tua.
Mereka
Juga Punya Masa Depan
Namun, semangat para bocah membantu
beban orang tua mereka karena gempa, tentu juga tak bisa dibiarkan
berlama-lama. Apalagi menurut informasi sejak Selasa 6 Oktober, sebagian di
antara mereka ada yang sudah harus mulai masuk sekolah.
“Kalau dibiarkan terus di jalan,
tentu bisa-bisa mereka nanti tidak sekolah. Padahal, mereka juga punya masa
depan,” kata Azwardi 46 tahun seorang warga dari Kabupaten Limapuluh Kota yang
sempat memberi sumbangan untuk para bocah.
Karena itu pula, menurut Sago Indra,
seorang aktifis lembaga swadaya masyarakat yang ikut menjadi relawan gempa di
Sumbar, tak ada pilihan yang harus dilakukan, pemerintah daerah bersama
Satkorlak, selain memikirkan, bagaimana kebutuhan pokok korban gempa dapat terpenuhi.
Sehingga mereka dapat ‘menghentikan’ aksi bocah masing-masing, agar tidak lagi
di jalan raya. Mungkinkah?
Evakuasi
Terkendala Medan
PT Semen Padang kembali menyalurkan bantuan kepada Satlak Padang Pariaman.
Bantuan berupa 10 ton beras, 100 tenda darurat, dua unit ambulans, air minum
dan tim medis. Tak hanya itu, PT Semen Padang juga mendirikan dapur umum di
Sungai Sirah dan posko utama di Padang Bukik.
“Hari pertama hingga hari ketiga
pascagempa, kami fokus mengirim bantuan untuk Kota Padang. Kini, saatnya kami
ke luar Padang, mengirim bantuan ke Kabupaten Padang Pariaman. Namun
sebelumnya, PT Semen Padang juga telah menyerahkan bantuan Rp l,5 miliar kepada
Gubernur Sumbar,” ujar Dirut PT Semen Padang Endang lrzal usai menyerahkan
bantuan, di Kantor Bupati Padang Pariaman.
Bantuan diterima Wabup Ali Mukhni
didampingi Sekkab Yuen Karnova. “Ini baru bantuan tahap pertama. Yakni, bantuan
tanggap darurat. Bantuan-bantuan PT Semen Padang 1ainnya akan menyusul, yakni
tahap recovery (pemulihan) dan
rekonstruksi nantinya,” tambah Endang.
Tak hanya itu, PT Semen Padang juga
mengirimkan bantuan relawan dan alat berat. “Kami menyadari, alat berat masih
minim di lapangan. Khusus alat berat, kita berdayakan alat berat yang ada di
pabrik, sekitar lima unit. Eskavator kita baru, tiba di Malalak dan Tandikek
saat ini,” ulasnya.
Di tempat yang sama, Wabup Padang
Pariaman Ali Mukhni mengatakan terbatasnya alat berat, menjadi salah satu
kendala untuk mengevakuasi korban. “Medan longsor di Padang Pariaman, sangat
sulit. Daerahnya berbukit-bukit. Kami sangat terbantu dengan bantuan alat berat
ini,” ulas Wabup.
Ditambahkan Wabup, korban tewas di
Padang Paraman mencapai 280 orang, luka berat 260 orang. Sebanyak 31.282 unit
rumah rusak berat, 6.947 unit rusak sedang dan 2.386 unit rusak ringan. Korban
hilang mencapai 200 orang. (Padang Ekspres, Selasa 6 Oktober 2009)
31. Istighfat Terucap, Longsor Terelak.......
Tuhan menampakkan kuasa-Nya pada
keluarga Labai Ayuih. Ketika semua rumah di Kampung Sumanak hilang ditelan
longsor Gunung Tigo, rumahnya selamat beserta seluruh penghuni. Bagaimana
kisahnya?
Korong Sumanak, merupakan salah satu
Korong yang rata dengan tanah ditimbun longsor. Letaknya berada di Kecamatan
Patamuan, Kenagarian Tandikek. Hanya 2 km dari Pasar Tandikek atau sekitar 10
km dari Simpang Kotomambang.
Sumanak berada persis di pinggang bukit Gunung Tigo. Di bawahnya mengalir
Batang Sumanak. Ketika hari cerah, airnya mengalir tenang. Jika hujan, berubah
menjadi ganas. Di sinilah, kampung nan elok ini keluarga Labai Ayuih tinggal.
Pria berusia 56 tahun ini memiliki 6
orang anak. Saat kejadian, hanya anak sulungnya berada di luar rumah. Rumah
semi permanen yang dihuni keluarga Labai, persis berada di tengah longsoran.
Seluruh rumah permukiman di kampung itu hilang dihantam longsor.
Ajaibnya, tidak sedikit pun material
longsor menimbun rumah Labai. Tanah lunak bercampur lumpur itu hanya melewati
kiri-kanan rumah Labai, dan menyapu rumah lainnya. Hanya suara gemuruh yang
terdengar kala itu. Gunung Tigo mengamuk, menyapu bersih kampung itu.
Sembari menyelamatkan anaknya M Riki
3 tahun, Labai terus beristighfar. Tak ada firasat apa pun yang dirasakannya.
Hanya, saat itu anaknya M Riki minta buang air besar. Menurutnya, tidak
biasananya Riki buang air besar di sore hari. Beberapa menit setelah Riki buang
hajat, gempa besar tiba. Bumi bergetar begitu kuatnya. Labai langsung menyuruh
anaknya lari ke luar rumah.
Sekitar 10 menit setelah gempa,
terdengar gemuruh di langit. Topografi kampung itu memang berada di kemiringan.
Rumah Labai sendiri berada di pinggang bukit.
Gemuruh itu begitu keras. Sehingga
pekikan warga nyaris tidak terdengar. Kalah keras dari suara gemuruh longsor. “Awak langsuang ambiak Riki, sudah tuh
balinduang di luar rumah (Saya langsung ambil Riki, dan berlindung di luar
rumah),” terang Labai.
Seperti dalam mimpi. Labai takjub
begitu mengetahui seluruh anggota keluarganya selamat dari maut. Hatinya
seketika luluh, saat menyaksikan puluhan rumah tetangganya disapu longsor. Rata
dengan tanah. Pemandangan berubah tragis, kampuang nan dicinto hilang. Hanya
lumpur bercampur tanah gunung yang tampak. Puluhan orang terkubur di sana.
Sebuah mushalla ikut hilang
diterjang lumpur.
“Biasonyo,
kalau ka sumbayang, hanya ado imam jko awak, tu babarapo padusi. (Biasanya,
hanya ada imam, saya dan beberapa jamaah perempuan) yang shalat di mushalla
itu,” ujarnya.
Kendati rumah Labai masih utuh,
namun Labai berencana tak lagi menetap di situ. Saat ini, Labai terpaksa
mengungsi ke rumah kerabatnya di Kampung Paneh. (Padang Ekspres, Selasa 6
Oktober 2009)
32. Kami Yakin, Masih Ada yang Hidup
Empat hari setelah musibah gempa
terjadi, Pemprov Sumbar sepakat melakukan pemakaman massal di Nagari Tandikek,
Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padang Pariaman. Lantas, seperti apakah kondisi
nagari yang disebut sebagai “ikue darek
kapalo rantau” Minangkabau tersebut?
Bola mata Jawanis 43 tahun nampak
sembab. Raut mukanya kuyu. Sekuyu kain sarung yang dipakainya sewaktu menggali
reruntuhan bangunan akibat gempa hebat di Korong Jumanak, Nagari Tandikek,
Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padang Pariaman.
“Lah pai sadonyo Pak. Ndak ado nan tingga lai. (Sudah pergi semuanya Pak, tidak ada lagi yang
tinggal). Tolonglah kami. Tolonglah kami,” kata Jawanis sambil mengais
puing-puing bangunan rumahnya yang telah rata dengan tanah, Jumat 2 Oktober
siang.Waktu itu, di Nagari Tandikek yang memiliki beberapa korong (setingkat
dusun), di antaranya Jumanak, Gunuang Tigo, Lubuak Laweh, keadaan amat
mencabik-cabik relung hati. Sekitar 90 persen rumah penduduk dan fasilitas umum
rata dengan tanah. Ratusan orang diperkirakan tertimbun reruntuhan bukit yang
mengitari nagari tersebut.
Sementara bantuan makanan, minuman,
pakaian atau obat-obatan belum didapat warga. Begitu pula tim SAR TNI dan
Polri, belum ada yang datang untuk mengevakuasi atau mencari ratusan warga yang
tertimbun.
Sehingga tak heran, saat itu Nagari
Tandikek benar-benar mirip sebuah “perkampungan mati”. Sisi utara Nagari
Tandikek berbatasan dengan Kabupaten Agam dan Gunung Tandikek, arah selatan
dengan Kenagarian Sungai Durian dan Kecamatan Padang Sago, Kecamatan V Koto
sebelah barat, dan Kecamatan 2 x 11 Enam Lingkung serta Bukit Barisan sebelah
timur.
Walaupun demikian, Jawanis bersama puluhan warga Tandikek yang masih
bertahan hidup, belum mau beranjak meninggalkan kampung mereka yang dalam pameo
masyarakat Minangkabau disebut sebagai atau daerah yang terletak antara wilayah
rantau (Pariaman, Padang dan lainnya) dengan wilayah darek (Luhak Limo Puluah
Koto, Tanah Datar, dan Agam).
“Alun mungkin awak pai dari siko.
Kami yakin, masih adoh dusanak nan hiduik. (Belum mungkin saya pergi dari sini.
Saya yakin masih ada keluarga dan kerabat yang hidup),” kata Jawanis, ketika
disarankan menunggu kedatangan tim SAR di posko-posko terdekat.
Jawanis memang sangat berharap
orang-orang terdekatnya selamat dari maut. Sebab, sebagaimana disampaikannya
kepada Bupati Limapuluh Kota Arbi yang hari itu memimpin relawan dan Satkorlak
Limapuluh Kota dengan ditemani Camat Patamuan Nur Hilda, dan 22 orang anggota
keluarga terdekatnya, baru enam orang yang ditemukan selamat.
“Makonyo, awak cari di rumah ko. Untuang-untuang ado juo nan hiduk. (Makanya, saya cari dalam rumah. Mudah-mudahan
ada juga yang hidup),” ujar Jawanis, dengan mata berkaca-kaca.
Semangat untuk mencari anggota
keluarga yang hilang di Korong Jumanak, Nagari Tandikek, menjelang rencana
pemakaman massal di kawasan tersebut, juga diperlihatkan seorang wanita berusia
sekitar 24 tahun, asal Lubuk Alung.
“Rumah mertua ada di kampung Jumanak
ini. Waktu gempa dia di sini. Saya sekarang mencarianya, mudah-mudahan beliau
selamat,” ujar perempuan yang baru datang dari Lubuk Alung tersebut.
Sementara itu di Korong Lubuk Laweh
yang merupakan daerah tetangga Korong Jumanak, kodisinya juga terlihat sangat
memprihatinkan. Tanah dan pasir putih menimbun rumah-rumah warga. Beberapa
rumah gadang kebanggaan orang Minang, nampak tinggal gonjongnya saja.
Dua hari yang lalu, kondisi darurat
di Lubuk Laweh belum tersebtuh sama sekali. Namun, tim SAR bersama warga sudah
turun melakukan evakuasi dan pencarian. Hasilnya, ada beberapa jenazah yang
bisa ditemukan. Sehingga, meski dikurung sedih, warga dan tim SAR masih
semangat melakukan pencarian.
Jadi
Makam Massal
Pada tempat lain, bersamaan dengan
semangat warga dan tim SAR untuk melakukan pencarian di Tandikek, Pemprov
Sumbar menyepakati pendirian pemakaman massal di kampung tersebut.
“Berdasarkan keputusan rapat kami
akan menjadikan wilayah tersebut (Tandikek) sebagai kuburan massal,” ujar
Kepala Biro Humas Setprov Sumbar Dedek Nuzul Putra.
Dalam rapat tersebut, pemerintah akan lebih memfokuskan pencarian pada
korban yang kemungkinan masih dapat bertahan hidup dalam reruntuhan bangunan
atau yang mengalami cedera. “Juga lokasi ini agak sulit dijangkau dan mereka
(korban) sudah tertimbun cukup lama selama 3 hari. Jadi tidak ada kemungkinan
hidup,” kata dia sembari menyebut alat-alat berat sangat minim.
Pemerintah daerah pun akan meminta
bantuan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk meyakinkan keluarga korban agar
rela memakamkan keluarganya secara massal.
Namun, rencana pendirian pemakaman
massal di Tandikek, belum ditanggapi beberapa masyarakat yang berada di ujung
utara Kabupaten Padang Pariaman tersebut. Beberapa keluarga korban justru masih
berharap, pencarian dapat dilakukan dalam dua hari ke depan.
“Kalau juga belum ketemu, baru
dilakukan pemakaman massal. Sebab kami yakin, masih ada yang hidup,” kata
beberapa warga. Mungkinkah? (Padang Ekspres, Senin 5 Oktober 2009)
33. KRI Soeharso Bisa Rawat 500 Pasien
Kapal Republik Indonesia (KRI) Teluk
Cirebon dan KRI Dr. Soeharso yang mengangkut bahan logistik bersandar di
Pelabuhan Teluk Bayur. Kapal milik TNI Angkatan Laut yang dilengkapi tim medis
dan bantuan obat-obatan ini juga berfungsi sebagai Rumah Sakit terapung
nantinya.
“Dua KRI ini juga membawa beberapa alat berat
yang akan digunakan nantinya untuk melakukan evakuasi korban yang masih
terperangkap,” ujar Dantamal II Padang, Laksamana Pertama (Laksma) Arnold
Datuak Batuduang Ameh.
Logistik, alat berat serta tim medis ini akan disebarkan nantinya ke Padang
dan Padang Pariaman. “Dua kapal tersebut standby di Pelabuhan Teluk Bayur dalam
waktu yang tidak ditentukan, ujar Arnold.
Sejak Senin sore 5 Oktober, KRI Dr
Soeharso-990 milik TNI-AL berlabuh di Teluk Bayur untuk membantu penanganan para
korban gempa di Sumatera Barat. KRI Dr Soeharso adalah kapal yang juga
berfungsi sebagai rumah sakit terapung. Di dalamnya telah siaga tim medis
lengkap.
Sekitar pukul 10.00 wib, di sela
menangani para pasien, rumah sakit terapung itu dikunjungi Menteri Perdagangan
Mari E Pangestu. Saat mendarat di hanggar kapal tersebut, Mari disambut
Walikota Padang Fauzi Bahar dan Kepala Dinas Kesehatan Armada Timur Kol dr Arie
Zakaria SpOT.
Mari hanya mampir sebentar untuk
melihat fasilitas kapal yang memang tidak kalah lengkap layaknya rumah sakit
umum. Kapal rumah sakit yang dirancang Korea pada 2003 itu, bahkan dilengkapi
ballroom yang kerap dipakai menyambut kedatangan presiden maupun sejumlah
pejabat penting lain. Bahkan, Mari kagum saat melihat ruang intensive care unit (ICU) kapal tersebut
yang steril. “Korban sepertinya cocok kalau dirujuk ke sini,” ujarnya.
KRI Dr Soeharso-990 berangkat dari
Surabaya menuju Jakarta pada Kamis 1 Oktober. Saat tiba di Padang, korban yang
ditangani tidak terlalu banyak. Sebab, sebagian besar sudah dirawat di RSUP Dr
M Djamil.
Gratis,
tak Dipungut Biaya
KRI Soeharso salah satu kapal rumah
sakit terapung, keberadaannnya masih belum diketahui masyarakat. Kapal yang
bisa merawat 500 pasien tersebut, saat ini baru dihuni 12 orang pasien rawat
inap. KRI yang mempunyai perlengkapan layaknya rumah sakit tersebut, dijaga 10
dokter yang standby 24 jam.
Belum banyaknya pasien yang dirawat
di kapal rumah sakit tersebut diduga kuat karena kurangnya informasi dari
masyarakat takut dipungut bayaran. “Saya tidak tahu kalau kapal ini dijadikan
rumah sakit. Saya mengetahui adanya kapal rumah sakit dari tetangga yang
bekerja di Teluk Bayur,” ujar Zulfan, pasien yang baru masuk.
Dikatakan Zulfan, untuk ke rumah
sakit berobat ia tidak mau karena kurangnya layanan pada pasien sehingga saat
ini kaki kirinya yang patah sejak gempa terjadi telah membengkak.
Kurangnya pasien juga diakui Kapten
KRI Soeharso, Letkol LautYudowarsono. Menurutnya hingga kemarin baru 12 pasien
yang dirawat.
Di kapal ini tidak dipungut bayaran,
dan peralatan untuk pemeriksaan pasien yang digunakan juga standar rumah sakit
yang berada di darat.
“Kita berharap keluarga korban bisa
membawa korban yang terkena gempa ke kapal ini. Di kapal ini tidak dipungut
bayaran sepersen pun, karena ini sudah merupakan tugas,” ujarYudowarsono.
Ditambahkannya, untuk korban yang
tidak bisa dibawa dengan kendaraan karena ada beberapa ruas jalan yang belum
bisa dilalui, juga disiapkan satu helikopter untuk melakukan evakuasi.
“Bagi kawasan yang jauh dari kota
Padang, tinggal memberitahukan ke posko TNI AL, dan akan kita jemput dengan
helikopter. Sedangkan untuk masuk ke sini pun tidak memerlukan persyaratan yang
sulit,” ungkapnya.
Kemarin, pasien yang dirawat di
rumah sakit tersebut sekitar 12 orang. Umumnya korban dari daerah sekitar.
Nuraini adalah salah seorang korban
gempa yang dibawa anaknya, Yualfi, ke RS terapung itu. Perempuan berusia 67
tahun itu menderita patah tulang kaki sebelah kiri karena tertimpa pagar rumah.
Sebelumnya, Nuraini dirujuk ke RS Dr
M Djamil. Namun, karena di sana terlalu banyak pasien, dia tidak tertangani
secara layak. “Dia hanya diinfus. Saya takut kakinya terinfeksi. Akhirnya, saya
bawa ke sini,” ujar Yualfi.
Fasilitas RS terapung, kata Arie
Zakaria, cukup lengkap untuk memberikan pertolongan. Di kapal itu ada
poliklinik THT, anak, penyakit dalam, mata, jantung, bedah, dan jiwa. .Juga ada
dua kamar operasi. “Kami bahkan memiliki poliklinik kejiwaan. Sebab, trauma
pascabencana pasti terjadi,” ujarnya.
Dia mengatakan, amat penting membawa
psikolog. Sebab, berdasarkan pengalaman menangani korban bencana, peran
psikolog dinilai sangat penting. “Memang seminggu pertama korban terlihat biasa
saja. Karena yang dipikirkan masih keselamatan dirinya. Tapi, setelah itu,
mereka sadar tidak memiliki apa-apa. Gejala stres pun bakal terjadi.”
Arie mengatakan, untuk menangani
korban di daerah, sudah ada batalyon TNI yang khusus terjun ke lapangan dan
menolong. “Para korban yang membutuhkan pertolongan medis akan dibawa ke sini.
Bisa melalui perjalanan darat maupun udara. Kami juga sediakan heli,” terang
Arie yang kemarin terbang dengan heli untuk memantau para korban gempa yang
butuh pertolongan.
Cepat
Tangani Darurat
Di antara sejumlah aset Tentara
Nasional Indonesia yang dianggap tidak memenuhi unsur kelayakan, masih ada
segelintir “harta” yang bisa dibanggakan. Salah satunya adalah armada rumah
sakit terapung KM dr Soeharso. Bukan hanya desain yang canggih, kapal itu juga
dilengkapi fasilitas medis mutakhir.
Dengan dimensi panjang 122 meter dan
bobot saat kosong 11.394 ton, KRI dr Soeharso terlihat menonjol di antara
kapal-kapal di sekitar Teluk Bayur.
Kapal dengan daya angkut 11.300 ton
dan berkecepatan maksimum 15 knot itu, hanya bisa diparkir pada kedalaman lebih
dan 15-20 meter.
Untuk naik turun di kapal lima
lantai itu, bisa menggunakan lift. Lantai dua kapal itu terdiri atas
ruang-ruang yang merupakan bangsal dan kamar isolasi serta ruang untuk rapat
kru dan kamar-kamar kru.
Lantai tiga terdiri atas fasilitas
perawatan rumah sakit. Lantai empat dan lima merupakan kamar-kamar kru, ruang
pertemuan, dan fasilitas operasional kapal.
Lorong-lorong dan koridor dalam
kapal tersebut terlihat sangat rapi dan bersih. Lantai serta tembok kapal
terlihat mengkilat layaknya sepatu yang baru disemir. Dalam kamar dan
kabin-kabin utama, kasur serta meja terlihat ditata rapi.
Kondisi itu membuat kapal terasa
sangat nyaman, walaupun lorong dan kamar terasa lebih sempit jika dibandingkan
bangunan biasa. “Kami merawat kapal ini lebih baik daripada merawat diri kami.
Sebab, ketika kami melaut, adalah aset utama untuk hidup,” celetuk salah
seorang kru yang kebetulan melintas.
Di lantai tiga, seluruh kegiatan
medis dipusatkan. Lantai tiga menjadi salah satu bagian vital kapal yang
berfungsi sebagai rumah sakit terapung itu. Lorong-lorong dalam lantai tiga
terdiri atas sekitar 40 ruangan kecil yang dilengkapi fasilitas kesehatan
lengkap dan memiliki berbagai fungsi.
Melihat ruang operasional dan sarana
penunjang kesehatan dibuat sangat lengkap dengan fasilitas medis standar RS
pada umumnya. Tiap ruangan didesain layaknya ruang praktik dokter-dokter
spesialis.
Dalam ruang poli gigi, terdapat
sebuah kursi untuk perawatan dilengkapi rak yang berisi alat-alat operasi gigi
dan lampu operasi. Di ruang poli mata juga ada fasilitas untuk operasi kecil
serta pengobatan, kapal itu memiliki 75 awak buah kapal (ABK) dan 65 staf medis
yang standby setiap saat. Berdasar
data yang terpampang di salah satu dinding kabin kapal, secara keseluruhan
kapal tersebut mampu menampung 40-100 pasien rawat inap. Jika dalam keadaan
darurat, KRI dr Soeharso juga mampu menampung 400 personel dan sekitar tiga
ribu penumpang. (Padang Ekspres, Kamis 8 Oktober 2009)
34. Penjarahan Meningkat
Aksi penjarahan semakin banyak
terjadi di Kota Padang pascagempa yang meluluhlantakan sebagian kota itu Rabu
30 September. Sedikitnya, 12 orang ditahan polisi akibat perbuatan tersebut.
Kapoltabes Padang, Kombes Pol Boy
Rafli Amar, mengakui hal itu. Menurutnya, aksi penjarahan kerap tidak hanya
terjadi di pertokoan Pasar Raya, tapi juga perkantoran yang rusak karena gempa.
“Tadi pagi, kita menangkap seorang
lagi yang diduga penjarah. Tersangka seorang tukang becak. Aparat kita
menangkapnya karena ia membawa barang-barang yang bukan miliknya,” ujarnya di
Padang Selasa 6 Oktober 2009.
Dengan penangkapan itu, katanya,
berarti sudah 12 pelaku penjarahan yang diamankan di Mapoltabes Padang.
Boy menyebutkan, semua penangkapan
itu terjadi karena aparat kepolisian yang tengah berpatroli memergoki
orang-orang yang membawa barang dalam jumlah banyak.
“Saat kita tanyai, mereka kelabakan.
Karena barang itu bukan milik mereka,” terangnya.
“Tempat kejadiannya beragam. Ada
yang di pertokoan Pasar Raya, Sawahan, Sentral Pasar Raya (SPR) dan ada pula di
perkantoran pemerintah,” imbuhnya.
Karena kejadian ini, aparat
kepolisian akan meningkatkan personel patroli. Agar, aksi penjarahan itu tidak
terulang lagi.
“Kita juga mengimbau pemilik toko
dan perkantoran supaya memperketat penjagaan. Karena konsentrasi kepolisian
kini terpecah lantaran evakuasi korban gempa masih dilakukan,” tuturnya.
Hentikan
Penjarahan
Psikologis korban gempa kian
tertekan. Minimnya bahan makanan di tengah melambungnya harga kebutuhan pokok,
membuat warga kalap. Mereka nekat menjarah apa pun barang-barang untuk diuangkan.
Tindakan tercela itu tentu sangat disesalkan.
Seperti yang terjadi di depan
Terminal Regional Bingkuang (TRB) Air Pacah. Material bangunan yang ditimbun di
area TRB, dijarah sejumlah warga. Diduga penjarahan dilakukan warga semata-mata
untuk mencari keuntungan pribadi. Mengingat besi bekas itu bisa dijual dengan
harga tinggi kepada pedagang penjual besi bekas.
Aksi penjarahan tersebut dibenarkan
Ketua Rt.1/Rw.1 Kelurahan Air Pacah, Asril serta sejumlah aparat TNI dan
petugas PU Kota Padang yang ikut menjaga tumpuka material. “Saya pun juga tak
bisa memastikan apakah warga saya ada yang ikut dalam aksi penjarahan tersebut.
Mereka banyak sekali,” ujar Asril.
Hal senada dikatakan Masnal, pegawai
PU Kota Padang. “Material yang ditumpuk di sini, banyak berasal dan ruko yang
ada di Jalan Sawahan, seperti Adira Finance. Diperkirakan, besi yang berhasil
dicuri warga, mencapai 4 ton,” ungkapnya. (Padang Ekspres, Senin 5 Oktober
2009)
35. Hilang Tiga Hari, Ditemukan jadi Mayat
Ondeh nak baa batinggakan mama, jo sia mama iai nak, kakak jauah sadonyo,
papa lah maningga pulo. Kecek Yani ka pulang hari Sabtu, baa ko baiko jadinyo
nak, “ Ratap tangis tidak henti-hentinya keluar dari mulut Upik, ibu Yani,
mahasiswi Teknik Industri (TI) Unand. Begitu melihat foto salah seorang korban
gempa yang terpajang di kamar jenazah RSUP M Djamil Padang.
Orang-orang di sekitar yang juga
sedang mencari keberadaan sanak saudaranya berusaha menenangkan Upik, ibuYani.
Apalagi saat itu ia hanya datang dengan adik laki-lakinya yang merupakan paman
korban.
Yani adalah anak yang pintar. Ia
berkali-kali menyabet juara umum semasa di SMAN 1 Pariaman. Yani berhasil lulus
SPMB di Teknik Industri Unand. Yani juga anak yang shalehah. Ia tidak pernah
lupa untuk shalat tahajud dan puasa sunat Senin-Kamis.
“TerakhirYani
menelpon ambo. Inyo mangecekan kalau inyo ndak pulang Jumat ko do. Inyo
kamaurus beasiswa,” ujarnya sambil terisak-isak.
Tetapi setelah itu, ia kehilangan
kontak hingga terjadinya peristiwa gempa. Kamis 1 Oktober Upik berusaha mencari
keberadaan Yani dengan mendatangi teman-temannya namun tidak diketahui
keberadaannya.
Upik pun mendatangi seluruh rumah
sakit di Kota Padang untuk mencari tahu keberadaan anaknya. Namun hingga Jumat
2 Oktober, keberadaan Yani tak kunjung diketahui. Sabtu 3 Oktober, Upik kembali
mendatangi RSUP M Djamil Padang, namun foto jenazah yang belum teridentifikasi
luput dari penglihatannya.
Sampai akhirnya, atas saran seorang
warga di RSUP M Djamil, ia pun memandang foto-foto yang terpajang satu per
satu. Ternyata benar, anaknya telah menjadi korban gempa. Almarhumah Yani pun
dibawa dari RSUP M Djamil dan akan dimakamkan di Sungai Rotan Pariaman. (Padang
Ekspres, Senin 5 Oktober 2009)
36. Dunia Terasa Berputar Ketika Mendengar Kabar
Hajjah
Bahar, Korban Longsor Kehilangan 24 Anggota Keluarga
Tanah bercampur lumpur itu masih memerah. Di sana, masih ada ratusan orang
tertimbun hidup-hidup. Di antaranya, nestapa itu dialami keluarga Buk Hajjah
Bahar. 24 orang anggota keluarganya turut terkubur. Duka itu mengisi relung
hatinya yang paling dalam.
Duka Nagari Tandikek yang berada di
kaki Gunung Tandikek sekitar 60 km dari Kota Padang sungguh pilu. Sebuah
tragedi kemanusiaan terjadi. Tiga kampung di nagari itu lenyap tak berbekas.
Nagari itu tertimbun longsor. Sekejap, semua seperti mimpi. Tak ada lagi tawa
canda anak-anak kampung, aroma kayu bakar ibu-ibu menanak nasi, atau adzan
berkumandang di salah satu mushalla. Semua lenyap bersama ribuan material tanah
bercampur lumpur yang dimuntahkan Gunung Tigo.
Kabar itu pun cepat menyebar ke
penjuru negeri. Sementara warga yang selamat, segera mencari tahu kabar sanak
saudaranya. Termasuk Buk Hajjah Bahar demikian ibu itu akrab disapa. Perempuan
itu tampak tegar saat ditemui di Pasar Tandikek. Saat itu, Buk Hajjah Bahar sedang
termenung di sudut kedainya.
Ibu ini selamat dari amukan longsor
karena kebetulan tidak berdomisili di Sumanak. Dia tinggal di sekitar Pasar
Tandikek. Hajjah Bahar itu adalah nama suaminya (almarhum), yang dulunya tokoh
masyarakat setempat. Di Cumanak, tinggal orangtua dan beberapa adik-adiknya
beserta keluarga.
Sumanak merupakan salah satu kampung
di Lubuk Laweh dan berada di Kenagarian Tandikek, Kecamatan Patamuan, Padang
Pariaman. Di Lubuk Laweh in berdasarkan data di posko gempa kecamatan, tercatat
137 korban meninggal. Sedangkan di Konong Pulau Aia, tercatat 43 onang tewas.
Di Korong Lareh Nan Panjang 75 konban meninggal. Dari jumlah korban tertimbun
itu, hanya sekitar 50 orang yang berhasil dievakuasi. Terbanyak ditemukan di
Sumanak.
Dari 137 korban di Lubuk Laweh
itulah, 24 anggota keluarga Buk Hajjah Bahar bermukim. Salah satu adiknya yang
menjadi korban longsor, tertimbun bersama seluruh keluarganya. Adiknya itu
bernama Marnis, guru kelas VI di SD Negeri 14 Patamuan. Sekolah itu, juga
hilang tertimbun longsor. Suami Marnis, Basir bersama tiga anaknya, tak bisa
menghindar dari longsoran.
“Marnis tinggal di kompleks SD yang tatimbun itu nak. Inyo saat itu basamo
saluruh kaluarga. Adiak ambo tatimbunjo kaluarganyo (Marnis tinggal di. kompleks SD yang tertimbun
itu nak. Dia saat itu bersama seluruh keluarganya. Adik saya tertimbun dengan
keluarganya),” imbuh Buk Haji Bahar lirih.
Sebelum petaka itu menimpa, Buk
Hajjah Bahar mengaku tak mendapat firasat apa pun. Hanya saja, dadanya sebelum
kejadian sempat bendegup kencang. Tapi, hal ini dianggapnya biasa, mungkin
kelelahan.
Sekitar pukul 17.00 wib atau sebelum
kejadian, Buk Hajjah sempat teringat adiknya di Sumanak. Ia berniat mengunjungi
mereka besok (sehari setelah kejadian).
Namun 16 menit setelah itu, tepatnya
17.16 wib, bumi bergetar begitu kuat. Saking kuatnya, beberapa kedai di
depannya ambruk. Buk Hajjah sempat terjatuh saat berusaha menyelamatkan diri.
Beruntung selamat.
Gempa 7,9 SR itu pun reda. Tapi,
sekitar 10 menit terdengar gemuruh dari arah hulu. Entah apa yang terjadi.
“Gamuruah itu, kareh tadanga. Ndak tau ambo bunyi apo itu (Gemuruh itu keras terdengar, tidak tahu saya
bunyi apa itu),” ujannya mengingat.
Ternyata, beberapa saat setelah
kejadian, warga mulai ribut. Longsor besar telah tejadi. Tiga kampung
tenggelam. Bumi menelan ratusan jiwa warga di daerah itu.
“Dunia taraso baputa pas mandanga kaba itu (Dunia terasa berputar saat mendengar kabar
itu),” kenangnya.
Saat ini seluruh keluarga besar Buk
Hajjah di perantauan telah berada di kampung. Mereka memberikan bantuan dan
berusaha menyelamatkan apa pun yang tersisa. “Itulah, jiko Allah berkehendak, ndak ado satu pun yang bisa manolaknya
(Itulah, jika Allah berkehendak, tidak ada satu pun yang bisa menolaknya),”
lirih ibu itu. (Padang Ekspres, Rabu 7 Oktober 2009)
37. Boediono di
Tandikek: Gempa Sumbar Bencana Nasional
DPR RI akan mengusulkan bencana
Sumbar menjadi bencana nasional, menginggat banyaknya kerusakan yang terjadi di
Ranah Minang. Selain itu DPR juga meminta pemerintah Sumbar melibatkan pihak
berwajib dalam pengawasan dan pengelolaan dana bantuan gempa.
Demikian diungkapkan Ketua DPR RI Marzuki Ali, usai menyerahkan bantuan
korban gempa di gubernuran, Selasa 6 Oktober 2009. “Gubernur Sumbar menyanggupi
penggelolaan bencana sendiri, kita di DPR RI tetap akan mengusulkan bencana
Sumbar sebagai bencana nasional. Tentunya dengan melihat mekanisme
permasalahan, apakah dikategorikan sebagai bencana nasional atau bencana
daerah,” kata Marzuki.
Dikatakannya, keputusan gubernur
yang menyatakan bencana Sumbar sebagai bencana daerah sudah tepat. Meski begitu
seluruh elemen masyarakat tetap diminta membantu dalam berbagai hal, baik yang
ada di Sumbar maupun dari luar. Tujuannya untuk menyelamatkan dan memberikan
pertolongan kepada saudara-saudara yang ada di Ranah Minang. Sedangkan DPR RI
sendiri juga akan mengusulkan anggaran yang memadai khusus penanganan bencana.
Saat ini papar Marzuki,
kinerja-Pemda Sumbar masih efektif dalam menjalankan tugas-tugasnya. Tapi jika
Pemda setempat tidak mampu menjalankan tugas dan fungsinya akibat gempa
tersebut maka, bencana yang terjadi bisa dikategorikan sebagai bencana
nasional. Seperti yang terjadi di Aceh beberapa tahun lalu.
Untuk pendidikan gratis bagi pelajar
sebut Marzuki, juga diserahkan kepada Pemda Sumbar, karena semuanya ditangani
Pemda. Seperti persiapan ruangan belajar bagi gedung sekolah dan kebutuhan
belajar lainnya.
Sementara, Wakil Presiden RI
terpilih Boediono, juga datang untuk meninjau secara langsung korban gempa di
Sumbar. Saat mendarat di BIM mantan Gubernur Bank BI itu dijemput Gubernur
Sumbar, Gamawan Fauzi, beserta jajarannya. Kemudian rombongan menuju Pariaman,
Malalak dan Kota Padang. Di Pariaman ia sampai ke Dusun Kapalo Koto, Tandikek.
Di Padang, Boediono enggan
memberikan komentar kepada wartawan, tapi dia sedikit menyinggung tentang
pembentukan Badan Rehabiltasi dan Rekontruksi (BRR) yang telah dan sedang
dibentuk di pusat, untuk bencana Sumbar. (Singgalang, Kamis 7 Oktober 2009)
38. Ramlan Menggergaji Kakinya Sendiri
Ramlan 18 tahun mencangkul kakinya sendiri agar putus. Gagal. Ia ambil
sendok semen, ditusuk-tusuknya, belum berhasil. Lantas, ia ambil gergaji.
Selama 10 menit, lelaki ini terus menggergaji kaki kanannya. Tidak terkira rasa
sakitnya, ia masih terjebak di lantai enam, karena dinding beton menghimpit
salah satu kakinya. Sementara orang-orang sudah berlarian meninggalkan gedung.
Ia semakin panik.
Ia terus menggesekkan gergaji kayu
itu. Darah bercipratan. Sakit sekali. Tapi pekerjaan ya sudah setengah jalan.
Sambil memejamkan matanya, ia terus menggergaji. Ujung gergaji menyentuh
tulangnya. Ia menjerit.
Untung, salah seorang temannya,
Herman, mendengar jeritan kesakitan Ramlan. Ia berlari ke dalam gedung. Meski
sebagian gedung Telkom yang terletak di Padang Baru itu sudah retak dan runtuh.
Saat Herman tiba di lantai 6, tempat
Ramlan berada, ia terkejut. Bagian bawah tubuli Ramlan sudah bersimbah darah,
sementara tangannya memegang sebilah gergaji kayu. “Kamu kenapa Lan?” tanyanya,
“Tolong aku mas, tolong putusin kaki ini. Aku sudah nggak tahan,” ujarnya
menahan kesakitan.
Tanpa pikir panjang, Herman
menggergaji kaki Ramlan hingga putus. Ramlan hanya bisa menjerit menahan rasa
sakit yang teramat sangat. Tapi ia tidak pingsan. Lalu, Herman bersama dua
orang temannya yang datang membantu, segera memopong tubuh Ramlan ke luar
gedung. Mereka pun melarikannya ke rumah sakit Yos Sudarso, yang jaraknya tidak
begitu jauh.
Di sana, ia mendapat perawatan
intensif. Hingga Selasa 6 Oktober, ia masih terbaring lemah di ranjang di dalam
tenda perawatan rumah sakit bagi korban gempa.
Pada hari Rabu 30 Oktober silam, ia
bersama lima orang temannya sesama buruh bangunan, tengah bekerja di lantai 6
gedung Telkom itu. Saat gempa terjadi, sebuah dinding roboh dan langsung
menghimpit kaki kanannya. Sedangkan teman-temannya sudah berlarian keluar
gedung. Karena takut akan bencana tsunami, ia memilih meninggalkan kakinya itu.
Sebuah cangkul yang terletak di sebelahnya, ia gunakan untuk memotong kaki itu.
Tapi usahanya gagal.
“Lalu aku ambil sendok tembok dan
aku tusuk-tusuk kakiku yang terhimpit beton itu. Tapi tidak juga berhasil,”
terang Ramlan, lelaki asal Purwakarta, Jawa Barat itu.
Karenanya, ia mencoba meraih sebuah
gergaji. Lantaran letaknya jauh, ia menggunakan cangkul. Kemudian ia gergajilah
kakinya sendiri.
Kini, salah satu kakinya sudah
buntung. Ia tidak dapat lagi berjalan dengan normal. Tapi ia tidak menyesal.
“Ini sudah takdir Ilahi,” ujarnya lirih.
Ramlan berniat, jika sudah keluar
dari rumah sakit ia akan pulang kampung dulu. Menemui kedua orangtuanya yang
sudah menanti dengan cemas.
“Bapak dan ibuku sudah aku kabari.
Mereka sangat cemas. Tapi mereka tidak bisa ke sini karena tidak punya uang.
Makanya aku ingin segera pulang,” sebut anak ketiga dari pasangan Dedi dan
Sikar itu. (Singgalang, Rabu 7 Oktober 2009)
Manohara
Jenguk Korban Gempa
Artis cantik Manohara Odelia Pinot mengunjungi korban gempa di Pariaman dan
Padang, Sabtu 10 Oktober dan Minggu 11 Oktober. Manohara di Sumbar bersama
dengan para pengurus Laskar Merah Putih pimpinan Edi Hartawan.
Menurut Bendahara Laskar Merah Putih
Sumbar, Evi Nurdin, selain memberikan bantuan, kedatangan Mano dan Laskar Merah
Putih juga untuk menunjukkan rasa simpati atas duka lara yang menimpa Ranah
Minang ini. “Mano sangat sedih dengan kondisi masyarakat yang terkena musibah
gempa,” katanya di Markas Laskar Merah Putih di Aur Duri Padang.
Disebutkan Evi, untuk korban gempa
Mano dan Laskar Merah Putih telah menyerahkan bantuan berupa selimut, tenda,
beras, minyak goreng, telur, mie instan, pembaut wanita, baju bekas dan air
mineral. “Itu diserahkan langsung pada masyarakat Pariaman pukul 02.00 wib
Minggu dinihari,” sebut Evi.
Dalam kesempatan tersebut, Evi juga
menyampaikan bahwa Mano akan tinggal sementara di Padang untuk beberapa hari ke
depan. (Singgalang, Senin 12 Oktober 2009)
39. Moran Berpesan Akan Pergi Jauh
Angku Kutar, tak henti-henti
mengusap tetesan air mata yang jatuh membasahi pipinya. Dia tak kuasa
membendung duka, nielihat mayat cucu satu-satunya yang terbujur kaku di halaman
rumahnya di Nagari Sikucua, Kecamatan V Koto Timur, Kabupaten Padang Pariaman.
Masih terngiang jelas di telinga
Angku Kutar, pesan cucu satu-satunya itu usai gempa menghoyak sekitar pukul
17.16 wib. Sembari bersepeda, Moran berteriak kepada sang kakek menjelang
pergi. Moran berkata ia akan pergi ke suatu tempat yang amat jauh bersama
keluarga Egi. Ketika ditanyakan sang kakek, akan pergi kemana? Moran malah
mengayuh sepedanya bersama Egi, meninggalkan sang kakek sendirian di rumah yang
mereka didiami berdua selama ini.
Seperti biasanya, jika Moran pergi
tentulah pergi menonton televisi di rumah temannya di sekolah maupun di rumah
itu, Egi di Nagari Padang Alai, Kecamatan V Koto Timur. Nagari Padang Alai dan
Sikucua, merupakan daerah yang saling bertetangga di Kecamatan V Koto Timur.
Dari Kota Pariaman, lokasi ini bisa ditempuh dengan jalan darat menuju arah
utara (Kabupaten Agam) dengan lama perjalanan 30 menit.
Usai gempa pada hari Rabu, listrik
langsung padam di kawasan itu. Karena berita gempa, membuat hasrat Moran
menonton televisi tak terbendung. Bersama belasan anak-anak lainnya, siswi
kelas V SD ini menyimak berita yang disajikan berbagai stasiun televisi, yang
ada di rumah sahabatnya di rumah maupun di sekolah Egi. Keluarga Egi, tergolong
berada di Nagari Padang Alai. Keluarga ini memiliki perangkat (receiver), yang bisa menangkap hampir
seluruh chanel televisi.
Saat gerimis mengucur di kawasan itu
sekitar pukul 19.40 wib, kawasan itu tiba-tiba bergejolak. Usai adzan Isya
berkumandang, perbukitan yang ada di sekitar Nagari Padang Alai mengalami
terban hingga menimpa tiga nagari yang ada di bawahnya. Korban pun berjatuhan.
Tak heran, laporan sementara perangkat nagari Padang Alai, korban yang menonton
televisi di rumah Egi sekitar 15 orang. Dan 15 orang itu, baru tujuh orang yang
berhasil dievakuasi dari rumah Egi hingga Rabu 7 Oktober.
Moran semenjak berusia 3 tahun,
telah ditinggal pergi kedua orang tuanya. Ayah dan ibu Moran meninggal dalam
sebuah kecelakaan lalu lintas. Karena tak ada orang yang akan mengasuh lagi,
Moran dibesarkan sang kakek Angku Kutar. Pada Rabu 30 Oktober 2009, sang kakek
yang telah lama kehilangan istri berikut anak-anaknya itu, harus kembali
merasakan duka yang mendalam. Cucu sebagai pewaris keturunannya, juga telah
dipanggil keharibaan Ilahi. “Kenapa tidak saya saja yang diambil. Kenapa harus
dia,” kata Angku Kutar dengan kalimat terbata-bata.
Angku Kutar tidak pernah menyangka
dan membayangkan, akan kehilangan Moran dalam waktu secepat ini. Namun, Angku
Kutar akan tetap berusaha tabah dalam menghadapi cobaan hidup ini. Menurutnya,
di balik segala sesuatu yang terjadi itu, pasti ada hikmahnya, yang pastinya
kita sebagai manusuia harus tetap tabah menerima apapun yang akan ditakdirkan
oleh Allah SWT. Saat ini, Angku Kutar pun hidup sebatang kara dan tinggal
menerima nasib yang telah dituliskan oleh-Nya.
40. Malaikat Baik Hati dari Jerman
Ajak
Anak-Anak Bermain Agar Tidak Frustasi
Menyaksikan siaran televisi tentang
gempa di Kota Padang, rasa kemanusiaan Enke 50 tahun berontak. Nurani warga
Hamburg, Jerman itu tersentuh menyaksikan puluhan anak yang menangis di antara
puing reruntuhan. Enke mengaku terenyuh, melihat siaran tersebut. Keputusan pun
segera diambilnya.
“Saya harus ada di tengah anak-anak
itu. Mereka butuh belaian kasih sayang,” itulah yang tersirat dalam hati guru
taman kanak-kanak yang mengabdi selama 30 tahun. Dengan biaya sendiri, Enke
berangkat ke Kota Padang. Dia rela menempuh perjalanan beribu-ribu mil. Enke
tak peduli, larangan orang-orang dekatnya agar tak pergi ke Padang, tak
diindahkan. Enke tetap berangkat. “Tujuannya saya hanya satu, saya bertekad
memulihkan kembali mental para bocah yang terguncang akibat gempa yang
mendera,” ucap Enke yang memakai baju merah yang dipadu dengan celana bini.
Mimik Enke terlihat sumringah saat
bersenda gurau dengan puluhan bocah korban gempa di lapangan bola milik PT
Kereta Api Indonesia. Kulitnya tampak memerah di timpa cahaya matahari, rambut
pirangnya berkilau-kilau. Namun Enke tak peduli, kebahagian anak-anak seakan
menjadi penawar dari panas yang menyerang.
Begitu juga puluhan anak yang diajak
Enke untuk bermain, tak ada rasa canggung berinteraksi dengan bule yang baru
dua hari mereka kenal. Bagi mereka, Enke adalah malikat baik hati dari Jerman.
Bocah-bocah itu saling berebutan memeluk tubuh Enke yang telah basah peluh yang
mengucur dari lubang pori-porinya.
Mata-mata bening anak-anak Seolah
mengisyaratkan kalau mereka telah lupa dengan bencana yang menimpa. Reruntuhan
rumah di sekeliling lapangan kontras dengan kebahagian yang tercipta di tengah
lapangan.
“Ani sayang jo Miss Enke. Tadi Ani diagiah gulo-gulo. Miss Enke maajak
bamain. Enke elok,” ucap Ani.
Bocah delapan tahun yang kelihatan paling bahagia dibandingkan anak lainnya.
Dia terus dekat dengan Enke.
Menurut Enke, anak-anak menanggung
beban yang dalam akibat bencana ini. Rumah-rumah yang runtuh, orang tua yang
menangis, mayat-mayat bergelimpangan, rintihan kesakitan dan suasana kacau saat
gempa menimbulkan konflik dalam pribadi anak-anak. Jiwa mereka terguncang, bahkan
ada yang mengalami depresi.
“Apa yang mereka lihat saat gempa
akan menjadi pijakan dalam menapaki hidup. Jika anak-anak tidak siap, suasana
seperti saat ini akan mempengaruhi. Bagaimanapun, anak-anak ini harus bisa
melupakan bencana yang melanda,” kata Enke.
Saat ini, Miss Enke tidur di tenda
pengungsian bersama anak-anak. Nyamuk yang beterbangan tak membuat Miss Enke
jera. Dia ditemani dua orang yang juga mempunyai misi sama dengannya. Yakninya
Citra dari Universitas Negeri Padang dan seorang lagi dari Jakarta. Bertiga
mereka berusaha kembali memulihkan mental anak-anak yang drop. Enke tak peduli
walau biayanya semakin menipis. Enke berniat bertahan hingga akhir bulan.
Pastinya, anak-anak akan merasa
kehilangan sosok yang disayang jika Enke pulang ke negara asalnya. Enke terus
bergurau, berlarian dengan anak-anak di tengah lapangan berumbut. Sampai-sampai
Enke terguling-guling sembari tertawa.
Enke bahagia dan anak-anak lupa
dengan derita yang mereka rasakan. Sementara, saat Enke menguras tabungan agar
bisa ke Padang, banyak warga kota yang selamat dari gempa memilih untuk
melarikan diri dan pergi meninggalkan para korban, termasuk anak-anak. Adakah
orang Padang asli yang mau seperti Miss Enke. (Posmetro Padang, Kamis 8 Oktober
2009)
41. Tertimbun Enam
Jam, Seorang Polisi Selamat
Kalau tidak ajal, berpantang mati.
Pepatah ini betul-betul dialami anggota Ditlantas Polda Sumbar, Aiptu Soerip 57
tahun yang ditugaskan di UPTD Samsat Padang di Kantor Dinas Pengelolaan
Keuangan Daerah (DPKD) Jalan Khatib Sulaiman.
Pria kelahiran 29 Juni 1952 di Sawahlunto itu, selamat dari maut setelah
terkurung enam jam, Rabu 30 Oktober lalu. Mas Soerip yang akrab dipanggil Pak
De itu, saat ditemui di Kantor Samsat UPTD sementara Jalan Rasuna Said 74
Padang, pada tanggal 8 Oktober, sudah mulai kembali menjalankan rutinitasnya.
“Saya memang sering terlambat
pulang. Prinsip saya, sebelum pekerjaan selesai tidak akan pulang. Bahkan tak
sampai mandi sore, itu biasa,” katanya didampingi Ka DPKD Sumbar, Zul Evi Astar
dan Ka UPTD Padang Jaya Isman, kemarin.
Sore itu, sebelum gempa. terjadi,
Pak De bersama rekannya Julkaidir, Erwan Nusantara, Dedi Adrian, Nofi Ajo dan
Febrian Kiong untuk menyelesaikan pekerjaannya. Waktu itu tak ada firasatnya
akan terjadi gempa. “Kami masih sempat bercanda,” kata bapak enam orang anak
itu.
Bercanda
baginya menjadi harga mati
Kalau tidak canda, lama rasanya
menyelesaikan pekerjaan. Waktu itu, sedikitnya ada 300 berkas lagi yang belum
terdata. Namun apa bisa dikata, sebelum pekerjaan selesai, tiba-tiba terjadi
guncangan hebat disertai gemuruh reruntuhan.
“Melihat benda-benda keras mulai
berjatuhan, saya menyelamatkan diri dekat tiang pembatas ruangan penetapan
pajak dengan pengolahan data elektronik,” tambahnya.
Kendati guncangan berhenti, tapi
semua jadi gelap gulita. Dalam benaknya, mungkin inilah akhir hidupnya. Dalam
kepasrahannya itu, ia tidak henti-henti menyebut Asma Allah. Ia pun menutup
mulut dan hidungnya dengan baju lengan panjangnya.
Sambil mengucapkan Allahu Akbar, Pak
De merayap menggunakan punggung sambil membersihkan batu-batuan yang
menghalangi perjalanan. Waktu itu yang terlintas di pikirannya, keluarganya
masih membutuhkannya.
Saat ini, dua anaknya masih kuliah
di UNP dan membutuhkan bimbingan orangtua. Begitu sampai di samping kantor, dekat
Bank BTPN, sudah terlihat ada Kompol Zulpardi Sani. “Begitu sampai di luar
gedung, saya mengucapkan syukur pada Allah karena selamat,” katanya. Untuk
sampai ke luar, ia harus merayap menggunakan punggung selama enam jam.
Begitu sampai di luar, Pak De mendengar,
“Itunyo Pak De”. Lalu, pria yang beralamat di Jalan Kalpataru II Parupuk Tabing
itu berangkulan dengan teman-teman lainnya. Anak Pak De, Surya, mencari ke
Samsat usai gempa.
Waktu itu, Surya hanya menemukan
sepeda motor Bapaknya yang terhimpit. Ia pulang memberitahu ibunya, bahwa Bapak
terkurung. (Padang Ekspres, Senin 12 Oktober 2009)
42. Anak dan Murid
Tertimbun, Rosneli Masih Bisa Membangkitkan Warga
Kampungnya sudah tidak ada. Rata ditelan tanah. Enam puluh dua nyawa,
melayang seketika. Termasuk anak kandung dan belasan murid-muridnya. Tapi, ia
tak mau berlama-lama larut dalam duka. Dan tenda pengungsian, ia meredakan air
mata warga yang kehilangan sanak saudara, rumah, dan harta. Inilah kisah
seorang guru mengaji di daerah Malalak, Kabupaten Agam, Sumbar, yang selamat
dari timbunan tanah akibat gempa.
Azan shalat ashar berkumandang di
Masjid Al Falah, Jorong Bancadama, Nagari Malalak Selatan, Kecamatan Malalak,
Kabupaten Agam, Rabu 3 Oktober. Mendengarnya, sejumlah warga termasuk 13 bocah
usia sekolah dasar, langsung berlari-lari kecil mengambil air wudhu.
Setelah menunaikan kewajiban sebagai
Muslim, warga berlalu meninggalkan masjid. Sementara para bocah, yang di
antaranya bernama Ison Andidas, Fitri Yuliana, Ahmad Agustiar Febi Usni
Gustami, Ostika, dan Bedari Sonata Puti, tetap berada di sekitar “rumah tuhan”
tersebut.
Maklum saja, seperti hari-hari
sebelumnya, selepas menunaikan ibadah shalat ashar, para bocah tidak bisa
langsung pulang ke rumah. Sebab, mereka telah disuruh orangtua masing-masing
untuk belajar baca tulis Al Quran, pada Rosneli 42 tahun garin perempuan yang
merangkap sebagai guru mengaji di Taman Pendidikan Al Quran (TPA), dekat masjid
tersebut.
Makanya, sebagai anak kampung yang
dikenal “taat” kepada orangtua, begitu selesai mengerjakan shalat, Ison
Andidas, Fitri Yuliana, Ahmad Agustiar Febi Usni Gustami, Ostika, dan Bedari
Sonata Puti, langsung mengambil Al Quran untuk siap-siap mengaji.
Begitu pula dengan rekan mereka
lainnya, seperti, Puti Boy Eko, Afrizal Dapir, Iril Ronaldio, dan Clauda
Jesman, yang merupakan anak kandung dari Rosneli, juga ikut mengambil kitab
suci Al Quran.
Namun, belum beberapa lama para
bocah mengaji, tak tahunya, mata Rosneli sebagai seorang guru, menderita kantuk
teramat hebat. Bukan hanya itu, sekujur badan ibu dua anak ini juga terasa
lemas.
“Karena tidak tahan, akhirnya, saya
putuskan kepada murid-munid, untuk memulai mengaji jam lima sore saja.
Sementara saya, tidur-tiduran di rumah yang masih dalam kompleks masjid,”
cerita Rosneli.
Mendengar perkataan dari Rosneli,
sebagian di antara para bocah tentu senang. Dalam hati, mungkin pula ada yang
berbisik, “Dengan dimulainya pelajaran mengaji pada jam lima sore, pasti waktu
mengaji tidak akan tiga jam lagi seperti biasa”. Walaupun begitu, tak satu pun
di antara bocah yang berani pulang. Mereka tetap menunggu di TPA dan
bermain-main di sekitar Masjid Al-Falah.
Nah, sewaktu para bocah tengah
bermain-bermain di sekitar masjid dan TPA. Rosneli yang jarang tidur siang,
tiba-tiba saja tertidur pulas. Saking pulasnya, istri dari Suarmansyah ini tak
tahu apa yang terjadi.
Ketika matanya dibuka kembali.
Rupanya, masjid sudah rata dengan tanah. Bangunan-bangunan di sekitar
Bancadama, berguguran karena diguncang gempa.
Terpukul
tapi Bangkit
Melihat kondisi di sekitarnya telah
berubah, kontan Rosneli yang memiliki seorang putri bernama Lisa Fitriawani 16
tahun jadi terkejut bukan kepalang. Tubuhnya serasa menggigil. Sekujur raganya
diam membatu.
Otaknya pun berkata,. “Kampung ini
telah diguncang gempa”. Maka seketika, Rosneli langsung berucap dalam hati,
“Laila ha illallah. Laila ha illallah. Ampun kami ya Allah.......”
“Setelah itu, saya tak tahu lagi apa
yang terjadi. Yang jelas, saya melihat, kampung saya, Bancabdama ini sudah rata
dengan tanah. Masjid tempat saya mengajar mengaji, sudah tidak ada lagi.
Murid-murid saya, juga sudah tertimbun reruntuhan masjid dan tanah. Termasuk
putra saya yang masih duduk di bangku kelas enam SD. Tragisnya lagi 13 orang
jumlah mereka. Cuma lima orang saja yang jenazahnya ditemukan, selebihnya entah
di mana,” ucap Rosneli dengan mata berkaca-kaca.
Sekadar diketahui, dari lima Jorong
di Nagari Malalak Selatan, masing-masing Jorong Bancahdama, Nyiur, Talago,
Balaisatu, dan Siniair. Memang di Jorong Bancahdama inilah, yang termasuk paling
menderita akibat gempa. Rosneli sebagai guru mengaji di jorong tersebut,
termasuk satu dari puluhan warga yang merasakannya.
Meskipun demikian, selepas gempa
terjadi, Rosneli yang biasa disapa Uniang Nen oleh warga kampungnya, tak mau
berlarut-larut dalam duka. Sebagai wanita taat beribadah, bahkan juga dikenal
merupakan ustazah di kampung, dia yakin betul bahwa setiap yang hidup pasti
akan mati. Tidak ada yang kekal di dunia ini.
Lantaran itu pula, dia meyakinkan
kepada warga di Malalak Selatan, khususnya warga asal Bancahdama yang sekarang
terpaksa mengungsi ke belakang kantor wali nagari setempat, agar tidak
terus-terusan bersedih.
“Siapa yang tidak akan Sedih, bila
kehilangan sanak saudara, rumah, harta, bahkan kampung. Tapi, ini adalah ujian
dari Tuhan. Pasti ada hikmah di dalamnya,” begitu kata Rosneli, menenangkan
warga.
Dengan kata-katanya yang sejuk,
bahkan sekali-sekali tendengar tegas. Banyak di antara warga Bancahdama, mulai
bangkit dari duka panjang. Mereka, mulai tidak menangis lagi. Mulai tidak
meratap lagi. Karena memang, di kampung itu, segala tangis sudah habis. Segala
ratap, sudah diratapkan.
“Terus terang, saya ini bisa
disadarkan (tidak lagi trauma dan sedih berkepanjangan) berkat Uniang Nen,” aku
wanita Murniati, yang kehilangan adik dan anak-anaknya saat ditanya.
“Ya, Uniang Nen atau Rosneli, memang
banyak memberi masukan untuk kami. Beliau memang sabar. Padahal, anaknya
sendiri juga ikut hilang,” imbuh Bustamar 37 tahun karena gempa, harus
kehilangan istrinya bernama Putni Mardani 28 tahun serta sepasang anaknya,
yakni Febi 6,5 tahun dan Rendi 35 tahun.
Terlepas dari pengakuan tersebut,
yang jelas, kisah Rosneli mencoba bangkit dari keterpurukan akibat gempa.
Memang pantas ia dicontoh. Sebab, hidup ini adalah perjuangan. Hidup tanpa
berjuang sama dengan kematian, Mati dalam berjuang baru sebuah kehidupan.
(Padang Ekspres, Senin 12 Oktober 2009)
43. Mimpi Baralek,
Ayam Berkokok Hingga Tiga Kali
Sepekan setelah musibah besar,
keluarga besar Jamilus Dt Rajo Bangun mulai mengikhlaskan kepergian anaknya
gadisnya Devita Hidayati 21 tahun. Lantas, firasat apa yang dirasakannya
sebelum putri bungsunya wafat saat gempa hebat melanda Kota Padang pada hari
Rabu 30 September lalu?
Kediaman mantan Wali Nagari Lubuk
Malako itu tampak ramai dengan pelayat. Membuat suasana berkabung kian kental
terasa di rumah lelaki itu. 6 Oktober genap tujuh hari setelah gempa 7,9 skala
richter (SR) mengguncang Kota Padang. Kebiasaan di ranah minang, untuk hari itu
ada prosesi “manujuah hari” (tujuh
hari).
Sepanjang jalan menuju rumah duka di
Jorong Bancah Kampeh, Lubuk Malako, Solok Selatan, terlihat puluhan perempuan
separo baya menjinjing bungkusan berisi beras, berkunjung ke rumah Jamilus Dt
Rajo Bangun.
Saat ditemui, mata Jamilus masih
terlihat sembab. Wajar, anak gadisnya telah berpulang dalam peristiwa nahas
itu. Tak terbayangkan rasa kehilangan bagi seorang ayah terhadap putrinya yang
masih muda belia.
“Tuhan bakahandak lain, karena Tuhan
jauh lebih sayang kapadanya Devita),” ucap Jamilus yang berusaha terlihat
tegar.
Devita Hidayati, perempuan kelahiran
Desember 1988, itu merupakan mahasiswi Akademi Bidan (Akbid) Ranah Minang, yang
berada di Jalan Parak Gadang, Kota Padang. Akhir tahun ini, ia akan menginjak
semester V. Namun, sore nahas itu, persisnya pulang kuliah, gadis itu ditimba
reruntuhan dinding beton asramanya di kawasan Sisingamangaraja.
Gempa 7,9 SR telah meluluhlantakkan
asrama bertingkat milik yayasan itu. Beberapa menit kemudian, Devi-akrab disapa
berhasil dilarikan ke Rumah Sakit Tentara (RST) Ganting. Tapi, nyawanya tak
tertolong lagi.
“Devi anaknya periang dan ramah. Minggu 27 September 2009, inyo barangket
ka Padang untuak kuliah. Ambo barancano akan menyusulnya hari Kamis, maantaan
motor nan inyo minta,” kenang Jamilus.
Berita kematian putrinya, tak
langsung ia terima. Jaringan komunikasi antara Padang-Solsel putus total sesaat
setelah gempa terjadi. Saat itu, tak ada terlintas firasat buruk yang bakal
menimpa anaknya. Beberapa jam kemudian, Camat Sangir (teman ayah Devi),
mengabarkan kondisi Devi sedang kritis.
“Rabu malam, kiro-kiro pukul 23.00
wib, kami sakaluarga berangkat ke Padang. Ternyata sampai di Padang, kami hanyo
mancaliak mayatnya sajo. Tarumuak bana hati kami kutiko tu. Apolagi mamanyo,
(Hasmurni), pingsan wakatu mangatahui anak bungsunyo tu alah maningga,”
imbuhnya.
Esok harinya, seusai mengurus
kepulangan jenazah di RST, jasad Devi dibawa ke Solok Selatan untuk dimakamkan.
Suasana duka menyelimuti karib kerabat, teman-teman, tetangga, dan orang-orang
yang mencintainya.
“Dilihat keadaan orang lain, derita
kita tak sebanding. Bahkan ada yang satu keluarga tewas. Itulah yang membuat
kami makin tabah,”ungkap Jamilus.
Saat bulan puasa, kata Jamilus, ia
bermimpi “baralek” di rumahnya. Sangat ramai orang yang datang ke rumah.
“Mungkin ado hubungannyo jo kajadian kematian anak ambo itu,” katanya.
Sementara itu, suasana duka juga
terlihat di rumha milik keluarga Nurjanah 60 tahun, di Jorong Balun, Pakanrabaa
Tangah, Koto Parik Gadang Di ateh. Yuli Hendri 37 tahun, putra kedua perempuan itu
juga wafat saat gempa melanda Kota Padang.
Hendri pegawai PU Kota Padang. Saat
gempa, ia tengah mengikuti rapat di hotel Ambacang.
“Basobok Jo jasadnyo jenazah Hendri
hari Kamih lalu,” kata Nurjanah sambil menyeka air matanya dengan-pungung
tangannya.
Rabu 30 September malam itu,
Nurjanah mengaku, mendapat firasat aneh. Selain belum mendapatkan kabar keadaan
anak-anaknya yang ada di Padang. Ia pun mendengar kokor ayam sekitar pukul
22.00 wib.
“Indak biasono ayam bakukuak malam
tu do. Biasonyo, pukua ampek subuh. Iko lah tigo kali, pukua 10, pukua 12, dan
pukua 1 malam. Firasat amak mulai ndak lamak,” ujarnya.
Setelah tahu putranya sudah
meninggal, Nurjanah bersama keluarga lainnya pergi ke Padang. Sampai di Padang,
ia masih sempat bertemu dengan jasad anaknya, sebelum dikuburkan.
Baik keluarga Jamilus maupun
Nurjanah, tampaknya tabah menerima cobaan dari Sang Pencipta. Mereka tidak
meminta hal yang muluk-muluk atas duka yang mereka rasakan.
Hanya bait do’a, untuk mengiringi
kepergian anak-anak mereka menghadap sang Khaliq.
“Innalillahi wa irna illahi rojiun.
44. Gusti Anola:
“Anak Saya itu Rajin Sholat Dhuha”
Mata perempuan itu berkaca-kaca. Pandangannya tidak lepas menatap
puing-puing reruntuhan gedung Lembaga Kursus Pendidikan Gama di Jalan Proklamasi
Padang. Sesekali terdengar suaranya terisak, tak mampu membendung perasaannya
yang membuncah menahan kesedihan. Matanya memerah. Bibirnya bergetar.
Gusti Anola, perempuan itu. Dia
adalah ibunda Angga Aldino 12 tahun, siswa kelas 1 SMP Negeri 9 Padang . Putra
satu-satunya itu, menjadi salah seorang korban tewas dalam reruntuhan gedung
Gama usai dihoyak gempa bumi 7,9 SR yang mengguncang Sumatera Barat pada hari
Rabu 30 September 2009. Mujurnya, jenazah anak kesayangannya itu berhasil
ditemukan tim evakuasi, sementara puluhan siswa lainnya masih terkubur
hidup-hidup di bawah puing-puing reruntuhan.
Perempuan itu pada hari ke empat
pascagempa, Sabtu 3 Oktober di lokasi reruntuhan gedung Gama. Tim evakuasi
masih berusaha menemukan jenazah lainnya yang tertimbun reruntuhan. Menurut
Gusti, jenazah anaknya itu sudah ditemukan pada Kamis 1 Oktober 2009 sekitar
pukul 14.30 wib, sehari pascagempa dalam kondisi tubuh yang tidak rusak.
“Jasadnya seperti orang sedang tidur
saja, tersenyum. Bahkan kaca matanya masih melekat dan tidak rusak,” ujarya
mengenang saat-saat terakhir sang buah hati tercinta.
Namun lagi-lagi ia tidak dapat
menahan gejolak batinnya itu. Ia menangis tersedu-sedu. Ia datang ke lokasi
reruntuhan gedung Gama, semata untuk mengenang tragedi memilukan, yang telah
merenggut nyawa sang anak dari perkawinannya dengan Drs. Nurul Hadi. Dia tidak
pernah menyangka, jika Tuhan sangat sayang kepada buah hatinya sehingga harus
begitu cepat dipanggil ke haribaan-Nya.
Angga Aldino buah hati Gusti Anola,
kursus di Gama terbilang baru sekitar 3 bulan belakangan sejak ia masuk SMP.
Jadwal kursusnya pada hari Senin dan Rabu, mulai pukul 15.00 wib hingga pukul
18.00 sore. Pagi di hari naas itu, Gusti mengantar sendiri anaknya ke Gama.
Biasanya, Angga selalu minta uang jajan kepadanya, namun tidak di hari itu.
“Angga tidak meminta uang jajan sama sekali. Ia hanya menatap saya, lalu
mencium tangan saya,” ujar Gusti.
Gusti yang sehari-hari bekarja
sebagai PNS di Badan Perpustakaan Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Barat tersebut,
di hari-hari biasa, ketika ia pulang kantor melintas di jalan Proklamasi depan
gedung Gama menuju rumahnya, ia selalu menoleh ke gedung itu sembari mengenang
wajah anaknya yang sedang belajar di sana. Namun di hari itu, Gusti tidak
menoleh sama sekali. Ia memalingkan wajah ke arah lain.
“Entah ini sebuah firasat, saya
tidak tahu. Di hari naas itu saya tidak menoleh ke gedung Gama,” ujarnya.
Warga Komplek Perumahan Indo Villa
Blok A No.1 B Padang ini, ketika tiba di rumahnya sore hari, ia dan warga lainnya
merasakan guncangan gempa yang sangat kuat. Dalam kondisi ito Gusti teringat
anaknya yang sedang kursus di Gama. Tanpa berfikir buruk ia langsung mencari
keberadaan anaknya itu. Namun alangkah kagetnya ia, ketika menuju Gama di kiri
kanan jalan banyak terlihat gedung-gedung yang roboh di hoyak gempa.
Semakin kacaulah batinnya. Lebih
milis lagi ketika dengan mata kepalanya dia melihat gedung Gama turut roboh dan
menimbun hidup-hidup sang buah hati bersama puluhan siswa lainnya. Dia menjerit
histeris dan berdoa semoga Allah menyelamatkan anaknya. Namun suratan takdir
berkata lain. Tim evakuasi menemukan anaknya dalam kondisi tak lagi bernyawa,
sehari pascagempa.
“Saya benar-benar tidak kuat
menenima kenyataan ini, namun saya sudah mengikhlaskan bahwa Angga anak saya
adalah titipan Allah,” ujar Gusti yang berusaha tegar.
Keseharian Angga Aldino, sang buah
hati, adalah anak yang pendiam, baik di rumah maupun di sekolahnya. Sejak kecil
Angga rajin melakukan shalat dhuha dan tamat SD telah khatam Alquran. Sebelum
meninggal dunia, Angga juga pernah berkata kepada ibunya bahwa dia ingin
membayar hutang puasanya yang tinggal dua hari.
“Shalat dhuhanya juga tidak pernah
tinggal,” kata Gusti.
Bahkan, cita-cita Angga kelak ketika
ia besar, ia ingin membantu kedua orang tuanya. “Dia pernah bilang kepada saya,
bahwa kelak ia akan bekerja dan ingin memperbaiki rumah orang tuanya,” ujar
Gusti, kembali ia terisak mengenang cita-cita anaknya itu.
Dan, satu hal keinginan putnanya itu
yang belum ia penuhi, bahwa minggu besok sebelum ia meninggal dunia, Gusti
berjanji akan membelikannya handphone, karena selama ini Angga tidak pernah
menggunakan Hp untuk berkomunikasi dengan kedua orang tuanya. Sebelum Gusti
membelikan Hp sesuai keinginan anaknya, Allah telah menghendaki keinginan yang
lebih baik, mengambil sang buah hati. Untuk selamanya.
Selamat jalan Angga, semoga Allah
menjadikan dirimu sebagai penambah pahala amal dan keikhlasan kedua orang
tuamu. Amin! (Haluan, Kamis 8 Oktober 2009)
45. Gelas Meletus Tiba-Tiba, Lemang Terbang di Udara
Ini bukan soal percaya tak percaya.
Menjelang gempa 7,9 SR mengguncang Ranah Minang. Ternyata, ada banyak peristiwa
tak lazim dialami keluarga korban. Mulai dari gelas meletus tiba-tiba, sampai
mimpi sepatu hilang dan lemang terbang melayang-layang di udara.
Bagaimana kisahnya?
Siang nan lengang. Sugirti 41 tahun lelah sekali. Guru SD Negeri 01
Tanjuang Balik, Kecamatan Pangkalan Kotobaru, Kabupaten Limapuluh Kota itu
lelah, karena baru kembali dari kantor bupati di kawasan Sarilamak, Kecamatan
Harau, jarak dari rumahnya sekitar 150 kilometer pulang-pergi. Dengan kondisi
jalan berkelok-kelok plus padat arus lalu-lintas.
Walaupun sekujur tubuhnya letih,
tapi Sugirti tak mengeluh. Malah, sambil tidur-tiduran, mulutnya nampak
tersenyum puas. Menandakan batinnya sedang bahagia. Maklum saja, hari itu, Rabu
30 September, Sugirti baru menerima SK kenaikan pangkat dari Wakil Bupati
Limapuluh Kota Irfendi Arbi.
Karenanya, ibu empat anak itu
berencana, memperlihatkan SK tersebut kepada suaminya Rozali 41 tahun. Tapi
berhubung sang suami sedang mengikuti pelatihan Bimbingan Teknis Pengolahan
Hasil Perikanan, yang digelar Dinas Kelautan Perikanan (DKP) Sumbar, di Hotel
Ambacang Padang, maka Sugirti terpaksa menangguhkan niatnya.
“Saat itu, saya berpikir, kalau
bapak sudah pulang, baru SKnya saya perlihatkan. Pasti beliau juga senang,”
ujar Sugirti.
Namun, niat Sugirti sepertinya sama
dengan mengukir langit dan menggantang asap. Sia-sia saja. Sebab, Rozali yang
belasan tahun sehidup-semati dengannya, justru pulang tanpa nyawa. Ya, Rozali
meninggal karena ditimpa reruntuhan Hotel Ambacang yang ambruk, beberapa saat
setelah gempa mengguncang Kota Padang.
Kepergian Rozali, membuat Sugirti
bagaikan ditembak petir siang bolong. Ibu guru yang dikenal baik hati ini,
terguncang begitu hebat. Dia tak menyangka, suaminya Rozali berpulang amat
cepat.
Padahal, pada pagi harinya, Sugirti
dan Rozali sama-sama menumpangi truk bermuatan barang dari Tanjuang Baliak.
Waktu itu, Sugirti turun di halaman kantor bupati Limapuluh Kota. Sedangkan
Rozali, tetap melanjutkan perjalanan menuju Kota Padang.
Sepanjang perjalanan, memang tak ada
percakapan antara mereka berdua. Entah mengapa bisa begitu. Bapak diam-diam
saja saat kami menumpangi truk yang sama. Tak ada satu pun yang beliau sampaikan
pada saya. Padahal, di antara kami tak ada masalah apa-apa. Sehingga sampai
kini, saya masih berpikir heran, mengapa bapak bisa diam? Apakah ini pertanda
kami akan berpisah,” kata Sugirti sesugukan.
Rupanya, tak hanya soal Rozali
banyak diam yang membuat Sugirti terheran-heran. Ada pula, kejadian lain yang
membuat perempuan berkulit kuning langsat ini tak habis pikir sampai sekarang.
Kejadian tersebut, menurut Sugirti,
terjadi hanya beberapa jam menjelang gempa. Waktu itu, Sugirti sedang duduk-dukuk
di dalam rumah. Tiba-tiba saja, gelas yang terletak di atas meja meletus keras.
Melihatnya saya kaget, kok
bisa-bisanya, gelas meletus di atas meja? Seperti ditembak, padahal tak ada
yang menembak
Peristiwanya? Kontan, firasat saya
mulai berkata, “Mungkin akan ada sesuatu yang menimpa keluarga kami,” ujar
Sugirti pula.
Tapi, waktu itu, Sugirti tidak
berpikir tentang suaminya Rozali. Dia hanya teringat pada anak lelakinya yang
kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Riau. Anak sulung tersebut menurut Sugirti
memang sering sakit-sakitan.
“Makanya saya langsung telepon
seorang saudara. Saya bilang padanya, barusan ada kejadian aneh di rumah. Gelas
meletus dan pecah tiba-tiba. Mungkin akan ada malang yang menimpa keluarga
kita. Lain saya katakan, semoga saja anak sulung saya dalam kondisi Sehat,”
imbuh Sugirti.
Rupanya, anak sulung Sugirti memang
dalam kondisi sehat. Tidak kekurangan satu apapun juga. Hanya suaminya, Rozali,
yang kemudian diketahui berpulang ke rahmatullah. Innalillahi wa inna ilahi Rojiun.
Mimpi Lemang Terbang. Adanya firasat
atau tanda-tanda tak enak, menjelang gempa di Sumbar terjadi. Juga diceritakan
Rosneli, 42, seorang guru ngaji di Masjid Al Falah, Jorong Bancahdama, Nagari
Malalak Selatan, Kecamatan Malalak, Kabupaten Agam.
Kata Rosneli, beberapa hari
menjelang kampungnya luluhlantak diterjang gempa. Seorang warga yang masih
kerabat dekatnya, dalam tidurnya sempat memimpikan sesuatu.
Dalam mimpi tersebut, kerabat dekat
Rosneli, melihat ada banyak lemang (makanan dari beras pulut yang dimasak dalam
bambu), tengah dibuat orang di Bancahdama. Saat sedang dimasak, lemang-lemang
tadi tak tahunya berterbangan. Melayang-layang di atas udara. Lalu berserak ke
bawah.
“Terlepas mimpi tak bisa dijadikan
dasar keimanan, namun selepas gempa kampung ini memang porak-poranda. Saya
sendiri, antara percaya dan tak percaya saja,” kata Rosneli yang biasa disapa
Uniang oleh warga kampungnya.
Seperti diketahui, Nagari Malalak
Selatan, memang mengalami kerusakan cukup parah akibat gempa. Menurut wali
nagari setempat; Edinal, tercatat ada 62 warganya hilang ditimbun tanah. Dan 62
itu, cuma 28 orang jenazah ditemukan. Sisanya, 34 orang takjeias ke mana
rimbanya.
Sepatu
Hilang
Kembali pada firasat menjelang
gempa. Rupanya, tidak hanya dirasakan Sugirti dan Rosneli. Namun juga dialami
Wira 35 tahun yang merupakan istri Benny Sukanda Putra, korban meninggal saat
mengikuti pelatihan Asuransi Prudential di Hotel Ambacang Padang.
Menurut Wira, seminggu menjelang
tutup usia, suaminya bermimpi sedang baralek gadang (pesta besar). Tapi Benny
tidak tahu, di mana pesta besar itu berlangsung. Yang jelas, setelah Benny
bermimpi, Wira juga bermimpi pergi baralek (berpesta). Sama dengan Benny, Wira
dalam mimpinya juga tak tahu, ke mana dia baralek.
“Nah, beberapa hari setelah mimpi
tersebut, saya juga kembali bermimpi. Dalam mimpi terakhir, saya melihat
sebelah sepatu saya hilang. Namun, Semua mimpi-mimpi tadi kami anggap sebagai
buah tidur saja,” cerita Wira.
Sampai pagi Rabu 30 September atau
saat suaminya berangkat mengikuti pelatihan di Padang (padahal pelatihan sudah
memasuki hari ketiga atau terakhir). Wira masih tak memikirkan mimpi-mimpi yang
dialaminya. Hingga kemudian, dia mengetahui suami yang telah memberinya satu
anak, meninggal karena ditimpa reruntuhan bangunan.
Walaupun demikian, tidak semua
korban gempa memiliki firasat atau bermimpi sesuatu menjelang peristiwa menimpa
mereka. Misalnya saja, Jawanis 43 tahun. Perempuan asal Jumanak, Patamuan,
Kabupaten Padang Pariaman itu mengaku, tak punya firasat apa-apa menjelang
musibah menerpanya.
“Menjelang 22 orang anggota keluarga
saya hilang ditimbun tanah sampai sekarang hanya 6 orang yang ditemukan
jenazahnya. Saya tak bermimpi atau punya firasat apapun,” kata Jawanis.
Terlepas dari beragam cerita di
atas. Pastinya, gempa telah berlalu selama dua minggu. Apapun yang terjadi,
kini hanya bisa dikenang. Lain, disimpan untuk menatap masa depan. Mari
bangkit! (Padang Ekspres, Rabu 14 Oktober 2009).
46. Pa.... Flashdisk
Jangan Dibuang Ya!
Kenangan
Terakhir Rahadian Bersama Istri Satu Jam Sebelum Gempa
Rasa trauma, sedih dan kehilangan
akibat bencana gempa yang melanda Sumbar Rabu 30 Oktober 2009. Kejadian itu tak
akan pupus begitu saja dalam ingatan. Terlebih mereka yang jadi korban. Satu di
antaranya Rahadian, yang mendapati istrinya tewas tertimpa reruntuhan Salon
DeBeauty. Seperti apa kisahnya?
Detik-detik kehancuran masih bermain
di benak mereka. Walau diupayakan untuk menghilangkan episode mengerikan itu,
namun tetap saja sulit dihilangkan. Satu jawaban yang pasti, butuh waktu
panjang untuk melupakannya.
Memori kelam itulah yang kini terus
bergelut dibenak Rahadian 35 tahun, warga Kota Solok.
Kesedihan yang dirasakan kembali muncul setiap kali ia melihat foto istri
tercintanya, Eka Yelsi yang telah mengaruniainya dua anak laki-laki,
masing-masing Muhammad Aiya Ghifari 5,5 tahun serta Si bungsu Muhammad Raffi
Ghifari 4,5 tahun.
Foto keluarga kecil yang saat itu
dipegang Rahadian, merupakan pemberian terakhir istrinya. “Foto ini memuat
kisah sedih saja, untuk itu saya simpan baik-baik,” tuturnya di kediamannya
Kota Solok. Eka Yelsi, salah satu korban tewas yang tertimpa bangunan Salon
De-Beauty saat gempa besar terjadi mengguncang Sumatera Barat.
Menyedihkan lagi, foto itu merupakan
kenangan terakhir, persisnya sekitar satu jam sebelum maut memisahkan mereka.
Masih terngiang di teliga pria itu ucapan almarhum istrinya yang meminta agar flashdisk miliknya jangan sampai hilang.
“Pa....flashdisk-nya jangan sampai
hilang ya,“ ucapnya kala itu. Flashdisk Eka itu berisikan foto-foto terakhir
mereka di Plaza Andalas (PA) Padang, persisnya beberapa saat sebelum gempa.
“Entah itu sebuah pertanda atau apa, yang pasti saat itu istri saya begitu
takut jika flashdisk itu hilang,”
tutur Rahadian lagi.
Kedatangan Rahadian bersama
keluarganya ke Padang bermaksud membeli barang-barang kelengkapan toko HP milik
mereka. Sekalian untuk rekreasi keluarga pada hari nahas itu.
“Saat di PA, dia mengajak dengan
sedikit memaksa untuk berfoto bersama. Hal itu tak biasa dilakukannya.,” kenang
Rahadian Di perjalanan pulang, Eka meminta singgah di salon De-Beauty untuk
merapikan rambut. Sampai di sana, dia turun sendirian, sedangkan Rahadian dan
anak-anak rnenunggu di dalam mobil.
Tak lama kemudian gempa terjadi.
Melihat itu Rahadian langsung keluar bersama anak-anak, dan melihat bangunan
salon tempat istrinya merapikan rambut ambruk. Terkejut dan bercampur takut.
pria itu langsung lari ke salon dan mencari istrinya di dalam bangunan,”
katanya lagi.
Sambil bercucuran air mata dia
bersama anak-anaknya terus mencari ke setiap sudut bangunan yang roboh
tersebut. Namun usahanya itu sia-sia. Karena hari mulai gelap, Rahadian hanya
bisa berdiri di sekitar reruntuhan bangunan sambil menatapi puing-puing gedung
yang menghimpit tubuh istrinya. Esoknya, jasad Eka Yelsi berhasil dikeluarkan
oleh tim SAR, namun kondisinya telah meninggal. (Padang Ekspres, Kamis 22
Oktober 2009)
47. Zikir Massal Hilangkan Trauma
Ribuan warga kota memadati lapangan
parkir GOR H. Agus Salim hari Sabtu 17 Oktober 2009 pagi. Warga kota berzikir
untuk menenangkan jiwa dan minta ampunan kepada Allah SWT yang dipimpin Majelis
Zikir Tazkirah Medan, Dr Amiruddin. Juga menghadirkan H Suhairi Ilyas (Dosen
Universitas Ibnu Kaldum Jakarta) memberikan tausyiah.
Suasana sedih dan haru menyelimuti zikir bersama tersebut yang turut
dihadiri Wakil Wali Kota Padang, Mahyeldi, Sekko Emzalmi, sejumlah unsur
Muspida, pelajar dan majelis taklim dari 104 kelurahan di Kota Padang. “Dengan
zikir ini, diharapkan warga kota bisa bangkit kembali melaksanakan aktifitas sehari-hari
dan tidak larut dalam duka yang berkepanjangan,” ujar Wawako Mahyeldi.
Suhairi Ilyas dalam tausyiahnya
mengatakan gempa adalah satu ujian dari Allah. “Musibah gempa bukanlah hal yang
baru. Tetapi sudah diingatkan oleh Allah dalam Al-Quran sejak ribuan tahun
lalu. Bahkan sudah pula diriwayatkan dalam cerita nabi-nabi sebelum Nabi
Muhammad saw. Pendek kata, kita harus menerimanya dengan tenang dan terus
meningkatkan takwa kepada Allah,” tambahnya.
Di tempat yang sama, Ketua Majelis
Zikir Tazkirah Medan, mengingatkan kepada generasi muda untuk selalu
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. “Jangan tafsirkan
macam-macam musibah gempa yang melanda Sumbar. Kita harus selalu berfikiran
positif. Upaya yang dilakulan Pemko selama ini meningkatkan iman dan takwa
kepada Allah, harus dikembangkan terus,” ujarAmiruddin.
Wawako juga berharap kepada warga
yang ditimpa musibah tidak berlarut-larut dalam duka. “Mari kita mulai dari
sekarang bekerja keras membenahi yang rusak. Perkuat mental dan tingkatkan amal
ibadah. Mari kita ambil hikmah di balik musibah ini. Mudah-mudahan kita akan
diberikan nikmat yang lebih besar oleh Allah,” ungkap Mahyeldi.
Dalam. acara tersebut, Majelis Zikir
Tazkirah Medan turut menyerahkan bantuan uang tunai sebesar Rp 30.000.000,-
lebih untuk penanggulangan musibah gempa Kota Padang. “Mudah-mudahan ada
manfaatnya,” pungkas Amiruddin.
48. Cerita Sebelum Terjadi Gempa
Ada
Suara Aneh, Bangau Beterbangan
Bulu roma lkhwan 35 tahun merinding. Sore itu, tiba-tiba telinganya
mendengar suara aneh dari lautan. Belum lenyap rasa takutnya, semua hewan
ternak dan burung-burung berkumpul di depan pondoknya. Seperti mengabarkan
sesuatu.
Tapi apa?
Sore itu, 30 September 2009, cuaca
sedikit mendung. Sekitar pukul 16.15 wib, telinga lelaki itu menangkap suara
janggal. Datangnya dari arah laut Pantai Ulakan, Padang Pariaman. “Suaranya
seperti dengungan. . .uuuunnggg... yang membuat bulu roma merinding. Dua tahun
aku di sini, baru kali ini mendengar suara seperti itu,” tutur lelaki asal Jawa
yang menetap di Tobohgadang, Kabupaten Padang Pariaman itu.
Belum habis penasaran Ikhwan, semua
hewan ternak, 20 ekor sapi, 7 ekor kambing, ayam bahkan burung berkumpul di
depan pondoknya. “Semua hewan berkumpul di depan pondok ini. Dihalau tak mau,
mereka seperti akan mengabarkan Sesuatu,” cerita Ikhwan.
Tak lama berseang, terasa bumi
bergoyang.
“Karena di sini tanahnya rawa, jadi
guncangan tak terasa begitu kencang karena tanah sering bergoyang bila
diinjak,” tutur pria yang menikah dengan uniang Piaman dan dikarunia satu anak.
Pria yang masih kental dialek Jawanya ini, tinggal di rumah bapak angkatnya, di
Tobohgadang. Beruntung rumah dua lantai itu tak rusak diguncang gempa.
“Hanya pagar semen yang ambruk,
rumah tak apa-apa,” katanya. Sehari-hari, lelaki itu mengembala sapi dan
kambing di atas lahan seluas tiga hektare milik induk semangnya, takjauh dan
Pantai Ulakan. Rembang petang ia pulang ke rumah sang induk semang di Toboh
Gadang.
Mimpi
Berulang-ulang
Lain lagi Djaniur 50 tahun sebulan
sebelum gempa, wanita itu selalu diganggu mimpi berulang-ulang. Rumah yang
ditempati tinggal seruang. Itu pun tinggal lantai saja. Kadang terbersit
bertanya di dalam hati, apa arti mimpi? Sebulan ia menyimpan gundah di hati.
Sampai gempa terjadi.
Mata tua Djaniur nanar menatap
puing-puing reruntuhan rumahnya yang nyaris rata dengan tanah. Di Kampung
Simpang Padang Kapeh Ambacang Lubuk Alung Padang Pariaman itu, hampir semua
rumah runtuh. Sehingga tak ada tempat buat menumpang selain harus tidur di
tenda.
Masib lekat dalam ingatan nenek tiga
cucu ini, alek sedang berlangsung di rumah itu. Anak sepupunya menikah. Semua
orang tengah bergembira di halaman rumah menikmati hiburan dari organ tunggal.
Djaniur sendiri sibuk manatiang piriang bersama anak perempuannya Nike.
Tiba-tiba.....duumm! Bumi
berguncang, kencang. Kepanikan melanda. Tiba-tiba suara rumah runtuh
bergemuruh. Suasana gelap seperti mau kiamat.
Baru Djaniur ingat. Dua orang cucu
sedang tertidur dalam rumah. Serta-merta ia bersama Nike, ibu Si cucu,
menerobos reruntuhan. Menembus kegelapan debu semen yang beterbangan. Tak ingat
lagi keselamatan diri.
Ruang yang ia tuju sudah ambruk ke
tanah. Cucunya tertimbun. Sekuat tenaga, ia mengangkat tubuh bayi itu dari
reruntuhan tembok dan semen.
“Waktu saya angkat, mulut, hidung dan
matanya penuh pasir dan debu. Mujur masih bernapas. Namun sesampai di luar, ia
tak mampu lagi bertahan, cucu saya meninggal,” tutur janda ini dengan mata
berkaca-kaca. Nike, ibu si bayi bernama Iqbal, tak mampu mengucap sepatah kata
pun. Raut mukanya menyimpan duka mendalam. Beruntung, kakak Iqbal bisa selamat
karena cepat disambar ayahnya sebelum ditimpa reruntuhan rumah.
“Ia cepat diangkat ayahnya waktu
itu, hanya kepalanya luka dan lecet,” kata Djaniur sembari menunjuk ke arah
bocah yang asyik main mobil-mobilan. Memang ia belum mengerti apa-apa.
Mimpi
Rumah Selantai
Sebulan sebelum gempa, Djaniur
sering bermimpi. Hampir tiap malam mimpi itu mengusik tidurnya. Dalam mimpi,
rumah yang ia tempati hanya seruang. Itu pun tak berdinding.
“Sering Amak bermimpi, rumah ko
hanya salantai, dindingnyo saketek, randah bana, sahinggo kalau duduk nampak
dari mano-mano. Amak heran, baa kok mimpi ko baulang-ulang tajadi, batanda apo.
Kironyo gampo nan tibo tuturnya.
Suasana duka masih menyelimuti
keluarga Djaniur. Delapan anggota keluarga, anak, cucu dan menantu, tidur di
tenda. Tetangganya juga begitu.
“Kami di siko sadonyo miskin. Amak baranak jo minantu karajo di pabrik
tembok, urang daket-dakek siko umumnyo karajo di situ. Sahari diupah limo baleh
ribu. Kini ndak adoh lai, pabrik tu runtuh lo. Ndak adoh pitih. Untuang ado
bantuan sembako,” akunya. (kami
semuanya miskin. Amak beranak sadangkan minantu kerja di pabrik tembok, orang
dekat-dekat sini kerja di situ. Sehari digaji 15.000. Sekarang tidak ada lagi,
pabrik itu sudah runtuh. Tidak ada uang lagi. Beruntung ada bantuan sembako).
Padang Ekspres, Kamis 22 Oktober 2009.
49.Orang Asing
Sebarkan Injil di Kab. Padang Pariaman
Ranah
Minang Dikepung Misionaris
Saat terjadi gempa yang menguncang
Sumatera Barat hari Rabu 30 September 2009 tercatat 33 relawan asing dan lokal
kelas dunia sudah berada di Ranah Minang. Mereka siap menghancurkan aqidah umat
Islam, melalui kedok kemanusiaan.
Bermacam cara dilakukan misionaris
untuk memurtadan umat Islam. Baik dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun
secara terang-terangan. Sungguh sangat mengkuatirkan dan sangat membahayakan
bagi kelangsungan aqidah umat Islam.
Di tengah-tengah suasana umat yang
dirundung duka. Mereka seolah-olah tidak menyia-nyiakan kesempatan di dalam
kesempitan. Dari perkotaan sampai ke polosok pedalaman. Jika melalui jalan
darat sulit dijangkau, helikopter pun siap membawa mereka dengan berbagai
bantuan sebagai kedok.
Dengan berkedok kemanusiaan, mereka
bebas bergerak ke berbagai pelosok pedalaman. Mereka menabur janji-janji,
membabtis, meracuni aqidah umat Islam yang lugu dan polos, tanpa sedikitpun
mendapat hambatan atau rintangan yang berarti.
Rupanya misionaris telah membaca
watak orang Minang yang terkenal dengan ketangguhan dan ketabahannya serta
cepat melupakan kedukaan. Oleh karenanya ditebarkanlah tenda-tenda sebagai
perangkapnya, agar urang awak jadi pemalas.
Mereka membagi-bagikan uang saat mengontrol tenda-tendanya. Sehingga urang
awak menjadi terbiasa menerima uang bukannya berbuat. Yang terjadi selanjutnya,
warga korban gempa berderet, berjejer sepanjang jalan ke setiap mobil yang
lewat di depan-depan tenda yang telah disediakan.
Gempa bumi Sumatera Barat bagi
misionaris benar-benar menjadi kunci pembuka untuk menghancurkan umat Islam.
Yang terkenal Agamis dengan bermotto:ADAT BERSANDI SYARAK, SYARAK BERSANDI
KITABULLAH.
Di antara organisasi asing yang
bernafsu sekali untuk memurtadan Urang Awak adalah IOM, ROTARY, dan LION CLUBS
dengan menggunakan ratusan mobil truck maupun mobil-mobil kijang, jeep. Mereka
sangat gesit sekali mendatangi para korban gempa sampai ke gunung-gunung yang
sangat sulit dijangkau.
Sungguh liciknya para misionaris
ini. Mereka telah berhasil membuat urang awak yang tangguh dan gigih menjadi
pengemis di jalan-jalan.
Korban
Gempa Buncah
Masyarakat korban gempa di Kabupaten
Padang Pariaman Sumatera Barat buncah. Sejumlah oknum relawan asing yang datang
ke Padang Pariaman berkedok memberikan bantuan kemanusiaan. Tetapi di dalam
bantuan tersebut oknum relawan asing ditemukan membagi-bagikan kitab Injil
kepada warga korban gempa sejak Selasa 27 Oktober 2009. Bahkan, jika ada warga
korban gempa yang mau merobah akidahnya secara terang-terangan mereka siap
membuatkan rumah permanen.
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Kabupaten Padang Pariaman melacak keberadaan oknum relawan asing itu dan sedang
mengumpulkan bukti-bukti untuk dilaporkan ke pihak berwajib.
“Benar, kami mendapatkan informasi
dari warga ada oknum relawan asing yang membagi-bagikan Injil di jalanan,
kepada siapa saja mereka bertemu,” ujar Ustadz Drs. Ibnu Aqil D. Ghani ketika
berdialog dengan penulis di Kota Padang.
Dia
menyebutkan, relawan asing yang membagi-bagikan kitab Injil itu disinyalir
berasal dari Negara Amerika dan Australia. Mereka masuk ke Padang Pariaman,
khususnya di Desa Koto Tinggi beberapa pekan setelah pascagempa dan
membagi-bagikan sembako, selimut dan tenda kepada masyarakat di sana.
“Koto Tinggi merupakan desa yang terparah terkena
dampak gempa di Padang Pariaman. Jalan putus, jembatan ambruk, dan banyak rumah
warga yang rusak. Kondisi medan yang sulit menyebabkan ormas Islam belum masuk
ke sana beberapa hari pascagempa,” jelas Ibnu Aqil.
Oknum
relawan asing itu masuk ke Koto Tinggi, menurut keterangan warga yang
diungkapkan Ustadz Ibnu Aqil, dengan menggunakan helikopter dan membagi-bagikan
bahan makanan khususnya beras, susu dan mie instan. Setelah kondisi sedikit
aman, mereka turun dan mengajak anak-anak dan orang tua berkumpul untuk
mendapatkan bantuan selanjutnya.
“Selain
memberikan bantuan makanan, kepada warga oknum orang asing itu juga menyebutkan
kata-kata, ‘anggaplah kami sebagai warga surga yang datang ke sini untuk
menyebarkan kasih’,” ujar Ustadz Ibnu Aqil seperti dikatakan warga di Koto
Tinggi.
Selain itu,
masyarakat di sana juga dijanjikan akan dibangunkan rumah dan akan diberikan
apa saja yang diminta, asalkan mereka mau berganti keyakinan. Mereka
menjanjikan akan datang beberapa kali kesempatan selama 4 tahun berturut-turut
untuk memberikan bantuan yang dibawa melalui helikopter.
Memperkenalkan Yesus Kepada Anak-Anak
Dari
beberapa keterangan di lapangan misionaris masuk ke pelosok-pelosok kampung
dengan memperkerjaan wanita-wanita lokal muslim sebagai penunjuk jalan dan
menerjemahkan bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Minang. Maklum
di pedalaman Kabupaten Padang Pariaman ini masih banyak warga yang tidak
mengerti bahasa Indonesia.
Mereka
mengumpulkan anak-anak dengan alasan untuk diobati atau diselamatkan. Mereka
mengajak anak-anak bermain dan berkumpul di suatu lapangan sambil bernyanyi dan
bertepuk tangan. Selanjutnya anak-anak dibagikan buku cerita komik bergambar.
Misionaris menceritakan Yesus Kristus sang juru penolong. Anak-anak dibimbing
membaca cerita yang di buku komik tersebut. Dan untuk selanjutnya anak-anak
diajak berdialog.
“Anak-anak
juga dipengaruhi dengan keyakinan agama mereka, dan menyebut-nyebut Isa sebagai
anak Allah,” ungkapnya.
“Tindakan oknum relawan asing ini
sangat meresahkan masyarakat. Persoalan akidah sangat sensitif di daerah kami,”
katanya.
Menyikapi
kondisi yang tidak sehat itu, jelas Ibnu Aqil, sejumlah tokoh masyarakat di
Desa Koto Tinggi menggelar rapat dan menyatakan menolak semua bantuan asing
yang datang ke desa mereka. Warga juga telah melaporkan kasus tersebut ke MUI
Padang Pariaman.
Ormas Islam
sendiri, khususnya Formis dan MMI sumbar telah menerjunkan dai/muballigh ke
Koto Tinggi guna memberikan dakwah (Tabligh akbar) agar masyarakat tetap
memegang teguh keyakinan agama mereka. Di samping ormas Islam juga berupaya
melacak keberadaan oknum orang asing itu dan diharapkan tertangkap tangan
ketika menyebarkan Injil sehingga dapat diproses secara hukum.
“Membantu boleh tapi jangan
menyinggung akidah masyarakat kami,” tegasnya.
Ulama Sumatera Barat Buya Bagindo Muhammad Letter sebelumnya juga menerima
informasi itu dari beberapa jamaah pengajiaannya di Padang Pariaman. Dia
mengimbau kepada para donatur asing yang membantu korban gempa Sumatera Barat
untuk benar-benar murni tanpa ada misi lain.
“Kami sangat menyayangkan tindakan
oknum donatur asing itu, tapi untunglah akidah masyarakat di Padang Pariaman
cukup kuat,” ujarnya.
Mantan Ketua
Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) Propinsi Sumatera Barat, Buya H. Mas`oed
Abidin mengingatkan masyarakat daerah itu, terutama yang terkena bencana gempa
bumi, jangan sampai berubah akidah karena berharap bantuan.
Buya sangat
menyayangkan adanya relawan yang berkedok menyalurkan bantuan kemanusiaan untuk
memurtadkan (mengkafirkan) masyarakat yang memeluk Islam.
"Betul
sejumlah masyarakat Sumbar pascagempa tengah berada dalam keadaan susah, lapar,
dan rumah rusak. Namun, bukan berharap bantuan untuk mengubah akidah (agama)
mereka," kata Buya menyesalkan ulah oknum tak bertanggung jawab tersebut.
Jadi,
relawan yang ingin merusak akidah masyarakat Minang, kembali sadar dan
sebaiknya kembali bawa pulang misi tersebut jauh-jauh.
"Masyarakat
korban benar berharap bantuan yang disalurkan dengan ikhlas tanpa ada
iming-iming mengkafirkan," katanya.
"Harga
Islam bukanlah sebungkus mie instan. Lebih baik masyarakat makan tanah dan
berlindung di bawah langit dari pada akidah berubah," katanya mengingatkan
masyarakat.
Dugaan kasus
pemurtadan di kawasan Patamuan, Padang Alai, Kabupaten Padang Pariaman, tercium
pihak Polresta Pariaman. Polresta berhasil menyita 24 buah Injil. Selain itu,
juga selebaran dan komik anak-anak dengan judul "Si Bodoh" dan
"Bagaimana Caranya Jadi Kaya" diduga disebarkan ke sekolah-sekolah.
Ketiga pelaku pemurtadan itu datang memberikan bantuan uang, bagi orang dewasa
Rp10 ribu/orang, anak-anak Rp5.000/orang.
Kasat
Reskrim Polresta Pariaman, AKP Hendri Yahya, menyebutkan, pelaku, St dan RG
berasal dari California Amerika Serikat, didampingi penerjemah mereka Doni,
dari Jakarta.
"Kita
sudah mengfoto copi paspor dan identitas mereka, kini tengah dilacak organisasi
mereka," katanya. Ia menambahkan, pihaknya belum bisa menetapkan tindakan
atas kasus tersebut. Bila sudah, Polri yang akan menangani. (Drs. Ibnu Aqil)
50. West Sumatra Quake Victims Warned Against Disguised Missionary
Activity
Buya H Masoed Abidin, former
chairman of the West Sumatra chapter of the Indonesian Islamic Propagation
Council (DDII), issued the appeal when asked to comment on reports Padang
Pariaman police had seized 24 Bibles, a number of leaflets and children’ s
comic books from members of the local community who had had contact with
foreign humanitarian workers.
He said it would be quite
regrettable if foreigners were trying to convert quake-affected West Sumatra
Muslims away from Islam under the guise of humanitarian work.
Many West Sumatran people were
indeed in dire straits, suffering from hunger and other woes because of the
September 30 earthquake and therefore needed humanitarian aid. But if aid was
given to them with the ulterior purpose of making them abandon their Islamic faith,
the aid givers had better move their mission to elsewhere, he said.
‘What West
Sumatra quake victims need is aid without religious strings
attached,” he added.
Therefore, he said, quake victims
receiving relief aid from foreign parties should not fall for possible attempts
to make them change their belief in Islam. They should adhere to the principle
to rather remain hungry and homeless than abandon their religious faith.
According to Padang Pariaman police
they had identified two foreigners from California
whose initials were St and GR as the party that had engaged in missionary
efforts while distributing aid to local quake victims.
Assisted by an Indonesian
interpreter from Jakarta, identified as Doni, the two-some had also been doling
out cash to quake victims at the rate of Rp l0,000 per adult and Rp5,000 per
child.
“We have made copies of their
passports and are now checking for what organization they are working,” said
Adjunct Commissioner Hendri Yahya, head of the Padang Pariaman police’s criminal
investigation unit.
He said police had yet to decide
what action needed to be taken against the group but if action was necessary,
it would be done by order of the National Police Headquarters.
The foreign duo’ s disguised
missionary activity was detected after police received a report that a
48-minute missionary message video was being circulated by cell-phone in Padang
Pariaman district.
COPYRIGHT © 2009 ANTARA
51. Tak Terganti Iman dengan
Sebungkus Mie
Bantuan gempa yang disusupi misi
keagamaan, jauh-jauh hari sudah tercium oleh kalangan ulama. Belajar dari
daerah bencana lainnya, yang selalu saja ada pihak yang mencoba memperkeruh
keadaan, Sumatera Barat terang tidak ingin kecolongan.
Dengan ditemukannya injin dan komik serta ajakan untuk pindah agama, memperkuat
dugaan kalau relawan asing tidak sepenuhnya ikhlas membantu korban gempa. Oleh
karena itu, keberadaan mereka harus terus diwaspadai.
Menurut Buys Mas’oed Abidin,
pemberian darimana saja boleh diterima. Tetapi kalau sudah bermisi pemurtadan, sumbangan
itu harus ditolak sepenuhnya. “Jangan mengganti iman dengan pemberian
sumbangan. Karena itu, masyarakat harus hati-hati menerima bantuan asing,” kata
Buya Mas’Oed.
Dikatakannya, kalau sumbangan
tersebut nyata-nyata mengajak pindah agama, maka kelaparan lebih baik daripada
memakannya. Orang Minang yang sebenarnya Minang menurut Buya, bukan suku yang
gampang pindah agama, hanya karena masalah isi perut ataupun tempat berlindung.
Jika ada orang Minang yang mau
menukar agamanya dengan makanan ataupun perumahan, itu sudah tidak ada lagi
darah Minang dalam dirinya, Maka dari itulah suku Mlnang disebut orang
Minangkabau. Itu berarti, kalau Islam sudah lepas dari dirinya, yang tinggal hanyalah
nafsu kebinatangan yang diumpamakan seperti kerbau (kabau).
Oleh karena itu, orang Minang harus
menghidupkan kembali semangat hidup bergotong royong. Karena dalam Allah menjanjikan
bakal menolong dan membantu seorang hamba, selama hamba itu menolong dan
membantu saudaranya.
Rektor Institut Agama Islam Negeri Imam
Bonjol Padang Prof. DR. H. Sirajjuddin Zar menilai bentuk bantuan dari mereka
yang berbeda agama tak masalah untuk diterima. “Sekarang kita bicara bantuan.
Kita memang tidak bisa memilih orang untuk membantu kita. Karena ini adalah
bentuk perhatian orang terhadap kita. Jika bantuan itu masih berbentuk benda dan
uang yang sama tanpa embel-embel tidak salah kita menerimanya,” terang
Sirajjuddin Zar.
Untuk bantuan itu tidak ada
embel-embel saat memberikan tidak usah dipermasalahkan. Lagian bantuan itu hanya
menjelang bisa melupakan kesedihan akibat gempa. Sehingga korban gempa jangan
berlama-lama dalam kasedihan.
“Kita tahu orang banyak lolos dari
ujian atau cobaan berat. Namun Sedikit orang yang mampu lolos dari cobaan
kesenangan. Untuk itu jangan lagi mempermasalahkan bantuan. Prinsipnya, asalkan
barang yang diberikan itu tidak ada syaratnya,” ujarnya.
Sirajjuddin mengakui ada pemahaman,
kalau Sumatera Barat dijadikan target pemurtadan. Seolah-olah menguasai Sumbar
berarti sudah menguasai Indonesia”’ Orang Sumatera Barat itu adalah orang yang
memiliki aqidah yang kuat. Untuk itu akan sulit untuk mempengaruhi masyarakat Sumatera
Barat, mampu mengubah aqidahnya dengan memberikan bantuan sebungkus mie instan,”
tambahnya.
Sanksi
Penodaan Agama
Kristenisasi berkedok bantuan bagi
korban gempa diakibatkan longgarnya peraturan dan tidak jelasnya sangsi bagi
pelaku. Selain ini penerimaan bantuan dari pihak mana pun membuat mudahnya
pihak-pihak tertentu menarik orang lain mengikuti keyakinan mereka.
Hal tersebut dikatakan Guru Basar
dan Sosiolog Agama Universitas Andalas, Prof. Bustanuddin Agus. Ia sangat
mengecam kasus penodaan agama yang banyak dialami warga di Kabupaten Padang
Pariaman belum lama ini. Prof. Bustanuddin menilai tindakan pengkristenisasikan
akan terus dilakukan dengan upaya dan sarana yang berbeda.
Untuk itu Ia berharap pemerintah
tegas menindak hal ini. Pemerintah tidak boleh mengizinkan tindakan untuk
rehabititasi mental warga korban gempa, sebatas rehabilitasi fisik saja,
seperti bantuan makanan, pakaian, dan bantuan bahan bangunan.
“Rehabilitasi mental tidak boleh
dilakukan karena hal ini menyangkut agama dan filosofi seseorang. Selain mempertebal
keimanan dan mental untuk pribadi upaya pemerintah untuk memberikan sangsi
terhadap pelaku mesti tegas,” kata Bustanuddin Agus.
Dan agar tindakan serupa tidak
terulang lagi salah satu caranya dikatakan BustanuddinAgus ialah memperjelas dan
mempertegas sangsi hukum bagi para pelaku pemurtadan agama tersebut. (H. Masoet
Abidin)
52. Kristenisasi di
Pasa Kudu “COKLAT TUHAN”
Ada 3 misionaris yang melakukan
aktivitas Kristenisasi, yaitu Bala Keselamatan, Charites dan IBU (Internasional
Building Unit) dan mereka sering melakukan kegiatan bareng, terkordinasi yang
dapat dilihat dari seragam mereka melakukan kegiatan pemurtadan. Sasaran mereka
lebih difokuskan kepada anak-anak. Mereka setiap hari mendekati anak kecil.
Anak-anak dikumpulkan dan diberi arahan keselamatan dan kegembiraan. Serta
diarahkan untuk mengenal Tuhan.
Inilah sebuah kisah nyata yang
dialami anak-anak Muslim di Pasa Kudu, Lubuk Alai Padang Pariaman. Kisah yang
kami beri nama Coklat Tuhan. Sebuah kisah yang menujukkan akal culas misionaris
memurtatkan anak-anak Minang dari Tauhid.
Suatu sore, di akhir bulan Oktober, seperti biasanya para relawan Kristen mengumpulkan
anak-anak Muslim. Setelah berdialog dan memberi semangat seperlunya, Relawan
Misionaris bertanya, “Berapa Tuhan kamu, anak-anak sekalian”?
Serentak anak-anak menjawab dengan
penuh percaya diri; “Satu”
Mereka lalu diberi hadiah 1 buah
coklat. Meski tenang karena sudah menduga sebelumnya, jawaban tersebut kurang menyenangkan sang
relawan.
Pertanyaan dilanjutkan lagi, “Berapa Tuhan kalian”?
Anak-anak yang menjawab “Tiga”,
karena sudah sering dengar bahwa orang Kristen Tuhannya 3. Maka relawan tersenyum
sumbringah. “Bagus anak-anak sekalian, lalu anak-anak Muslim itu dikasih hadiah
lebih besar. Masing-masing diberi coklat tiga. Tentu sang relawan akan
memantapkan pendirian baru anak-anak bahwa Tuhan adalah tiga. Karena itu ia
pasti bertanya lagi.
Anak-anak berfikir, dijawab satu
dikasih satu, dijawab 3 dikasih tiga. Sekarang dijawab banyak saja, sepuluh
saja agar dikasih sepuluh. Maka setelah diskusi anak-anak itu akan menjawab
sepuluh agar lebih banyak dapat coklat.
Sekarang pertanyaan diajukan lagi,
“Berapa Tuhan kalian”? Jawaban yang diharapkan tentunya 3, sesuai arahan
apalagi sudah terbukti yang jawab tiga lebih banyak dapat coklatnya.
Tapi, anak-anak menjawab, “Sepuluh, Bang”.
Kaget si relawan, Namun kali ini tak
memberinya sepuluh. Hanya diberi 3 juga.
Lebih kaget dan bingung lagi
anak-anak Muslimim kita itu; dijawab Tuhan Satu sesuai dengan keyakinan mereka
maka dikasih coklat satu. Dijawab tiga sesuai keyakinan relawan dikasih tiga,
dijawab sepuluh sesuai dengan keyakinan penyembah banyak dewa malah dikasih
tiga. Wah, dasar akal bulus !
Akhirnya anak-anak jadi sadar mereka
dikerjain sang relawan dan lapor pada orang tua mereka dan kakak-kakak mereka.
Padang
Sago tidak Mau Menerima Sumbangan dari Muslim
Masuknya minionaris dan aktivis
kriten itu membuat dua orang warga korban gempa melaporan aksinya kepada pemuka
masyarakat.
Padang Sago adalah salah satu
kampung yang tidak mau menerima bantuan dari Muslim padahal mereka semuanya
Muslim. Ada salah satu relawan dari salah satu ormas yang diusir dari kampung
itu. Mereka berjanggut dan berjubah, sehingga diisukan menyebarkan aliran
sesat.
Ketika dua orang warga yang melapor
tersebut menghiba dan menceritakan suara hatinya: “Tolong Pak, kirim ulama atau
ustad dan kia sebanyak-banyaknya. Kami di sini butuh ustad untuk menyejukan
hati kami yang gundah gulana. Misionaris banyak datang ke kampung kami,
membagi-bagikan Injil. Dan ada juga bantuan yang ada tulisan logo Yesus
Kristus. Juga anak-anak sering diajarkan do’a-do’a ala Kristen, tolong kami. Kirimkan
ulama segera ke kampung kami untuk meluruskan jalan dengan aqidah dari
Al-qur’an dan hadits.
Tanggal 25 September 2009 sore hari,
salah satu posko tenda mosionaris yang ada di Padang Sago Kampung Dalam
Kabupaten Padang Pariaman. Para misionaris terlihat sedang duduk rapi
mendengarkan briefing dari dua orang bule. Rupanya para misionaris ini sedang
rapat menyatukan visi dan misi mereka di dalam gerakan permurtadan warga Minang
korban gempa. Terbukti esok harinya warga Padang Sago digemparkan dengan adanya
Gerakan Permutadan oleh orang bule Amerika dan Australia.
Mereka sengaja mengumpulkan warga
setalah warga berkumpul mereka berkhotbah yang diterjemahkan oleh orang lokal:
yang isi khutbanya, intinya mengajak warga korban gempa untuk meminta
pertolongan pada tuhan mereka yaitu Yesus Kristus.
Dengan adanya permurtadan ini,
penguatkan aqidah memang harus segera di lakukan di Kabupaten Padang Pariaman.
Tak hanya sekedar bantun sandang pangan dan obat-obatan tapi lebih dari itu
yaitu aqidah.
Mengusir mereka dari Ranah Minang
adalah suatu keharusan, sebagai salah satu bentuk menjaga keimanan penduduk
Padang Sago yang selama ini memang bergama Islam. Semua harus dilakukan demi
menjaga aqidah umat sekarang dan generasi yang akan datang.
53.Misionaris Ngaku Islam, Tetapi Nggak Tahu Shalat
Ashar!
Kelompok misionaris yang
berpura-pura menjadi relawan gempa itu menyebut kelompoknya FKPA. Tak
tanggung-tanggung, untuk menipu umat mereka memakai atribut Islam, misalnya
wanita mereka berjilbab. Di desa Pasa
Kudu, mereka menempati rumah yang dikontrak selama 6 bulan. Sehingga akhirnya
diusir setelah masyarakat muak melihat aktivitas mereka yang merusak akidah
umat, terutama anak-anak Muslim.
Target mereka adalah anak-anak, TK,
SD dan SMP. Dan anak-anak pun segera akrab degan mereka karena begitu pandai
dan pengasihnya mereka kepada anak-anak Muslim. Tapi, sedikit demi sedikit
kedok mereka mulai terkuak.
Adek Kudu menceritakan, guru mengaji
di desa tersebut serta masyarakat yang peduli agama mulai mencurigai mereka
setelah melihat gejala-gejala kurang sedap. Pertama, anak-anak SD lalu kemudian
anak-anak SMP yang dijadikan target itu dikumpulkan untuk mngikuti acara-acara
mereka, jam-jam shalat dan mengaji. Acara mereka bahkan dari Ashar sampai malam
dan diberi hadiah-hadiah. Akibatnya anak-anak tidak lagi mengaji.
Kecurigaan juga timbul karena mereka
hidup serumah campur aduk laki-laki dan perempuan. Wanitanya pakai jilbab, tapi
tak mencerminkan sebagai wanita berjilbab layaknya wanita muslimah.
“Pada suatu sore, saya bersama
anak-anak dan kaum Muslimin mau shalat Ashar. Relawan PKPA itu duduk-duduk, di
TPA masjid di tempat kita sekarang ini”, kata Adek bercerta kepada ustadz Aqil.
Setelah selesai shalat saya tanyakan
pada relawan itu. “Kamu belum shalat?”
Dia menjawab dengan ragu-ragu,
“Belum bang dan akan shalat di rumah saja.”
Saya tanyakan, “Mengapa tak di
masjid saja?”
Ia jawab, “Ya di rumah aja bang.”
Lalu ia bertanya, “Ini shalat apa
namanya bang? Apakah ini shalat Ashar?”.
Saya kaget, kok dia tak tahu bahwa ini shalat Ashar. Seketika saya
berfikir, kelihatan sudah belangnya. Di
kolong langit ini tak ada orang Islam yang tak tahu shalat Ashar. Apa
lagi ia seorang mahasiswa. Pastilah ia bukan Muslim!
Mereka yang mengaku orang
Bukittinggi dan Padang Panjang serta Medan itu akhirnya diusir masyarakat
setempat. Karena masyarakat sudah tahu bahwa mereka sebenarnya adalah
misionaris Kristen. Dan sikap masyarakat tegas, tidak akan lagi mau menerima
bantuan berbentuk apapun dari mereka.
54. Dibaptis di
Taluk Bayua Kototinggi
Banyak orang yang tak percaya kalau orang Minang begitu penurut. Malah tak
satu pun yang yakin kalau warga Padang Pariaman akan dapat dimurtadan satu
orang pun. Tetapi, kenyataan di lapngan lain. Begitu mudahnya mereka dibaptis.
Mengapa mereka seperti tak berdaya?
Satu hari setelah membagi-bagikan
Injil, misionaris Kristen itu datang lagi. Kali ini bukan hanya membagi-bagikan
Injil dan mendengar khutbah para Misionaris. Tapi datang untuk menuai hasil, baptis
warga setempat.
“Benar Ustaz Aqil, ada warga yang di
Baptis. Saya lihat sendiri. Ketika itu, persis sehari setelah peristiwa
menghebohkan bagi-bagi Injil (Bibel). Saya pergi ke rumah saudara saya di
Taluak Bayua (Teluk Bayur) Korong
Kototinggi, maka saudara saya melaporkan lihat apa itu Jo. Maka saya lihat dan
saya dengar sendiri peristiwa baptis tersebut”, ungkap Pak Khaidir di Masjid Raya Kototinggi kepada Ustadz
Aqil.
“Yang dibaptis waktu itu seorang
pria namanya Datuak Pian. Bahunya
kananya dipegang oleh pendeta (dengan tangan pula), kemudian pak Pendeta
meluruskan tangannya ke depan. Lalu dibaca doa-doa keberkatan secara Kristen
atas nama Yesus. Kegiatan itu berlangsung beberapa menit.
Para misionaris dan pendeta yang membaptis tersebut berasal dari kelompok
misionaris gabungan Mitra Sejati dan Samaritan. Terdiri dari bagsa barat, dan orang
Indonesia yakni dari Bali, Ambon dan Medan. Mereka telah membantu korban sejak
awal baik sembako atau alat-alat pertanian.
Korban bukan hanya Datuk Pian, tapi juga dialami seorang pria
bernama M. Nur Jabat. Baik Dt. Pian atau
Nur Jabat keduanya dari suku Tanjung. Tapi, dibaptisnya M. Nur Jabat dilaporkan
kepada Pak Khaidir dan tokoh masyarakat lainnya oleh seorang pemuda Kototinggi
yakni Muslim dan Anto. Muslim dan Anto melihat dan medengar sendiri.
Masyarakat lantas menangkap para
pendeta dan misionaris tersebut dan membawanya ke Posko. “Lalu, di posko kami
marah-marah dan mengintrogasi mereka.” Mereka mengakuinya dan mita maaf. Lalu,
masyarakat melepaskannya sambil memberi peringatan agar jangan mengulangi
kembali. Setelah berjanji tak akan mengulangi lagi dan minta maaf mereka pun dibiarkan pergi.
Masyarakat
Diasingkan ke Korong Kayu Angik Padang Alai
Kelompok Misionaris yang telah
menebar Injil di Padang Alai sekitar Kototinggi dan patamuan. Semakin dibuat
resah saja. Sebanyak 27 KK warga Kototinggi kini hidup terasing di Korong Kayu
Angiak Padang Alai. Mereka diasingkan bagaikan disandra oleh kelompok
misionaris. Dengan iming-iming akan diberi bantuan Rp 30 juta. Masyarakat
meningggalkan kampung halamannya dan hidup dalam pengasingan saja. Kelompok
misionaris tersebut mensyaratkan harus tinggal di perkemahan mereka itu selama
6 bulan dan kalau tak cukup enam bulan mereka terancam tak dapat apa-apa. Dan
sampai laporan ini ditulis mereka sudah sebulan dalam pengasingan tersbut.
Seorang ninik mamak pemuka
masyarakat yang juga kepala SD di desa
Kototinggi, Amir Hosen Datuak L. Marajo sangat kuatir sekali,. Dan berusaha
agar masyarakatnya kembali menempati tempat mereka semula. Namun, mereka yang
telah hidup dalam pengasingan itu betul-betul terbuat janji. Mereka akan
dibantu 30 juta rupiah dan diberi persediaan pangan itu ketika diajak kembali
ke kampung halaman mereka semula, malah marah kepadanya. “Nanti kalau kami ke
Kototinggi lagi, apakah Datuk yang akan memberi kami makan dan membuatkan
rumah”, sanggah mereka.
Akankah masyarakat tersebut
betul-betul akan memperoleh rumah dan uang senilai 30 juta? Akankah mereka
meraih nilai material sebesar itu? Tapi apakah nilai itu telah seimbangkah
dengan kehilangan aqidah? (Drs. Ibnu Aqil)
55. Habis Gempa
Datanglah Pendeta
Habis gempa datanglah Pendeta. Gempa
telah meluluh lantakkan rumah, harta benada, mereka. Pendeta hendak menghancurkan aqidah mereka.
Bagi ummat Islam, termasuk warga
Kototinggi yang 100%; aqidah adalah seperti nyawa sementara harta dan seperti
raga. Maka gempa telah menghancurkan
raga mereka dan pendeta akan menghancurkan jiwa mereka. Jika pendeta
(misionaris) itu berhasil, artinya mereka telah merenggut segala-galanya.
Kototinggi, terletak sangat jauh di ujung kabupaten. Bahkan berbatasan
langsung dengan Kabupaten Agam. Jalan menuju desa itu cukup bagus beraspal dan
dengan mudah dapat ditempuh hanya kurang lebih 70 menit dari Pariaman dan tak
ada tanggul, bebas hambatan. Karena itu masyarakat sangat bahagia dengan
kondisi desa mereka, gunung-gunung yang indah, lembah yang mengapit kiri kanan
jalan, kelapa yang berbuah lebat, ada kayu manis, tanaman coklat, durian,
rambutan, jeruk dan yang lainnya. Tak ada keluh kesah yang merisaukan di sini.
Nyaris tak ada berita buruk yang terjadi bertahun tahun dari desa ini. Dan
karena itu masyarakat Minangkabau tak banyak yang tahu dengan desa Kototinggi
ini.
Barulah Kototinggi namanya melejit setelah
adanya gempa bumi yang amat dahsyat tanggal 30 September 2009. Apa yang
menyebabkan terkenal? Karena umumnya desa ini luput dari pemberitaan mass
media, tapi top dan popular bagi dan
relawan gempa, baik relawan Muslim dan relawan Kristen. Kenapa terkenal, karena
ketatnya misionaris mengurung masyarakat dengan jerat pemurtadan dan
pendangkalan aqidah.
Gempa dahsat itu menumbagkan hampir
seluruh rumah masyarakat, bahkan di beberapa lokasi terjadi longsor dahsyat
yang menyebabkan 3 buah rumah tertimbun. Ada 18 orang warga meninggal. Dan
separah dari jenazah mereka belum dapat ditemukan.
Badan jalan yang ikut hilang dibawa
longsor, di banyak tempat menyebabkan desa ini terputus total. Berhari-hari
kami di saat takut yang amat menggelisahkan itu dibiarkan saja sendiri. Tak ada
relawan yang datang, tak ada bantuan pemerintah dan tak ada siapa-siapa.
Sampai-sampai masyarakat saling bertanya-tanya akan selamanyakah masyarakat
Kototinggi dibiarkan menanggung derita berat yang tak terperikan ini. Ya, Allah
tolongklah kami. Alhamulillah, hari minggu (hari ke lima pasca gempa) datanglah
bantuan.
Mengaku
sebagai Orang Minang, tahu-tahunya Misionaris Kristen
Hari itu, di jalan raya depan posko kita ini, saya ketemu dengan 4 orang
pemuda. Mereka adalah relawan yang terlibat membagi-bagikan Bibel di sini. Saya
tanyakan prihal indentitas dan agama mereka. Mereka menjelaskan, bahwa mereka
beragama Islam, dua orang dari Padang Panjang, dua orang lagi dari Bukittingi.
Saya tak percaya karena mereka tak berlogat Minang. Saya ajak bahasa Minang dan
saya terus bertanya dimana anda di Bukttinggi dan Padang Panjang? Akhirnya
mereka tak dapat lagi mengelok dan mengakui dengan jujur bahwa mereka dari
Medan dan Ambon. Mereka pun mengaku sebagai orang yang beragama Kristen.
Kristen dari Medan dan Kristen dari Ambon.
Saya katakana kepada mereka tindakannya
membagi-bagikan Bibel serta menyebarkan brosur Kristen dan mengajak kaum
Muslimin murtad telah membangunkan ular lalok
(tidur). Anda ingat katika masyarakat Pariaman mengusir orang China dari Pariaman.
Di kota Pariaman ada namanya kampung China, setelah di usir maka tak seorangpun
orang China yang berani dan mau tinggal di Pariaman. Anda kalau masih melakukan
tindakan yang mengarah pemurtadan maka negeri ini akan kami jadikan sebagai
kuburan anda sekalian.
“Tapi ini pribadi Pak” sergah para
misionaris itu”.
Kamu dusta. Kamu telah
berpengalaman. Kami tahu misionaris sebelum bergerak kemari, di kawasan bencana
ini telah dilatih berbulan-bulan dan telah diplaning sedemikian rupa,
perencanaan, target, sasaran, opeasional yang matang dan dana yang besar. Jadi
dusta besar kalau anda berbicara itu secara pribadi. Tapi sudah terprogram.
“Tapi, pak kalau ada kasus sebaiknya
dilaporkan ke pemerintah. Dan kami dalam hal ini sudah korban. Seorang makan
cempedak semua kena getahnya”.
Kami tak percaya kepada pemerintah.
Kemampuan aparat dalam mengatasi kristenisasi ini rendah, saya sudah pengalaan
dalam hal ini. Gerombolan anda telah ditangkap, barang bukti sudah diambil,
malah konon polisi udah menyita ratusan injil, tapi semuanya dilepas. Dan kalau
anda merasa bahwa anda hanya kena getahnya oleh perbuatan yang anda bilang
oknum, maka anda harus tuntut kawan anda itu. Kalau tidak anda tuntut itu
menjadi bukti bahwa anda bersekongkol.
Akhirnya mereka mengakui. Bahkan mengataan
bahwa kami menjadi takut dan mengadakan pertemuan dengan pemuka Muhammadiyah di
Padang di jalan Proklamsi. Kami minta bantuan kepada Muhammadiyah. Setelah mereka
memberi jaminan keamaan kepada kami, barulah kami berani masuk. Karena pimpinan
Muhmmadiyah itu telah memberikan jaminan keselamatan kami untuk masuk, barulah
kami masuk kembali.
Misionaris
Berjenggot Itu Membagikan Jilbab Biarawati
Wanita Muslimah di Kototinggi habis
gempa tetap dirundung malang. Bahkan seolah harga diri mereka diinjak-inkak
saja. Dan itu merupakan pengalaman
seumur-umur yang tak terlupakan. Pengalaman apa itu? Mereka disuguhi
kerudung biarawati.
Para wanita yang tak terima kaum mereka diberi suguhan yang tak menarik itu
lantas melaporakan ke Ustaz Shidiq relawan MMI di Kototinggi. Masak kami diberi
jilbab aneh bersambung panjang ke belakang. Ustaz Shidiq pun melacak berita itu
ke Kepala Korong, apakah benar atau hanya sekedar issu saja. Ternyata, pak
Kepala Korong membenarkan. ”Benar masyarakat kami telah diberi oleh relawan-relawan
Mitra Sejati dan orang asing lainnya jilbab seperti jilbabnya biarawati,” ujar
beliau.
Dan tragisnya lagi yang memberikan
adalah relawan Kristen berjenggot.
“Saya telah meminta barang bukti
kepada Pak Walikorong. Dan beliau pun berjanji akan memberikannya setelah mengumpulkan
dari para wanita muslimah rakyat yang dicintainya”. Ujar M. Shidiq.
Nama
Islam tetapi Agamanya Kristen
Misionaris itu mengaku bernama
Mustafa, Daud dan Yusuf. Bahkan Muslim dari Bukittinggi dan Padang Panjang.
Bukan itu saja, untuk menggelabui masyarakat para wanitanya berjilbab. Dengan
indentitas palsu seperti itu, mereka berlalu lalang memberikan bantuan dan
mengkhutbahi masyarakat dengan ajaran Misionaris Kristen.
Masyarakat jadi percaya. Prianya
berjengggut, wanitanya berjilab kurang apa lagi? Ternyata kedok mereka terbuka;
mereka membagi-bagikan kerudung Biarawati. Bahkan yang membagikannya langsung
pria berjengggot tadi dibantu oleh wanita berjilbab.
Culas memang, tapi masyarakat tak
gampang dibohongi. Ini Pariaman bung!
56. Insya Allah, Kami Masih Shalat!
KAMPUNG itu
terletak di kaki bukit Gunung Tigo, sekitar 3 kilometer Utara Pasar Padang Alai,
Kecamatan V Koto Timur, Padang Paraman. Korong Patamuan namanya, sama dengan
nama kecamatan di sisi timur gunung yang sama, yaitu. Kecamatan Patamuan.
Ketika gempa
berkekuatan 7,9 SR menerjang Sumatra Barat 30 September 2009, Korong Patamuan
juga luluh lantak. Meski hanya satu korban meninggal karena terbawa arus tebing
yang runtuh, namun kondisi kampung yang berada di atas perbukitan ini benar-benar
merana.
Di sejumlah ruas jalan Padang Alai-Malalak, terdapat jurang terjal yang
menganga dengan dinding tebing yang masih memerah.
Dari sebuah warung
di pinggir jalan,di kaki bukit itu yang di depannya terdapat sebuah tebing
runtuh, Zai, 50 tahun menunjuk rumahnya yang berada di balik jurang yang menganga
tersebut.
“Itu rumah awak Da... Tebing itu runtuh ke bawah sedalam
100 meter dengan membawa istri, anak dan adik ipar ambo. Anak dan adik ipar selamat, istri awak digulung tanah dan baru
ditemukan enam hari kemudian,” ujar Zai sedih sambil mengamit anak lelakinya
yang masih menatap jurang yang dalam itu.
Kamis 5 November
2009 petang berebut senja, kampung itu nampak lengang. Hanya ada satu dua
kendaraan roda dua dan roda empat yang lewat. Jalan menuju Gunung Tigo dari
Padang Alai terus ke Malalak masih bisa dilalui. Yang sudah terban masuk jurang
bersama perkampungan penduduk adalah dari Korong Patamuan menuju Tandikek,
Kecamatan Patamuan.
Setiap mobil yang
berhenti di kampung ini, akan selalu didatangi penduduk. Apalagi mobil yang
membawa bantuan, pasti akan distop.
Cuma, sejak
beberapa hari terakhir, masyarakat di daerah ini mulai curiga dan selektif
dengan rombongan pembawa. bantuan, terutama kalau ada relawan asing yang
menyertainya.
Kenapa begitu? Akhir
pekan lalu, kampung ini didatangi beberapa orang bule yang mengaku datang dari
Amerika dengan seorang penerjemah orang Indonesia asli.
Menurut cerita
Ery, 25 tahun begttu turun dari mobil, mereka membawa gitar dan bernyanyi.
Lantas anak-anak dan sejumlah penduduk berkumpul menonton aksi mereka, “Yo di siko bana tampeknyo Da. Itu gambar
rumah nan runtuah dan di belakangnya ado tabiang. Tantang ko bana we e main
gitar dan bernyanyi,” kata Ery sambil melihat rekaman video hazdphone.
Saat penduduk
sudah ramai, bule yang lain memberi uang untuk sejumlah orang, termasuk
membayarkan minum anak-anak muda yang ada di warung dengan memberi uang Rpl00.000,-
Setelah agak
ramai, baru mereka berpidato tentang kedatangan mereka yang jauh dari Amerika
sana untuk membantu penduduk yang sedang kesusahan. Di antara pidato-pidato itu,
mereka menyampaikan pesan-pesan tentang Tuhan Yesus. “Kecek we e Tuhan Yesus, Pak. Kami
mangango se mandanganyo,” sela seorang penduduk.
Mengajak
Pindah Agama
Ery dan sejumlah
teman-temannya mengakui ada upaya para bule-bule itu melalui penerjemahnya, mengajak
masyarakat kampung untuk beralih agama. Ini bisa dibuktikan dengan pemberian
lebih 20 Alkitab terjemahan Bahasa Indonesia secara cuma-cuma kepada penduduk.
“Wak dapek lo ciek Da..,” kata Ery sambil bergegas mengambil Alkitab
setebal 10 cm bersampul cokelat itu ke rumahnya yang tak jauh dan tempat bule-bule
tersebut bernyanyi.
Ery menyerahkan
Alkitab itu. “Lai sempat wak baco, tapi
sakik kapalo wak deknyo,” kata Ery yang diiyakan istrinya.
Ery, Zai, Taher
dan sekitar sepuluh orang lebih penduduk yang berkumpul senja itu, mengaku
masih melaksanakan ibadah shalat lima waktu. “Meski umumnya surau pada runtuh. lnsya Allah kami
masih shalat dan tak semudah itu mereka mempengaruhi kami,” kata Ery yang
diiyakan oleh warga lainnya.
Hanya saja, Ery
tak tahu siapa saja yang mengambil Alkitab itu dan diapakan oleh masyarakat “Kito maambiak ciek surang, ndak tahu wak jo
sia barang tu kini,” katanya.
Yang pasti, lebih dari
20 Alkitab itu kini ada di tangan masyarakat Korong Patamuan. Belum terdengar
ada upaya apapun yang dilakukan oleh aparat setempat.
Saat ditanya,
kenapa tidak dilaporkan kepada kepala dusun atau kepala jorong? Sejumlah penduduk
yang ditemui mengaku tidak tahu harus bagaimana.
Pikiran penduduk
masih fokus soal nasib dan masa depan keluarganya.
“Ambo harus pindah
ke kaki gunung sebelah situ. Belum ada kepastian tentang kampung kami yang
sebaglan sudah turun ke dasar ngarai,” ujar Taher sambil menunjuk arah tempat
tinggalnya yang baru.
Sejumlah. pemuda
di Pasar Padang Alai, Kecamatan V Koto Timur, yang ditanya mengaku mendengar
adanya upaya kristenisasi di kampung mereka. “Saya dengar ada anggota
masyarakat yang diberi obat supaya otaknya jadi labil. Ada pula yang bilang,
ketika mobil bule itu lewat di pasar ini dilempari batu oleh penduduk,” kata
pemuda tersebut tanpa tahu siapa yang diberi obat dan siapa yang melemparnya
dengan batu.
Namun Ery dari
Korong Patamuan, memastikan sang bule-bule yang berbadan kekar, bernyanyi,
membagi-bagikan uang dan mengajak masyarakat Korong Patamuan berpindah agama
itu berpindah-pindah tempat di sekitar Padang Alai dan Padang Sago. “Banyak
kampung-kampung tersuruk di sekitar sini. Dan mereka datang tanpa membawa nama
LSM,” terangnya.
Sekretaris LKAAM
Sumatra Barat, Drs. M. Sayuti Datuk Rajo Pangulu yang ditanya di Bandana
Internasional Minangkabau (BIM), mengaku terkejut dengan langkah-langkah para
misioner itu. Ia malah sangat tercengang melihat rekaman video handphone
berdurasi lebih dan dua menit yang memperlihatkan bagaimana mereka merangkul
masyarakat Patamuan.
Menurut Sayuti,
perlu dilakukan segera langkah konkret oleh pemerintah, LKAAM, MUI dan Bundo
Kanduang untuk mengatasi masalah ini. Terutama untuk menggugah masyarakat
supaya jangan terpancing dengan iming-iming pihak luar.
Sayuti meminta
kalangan non-Muslim untuk tidak menggunakan kesempatan dalam kesempitan.
“Mereka (masyarakat korban gempa) sedang kosong pikirannya dan labil
pendiriannya,” katanya.
Soal permurtadan
di Padang Pariaman, kata Muslim sudah berlangsung lama. Para misionaris
memanfaatkan anak-anak muda yang menganggur dan menyekolahkannya. “Sudah ada
beberapa orang anak muda daerah ini yang menjadi pastor,” kata dia.
Sesepuh MUI
Sumbar, Buya Masoet Abidin nampak lebih tenang menyikapi masalah ini. “Kita
memang perlu hati-hati, tetapi tetap waspada. Peran tuanku-tuanku di Padang
Pariaman sangat dibutuhkan untuk membentengi masyarakat yang sedang labil itu,
ujarnya.
Buya belum sempat
dikonfirmasi ulang bahwa misionaris asing itu memang sudah ditemukan jejaknya
di Padang Alai. Dan tak seorang pun bisa menjamin bahwa mereka sudah
meninggalkan negeri “seribu tuanku itu”.
57. WARGA PASIR PARUPUK BUNCAH
Kristenisasi
Berkedok Bantuan Korban Gempa
Tiga setengah bulan setelah gempa
mengguncang Pulau Sumatera, masyarakat korban gempa di Muaro Gantiang,
Kelurahan Pasir Parüpuk, Tabing, Kecamatan Koto Tangah, Padang buncah. Sejumlah
oknum relawan asing yang datang ke daerah tersebut berkedok memberikan bantuan
rehab bangunan, namun ketika ditemukan mereka membagi-bagikan stiker yang
bergambarkan salib pada hari Jum’at 15 Januari 2010.
Para relawan asing tersebut sengaja
mendatangi rumah korban di RT 02-04/ RW 17, Muaro Gantiang, Kelurahan Pasir
Perupuk, pada senja hari. Hal itu dimaksudkan supaya niat mereka menyebarkan
agama tertentu kepada warga yang beragama Islam berjalan mulus. Tapi akhirnya
diketahui juga, akibatnya warga Pasir Parupuk, buncah dan heboh.
Wakil Walikota Padang, H. Mahyeldi
Ansyarulah, Camat Koto Tangah A. Masrul, S.H., dan lainnya setelah mendapat
laporan buru-buru datang ke lokasi, malam setelah beberapa jam kejadian.
Tujuannya untuk mencegah dan menenangkan warga supaya tidak main hakim sendiri.
Selain itu mengingatkan kepada relawan asing untuk tidak menyebarkan agama
tertentu yang berkedok memberikan bantuan kepada korban gempa.
Menurut informasi dari warga,
peristiwa itu berawal dan kedatangan para relawan asing Learning Content Management System (LCMS) yang berpusatkan di Medan.
Mereka memberikan bantuan kepada warga di daerah pinggiran yang bermukim di
tepi pantai. Bantuan itu untuk rehab bangunan rumah warga yang rusak akibat
gempa 30 September 2009. Bantuan itu berupa bahan bangunan semen, pasir dan
lainnya.
Namun niat baik dari sejumlah oknum
LSM yang berasal dari luar negeri itu terselip maksud tertentu untuk mengubah
akhlak warga supaya pindah agama. Bagi mereka yang telah mendapatkan bantuan
relawan memberikan stiker dan lalu menempelkan di depan rumah warga. Selain itu
relawan memberikan selebaran yang bergambar orang disalip dan gambar babi
bergandengan dengan sapi.
Warga yang menerima bantuan difoto
dekat stiker yang ditempel di rumah mereka. Menurut informasi, foto itu sebagai
barang bukti relawan bantuan sudah sampai ke tangan warga. Lebih parahnya lagi
para relawan secara terang-terangan menyebutkan, jika ada korban gempa yang mau
mengubah akidah, mereka siap membuatkan rumah permanen.
Kedatangan para relawan yang
memberikan bantuan tersebut tanpa diketahui ketua RT/RW, lurah bahkan camat.
Mereka diduga mendatangi warga secara sembunyi-sembunyi.
Untuk mencegah aksi relawan itu,
warga melaporkan kasus itu ke ketua RW.17, Rusdi Karim, Lurah Pasir Parupuk,
Usman Samra dan Camat Koto Tangah A. Masrul, S.H. Sebelumnya warga mengusir
para relawan tersebut sebelum warga lainnya mengamuk dan main hakim sendiri.
Ketua RW.17, Rusdi Karim ketika
ditemui pada hari Sabtu 16 Januari 2010 membenarkan kejadian yang menimpa
warganya. “Para relawan sengaja mendatangi warga tanpa sepengetahuannya, pada
waktu sore hari sekitar pukul 17.00 WIB. Namun karena memberikan bantuan
langsung, warga pun membutuhkan, mereka menerima dengan senang hati. Tapi
setelah diketahui bantuan itu dibumbui dengan maksud tertentu, warga menolaknya
dan melaporkan kepada saya,” terang Rusdi seraya menyebutkan masih untung warga
tidak main hakim sendiri.
Disebutkan, atas kejadian tersebut
warga mengusir relawan asing itu, supaya tidak lagi berbuat hal yang sama di
Pasir Parupuk. Jika masih kedapatan, mereka akan tahu akibatnya.
Buncahnya kasus upaya untuk dugaan mengkristenisasi
warga muslim di Pasir Parupuk tersebut, Camat Koto Tangah, A. Masrul, Lurah
Perupuk Tabing, Usman Samna, para ketua RT/RW dan pemuka masyarakat sekitar
mengadakan rapat kilat di RW.10, kelurahan setempat. Rapat tersebut membahas
kasus itu supaya tidak terulang lagi.
Camat A. Masrul ketika
dikonfirmasikan, membenarkan kasus yang menimpa warganya. Ia menyebutkan kasus
tersebut cepat diatasi oleh Wakil Walikota Padang, Mahyeldi Ansyarulah yang
datang ke lokasi setelah beberapa jam kejadian bersama unsur pejabat terkait
lainnya.
Sehingga upaya oknum relawan asing
yang diketahui bennama Herman dan Tulus yang mengaku berasal dari Medan
tersebut tidak dapat mempengaruhi warga yang memegang teguh aqidah.
Namun katanya diimbau kepada warga
supaya tidak saja menerima bantuan yang berasal dan relawan asing, apalagi
diembel-embeli untuk pindah agama tertentu.
Upaya pengkristenisasi warga muslim
pascagempa yang meluluhlantakan Sumbar, 30 September lalu pernah pula terjadi
di daerah Pariaman, Kecamatan X Koto Kampung Dalam, Patamuan, V Koto Timur dan
Kecamatan IV Koto Aur Malintang, daerah Lubuk Alung serta daenah lainnya. Oknum
relawan asing itu membagi-bagikan injil, sementana mereka tahu masyarakat di
daerah itu seluruhnya muslim.
Kasus tersebut sempat heboh, dan
para ulama meminta para relawan asing supaya menghentikan kegiatannya dan tidak
menyebarkan agamanya di tengah-tengah warga yang sudah punya agama. Namun aksi
itu hanya hilang sesaat, tapi kasus yang sama kembali mencuat seperti yang
terjadi di Pasir Parupuk, Tabing. (Singgalang, Senin 18 Januari 2010)
KESIMPULAN
Terjadinya gempa 7,9 SK yang menghancurkan negeri
Ranah Minang dan meluluhlantakan bangunan-bangaunan yang bertingkat. Apa hikmah
yang bisa kita petik dari musibah tersebut? Kita mengharapkan kepada keluarga
korban bisa tabah menghadapi cobaan ini. Allah tidak akan memberikan cobaan
kalau kaum itu, kalau kaum itu tidak sangaup menghadapinya. Semakin bertaqwa
kita kepada Allah, semakin besar cobaan yang kita hadapi di dunia ini. Kalau
kita lulus menghadapi berbagai macam cobaan, insya Allah kita ada orang paling
beruntung.
Dan bagi korban yang selamat, marilah kita ambil
hikmah di balik bencana ini untuk bisa lebih khusuk dan ikhlas beribadah karena
Allah semata. “Seluruh manusia akan binasa kecuali yang berilmu, dan seluruh ilmu
akan binasa kecuali yang beramal dan seluruh amal akan binasa kecuali orang
yang ikhlas”. Maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa ikhlas adalah
kunci dari semua amal ibadah yang kita lakukan.
Gempa boleh menghancurkan semua bangunan yang
berdiri megah, yang didirikan dengan biaya milyaran rupiah. Tetapi uang
milyaran rupiah tidak bisa menghancurkan iman kaum Muslim yang ikhlas.
Gempa dengan kekuatan 7,9 SK yang terjadi di
Sumatera Barat pada 30 September 2009 tidak akan bisa membunuh orang. Kenapa?
Kalau gempa mengguncang sedangkan kita lari dan berada di luar rumah atau di
lapangan terbuka, tentu tidak akan ada korban jiwa. Yang menimbulkan banyak
korban jiwa adalah struktur bangunan yang tidak kokoh dan tidak sesuai dengan
standar bangunan nasional/internasional. Para kontraktor, konsultan dan terkait
lainnya terlalu banyak bermain di dalamnya. Sehingga konstruksi bangunan asal
jadi saja. Dengan datangnya gempa yang mengguncang Sumatrera Barat dengan
kekuatan 7,9 SK pada 30 September sehingga bangunan yang tidak kokoh tersebut
ambruk dan menimpa ratusan orang yang terjebak di dalamnya. Inilah yang
menyebabkan timbulnya korban jiwa.
Apalagi bangunan yang sudah tua, tiba-tiba disulap
jadi banguan yang megah dengan struktur bangunan asal jadi. Bangunan inilah
yang ambruk dan menimpa ratusan korban jiwa.
Di Jepang gempa yang mengguncang dengan kekuatan 7
SK orang-orang tidak akan keluar rumah. Karena mereka sudah biasa
menghadapinya. Dan gempa dengan kekuatan tersebut tidak ada orang Jepang yang
meninggal, kenapa? Karena mereka telah mempersiapkan banguan rumah atau
gedung-gedung tahan gempa.
Kenapa di Kabupaten Padang Pariaman bukit longsor
dan menimbun ratusan manusia, sehingga menjadi kuburan massal? Kita kembali
kepada ajaran Islam yakni al-qur’an dan hadits. Allah berfirman di dalam
al-qur’an yang artinya: Semua musibah yang terjadi di dunia ini adalah karena
ulah manusia itu sendiri. Memang benar, bahwa daerah yang terkena musibah
terparah dimana di daerah itu terjadi maksiat dan banyak manusia yang ingkar
kepada ajaran Allah SWT.
Semoga di masa mendatang kita bisa lebih
meningkatkan ketaqwaan dan keimanan kita kepada Allah SWT. Dengan demikian
Insya Allah kita bisa terhindar dari bencana mendatang kalau tiba-tiba datang
lagi menimpa negeri kita yang indah ini. Marilah kita ambil hikmah dari musibah
yang menimpa negeri kita ini. Dari musibah gempa 30 September 2009 terdapat
korban yang meninggal sebanyak 1.197 orang, yang luka berat sebanyak 619 orang
dan para korban yang menderiata luka ringan sebanyak 1.179 orang.
Pemurtadan yang menimpa Kabupaten Padang Pariaman
memang berkedok bantuan kemanusiaan. Oknum relawan asing itu masuk ke Koto Tinggi,
Patamuan, Padang Alai, Pasa Kudu, Padang Sago dan daerah-daerah lainnya. Menurut
keterangan warga mereka menggunakan helikopter dan membagi-bagikan bahan
makanan khususnya beras, susu dan mie instan. Dengan berkedok kemanusiaan, mereka bebas bergerak ke berbagai pelosok
pedalaman. Mereka menabur janji-janji, membabtis, meracuni aqidah umat Islam
yang lugu dan polos, tanpa sedikitpun mendapat hambatan atau rintangan yang
berarti.
Gempa bumi yang terjadi di Sumatera Barat bagi
misionaris benar-benar menjadi kunci pembuka untuk menghancurkan umat Islam,
yang terkenal Agamis dengan bermotto, “Adat Bersandi Syarak, Syarak Bersandi
Kitabullah”
Di antara organisasi asing yang bernafsu sekali
untuk memurtadan masyarakat adalah IOM, ROTARY, dan LION CLUBS dengan
menggunakan ratusan mobil truck maupun mobil-mobil kijang, jeep. Mereka sangat
gesit sekali mendatangi para korban gempa sampai ke gunung-gunung yang sangat
sulit dijangkau.
Sungguh liciknya para misionaris ini. Mereka telah
berhasil membuat masyarakat yang tangguh dan gigih menjadi pengemis di
jalan-jalan.
Penulis mengharapkan kepada masyarakat yang telah
menerima bantuan terutama dari relawan asing supaya lebih berhati-hati lagi dan
jangan sampai kita kecolongan dua kali. Kita boleh menerima bantuan dari
siapapun karena kita memang membutuhkannya tetapi tidak diembel-embeli oleh
permurtadan. Tidak akan tergantikan aqidah kita dengan apapun bentuk bantuan
itu.
Pada hari Jum’at tanggal 22 Januari 2010 masyarakat
korban gempa di Muaro Gantiang, Kelurahan Pasir Parüpuk, Tabing, Kecamatan Koto
Tangah, Padang tepatnya di RT. 02-04/ RW.17 relawan asing Learning Content Management System (LCMS) yang membagi-bagikan
stiker yang bergambarkan salib dan memberikan bantuan kepada korban di daerah
pesisir pantai. Bantuan itu berupa bahan bangunan semen, pasir dan lainnya. Warga
yang menerima bantuan difoto dekat stiker yang ditempel di rumah mereka.
Seteleh menerima laporan Wakil Walikota Padang, H.
Mahyeldi Ansyarulah, Camat Koto Tangah A. Masrul, S.H, Lurah Perupuk Tabing,
Usman Samna, para ketua RT/RW dan pemuka masyarakat mengadakan rapat kilat
untuk mengantisipasi terjadinya pemurtadan.
Sekali lagi kita kecolongan.
Sungguh suatu fenomena yang mengharukan, bahwa
selama ini kita kurang waspada dalam menghadapi kerikil-kerikil yang mengganjal
keimanan kita. Walau bagaimanapun kita harus mewaspadai datangnya musuh baik
dari luar maupun dari dalam.
PENULIS
Muhammad Zalzalah lahir di Padang Besi. Menamatkan sekolah dasar pada tahun
1977, sekolah menengah pertama tahun 1981, sekolah menengah atas tahun
1983/1984. Kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu
Pendidikan PGRI Sumbar dan terakhir pada Universitas Terbuka jurusan ekonomi
manajemen.
Mulai menulis pertama kali pada tahun
1987 dengan tulisan cerpennya berjudul “bulan madu”. Setelah itu tulisannya
sering terbit di berbagai media yang ada di Kota Padang seperti, Harian Umum
Singgalang, Haluan, Semangat, Mingguan Canang dan Media lainnya. Juga telah
menulis buku Biograpy H. Yong Suar Dt. Tumangguang, Alur Adat Istiadat Nagari
Lubuk Kilangan Kota Padang. Dan buku yang telah ditulis dan akan diterbitkan
antara lain Piagam Tertulis Nabi Muhammad SAW, Konsepsi Bung Karno, dan Sejarah
Pancasila Menjadi Dasar Negera Republik Indonesia.